Bulan-bulan Mulia, Oleh: Imaam Yakhsyallah Mansur

(Keharusan Mengetahui Kalender Hijriyah)

Firman Allah SWT:

إِنَّ عِدَّةَ ٱلشُّهُورِ عِندَ ٱللَّهِ ٱثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ مِنْهَآ أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ ۚ فَلَا تَظْلِمُوا۟ فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَٰتِلُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَٰتِلُونَكُمْ كَآفَّةً ۚ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat . Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa“. Surah At-Taubah [9]: 36).

Penjelasan

Ayat ini dimulai dengan huruf Inna [ ان] yang berarti “sesungguhnya” untuk menunjukkan pentingnya isi yang hendak disampaikan supaya pendengaran dan hati orang yang dituju oleh ayat itu (mukhatab) benar-benar memperhatikannya.

Pada ayat ini, Allah menyampaikan bahwa bilangan bulan sejak ia menjadikan semua langit dan bumi adalah berjumlah dua belas (12) bulan. Yang dimaksud bulan di sini adalah bulan Qamariyah (hijriyah), bukan Syamsiyah (masehi). Ini merupakan isyarat kepada umat Islam agar mengetahui bulan-bulan Qamariyah karena peribadatan Islam yang memerlukan ketentuan waktu dilakukan dengan berpedoman pada kalender Hijriyah yang berdasar pada perhitungan bulan (qamar).

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menukilkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, bahwa Nabi Muhammad SAW ketika menyampaikan khutbah pada saat haji, beliau bersabda:

 أَلَا إِنَّ الزَّمَانَ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ، ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ: ذُو الْقَعْدَةِ، وَذُو الْحِجَّةِ، وَالْمُحَرَّمُ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ

Ketahuilah bahwa zaman berputar seperti keadaannya pada saat Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun terdiri atas dua belas bulan, empat diantaranya adalah bulan-, tiga berurutan; Dzulqo’dah, dan Muharram serta mudhar yang berada diantara Jumadil Akhir dan Sya’ban”.

Masyarakat Arab sebelum Islam menamai dua belas bulan itu dengan peristiwa yang berkorelasi (berhubungan) dengannya;

  1. Muharam, artinya “yang diharamkan”, yaitu diharamkan berperang (menumpahkan darah) yang terus berlaku sampai datangnya Islam (sekarang).
  2. Shafar, artinya “kosong”, karena pada bulan ini orang Arab jahiliyah biasa meninggalkan rumah untuk berperang, berdagang, berburu, mengembara dan sebagainya sehingga rumahnya kosong.
  3. Rabiul Awal, artinya “menetap yang pertama”, karena kaum lelaki Arab Jahiliyah pada saat itu yang tadinya meninggalkan rumah, mereka pulang dan menetap kembali di rumahnya.
  4. Rabiul akhir, artinya “menetap yang penghabisan” yaitu mereka menetap kembali dalam rumah akan segera berakhir.
  5. Jumadil Awwal, artinya “beku yang pertama” karena pada waktu itu air menjadi beku atau padat dengan datangnya musim dingin.
  6. Jumadil Akhir, artinya “beku yang penghabisan” karena orang-orang Arab mengalami beku yang penghabisan.
  7. Rajab, artinya “mulia” karena bangsa Arab Jahiliyah memuliakannya pada tanggal 1 untuk berkurban anak unta dan membuka pintu Ka’bah terus menerus. Rajab juga dikenal sebagai bulan larangan berperang.
  8. Sya’ban, artinya “berserak-serak”, karena orang Arab jahiliyah bergerak, berpergiaan kepuncak mencari air dan penghidupan.
  9. Ramadhan, artinya “panas baik atau terbakar” karena pada bulan itu Jazirah Arab sangat panas sehingga baik matahari dapat membakar kulit.
  10. Syawal artinya “naik” karena pada bulan itu unta mengangkat ekornya untuk kawin
  11. Dzulqa’dah artinya “si empunya duduk” karena orang-orang Arab pada bulan itu diam ditempatnya tidak mengadakan peperangan dan tidak bepergiaan.
  12. Dzulhijjah artinya “si empunya haji” karena pada bulan itu sejak masa Nabi Ibrahim AS orang melaksanakan ibadah haji.

Di antara dua belas bulan ini melalui agama Hanif (Islam) yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS, Allah menetapkan empat bulan yang mulia. Ketetapan ini diikuti oleh seluruh masyarakat Arab dan diakui oleh Nabi Muhammad Saw sebagai nabi pembawa syariah yang terakhir, sebagaimana disebutkan pada hadist diatas. Keempat bulan itu adalah Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharam (tiga bulan yang berturut-turut) dan yang satu lagi bulan Rajab.

Penetapan empat bulan yang mulia ini merupakan bagian dari syariat agama yang lurus sebagaimana firman Allah yang artinya: ” Itulah ketetapan agama yang lurus”, maksudnya itulah syariat yang lurus yang harus diikuti dengan melaksanakan perintah Allah SWT sehubungan dengan bulan-bulan yang haram (mulia) yang dijadikan oleh Allah sesuai dengan apa yang ditetapkan-Nya dalam ketetapan yang terdahulu.

Dalam bulan-bulan yang haram ini, Allah melarang menusia menganiaya diri. Hal ini bukan berarti di luar bulan haram kita boleh menganiaya diri. Abdullah bin Abbas menjelaskan tentang ayat ini : ” Maka janganlah kalian menganiaya diri kalian di semua bulan. Kemudian dikecualikan dari semua bulan itu sebanyak empat bulan. Keempat bulan itu dijadikan sebagai bulan mulia yang kemuliaannya diagungkan dan dosa dari perbuatan maksiat dilipatgandakan serta pahala amal shalih yang dilakukan pada bulan-bulan itu juga dilipatgandakan”.

Qatadah berkata: ” Sesungguhnya berbuat aniaya di dalam bulan-bulan haram merupakan dosa dan sanksinya jauh lebih besar dari pada dilakukan di bulan-bulan selainnya, sekalipun pada prinsipnya berbuat dosa pada kapanpun dosanya tetap besar. Tetapi Allah melipatgandakan dosanya sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya”.

Selanjutnya Qatadah berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih banyak pilihan  dari kalangan makhluk-makhluk-Nya. Dia memilih dari kalangan malaikat dan manusia sebagai utusan-Nya dan memilih dari kalam-kalam-Nya yaitu Al-Quran. Dari bumi ini ada masjid-masjid dan dari bulan ini ada Ramadhan dan bulan-bulan haram. Dari hari-hari, dipilih hari Jumat dan dari malam-malam dipilih malam Lailatul Qadar. Maka agungkanlan apa-apa yang diagungkan Allah karena pengagungan hanyalah kepada yang diagungkan Allah”.

Berbuat aniaya di bulan-bulan mulia diantaranya adalah melakukan peperangan di bulan-bulan tersebut sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya;

   يَسْأَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الْحَرَامِ قِتَالٍ فِيهِ  قُلْ قِتَالٌ فِيهِ كَبِيرٌ  وَصَدٌّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ وَكُفْرٌ بِه وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِخْرَاجُ أَهْلِهِ مِنْهُ أَكْبَرُ عِنْدَ اللَّهِ  وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ 

 

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: “Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh“. (Al-Baqarah [2]: 217)

Ayat ini turun ketika Rasulullah SAW mengirimkan pasukan di bawah pimpinan Abdullah bin Jahsy. Mereka berpapasan dan bertempur melawan pasukan musuh yang dipimpin oleh Ibnu Hadhrami sehingga dia terbunuh.

Sebenarnya waktu itu tidak jelas bagi pasukan Abdullah bin Jahsyi apakah sudah masuk bulan Rajab atau belum. Akan tetapi kaum Musyrikin menghembus-hembuskan berita bahwa umat Islam berperang di bulan haram.

Pada ayat ini, Allah SWT menjelaskan bahwa berperang di bulan-bulan haram adalah dosa besar. Tetapi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang kafir terhadap umat Islam seperti menghalangi manusia kepada jalan Allah, tidak mau percaya kepada Allah, mengganggu orang beribadah di masjidil haram, mengusir penduduk di sekitar masjid tersebut, membunuh orang-orang lemah yang masuk Islam, berbuat berbagai macam fitnah dan terus-menerus memerangi umat Islam, hal itu semua dosanya lebih besar daripada melanggar kemuliaan bulan haram dengan memerangi musuh untuk mempertahankan hak dan kebenaran.

Melalui ayat ini, Allah menjelaskan bahwa pasukan Abdullah bin Jahsy tidak salah. Pada saat itu, dia berada di dua jalan persimpangan yang keduanya berbahaya yaitu berperang di bulan mulia adalah pelanggaran besar. Akan tetapi membiarkan musuh lolos akan membawa bahaya yang lebih besar karena mereka akan terus-menerus menentang dan memerangi umat Islam.

Maka kejahatan yang bermula dari orang kafir inilah yang wajib dilawan dan kalau perlu diperangi kapan saja, termasuk di bulan-bulan mulia apabila memang mereka memerangi umat Islam.

Dalam konteks yang demikian inilah seluruh umat Islam diperintahkan memerangi seluruh orang kafir karena mereka memerangi umat Islam terlebih dahulu. Al-Quran  memberi izin dan membolehkan perang dengan beberapa alasan sebagaimana disebutkan oleh Allah SWT dalam  Al-Quran QS Al-Hajj [22]: 39-41

أ

“Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu, (39). (yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.(40) (yaitu) orang-orang yang jika Kami beri kedudukan di bumi, mereka melaksanakan shalat, menunaikan zakat dan menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan kepada Allah-lah kembali segala urusan. (41)”.  QS Al-Hajj [22]: 39-41

Berdasarkan ayat ini, Muhammad Rasyid mengatakan bahwa alas an diperbolehkannya perang dalam Islam adalah sebagai berikut:

  1. Karena umat Islam dianiaya, diserang terlebih dahulu dan diusir dari tanah airnya, meninggalkan harta bendanya semata-mata kerena agama dan keyakinannya.
  2. Karena mempertahankan diri dan melindungi tempat-tempat ibadah yang di dalamnya disebut nama Allah, seperti biara, gereja, sinagog (tempat ibadah orang Yahudi) dan masjid.
  3. Karena menjaga keamanan, ketertiban, ketetapan dan kepastian dalam beragama sehingga umat Islam dapat menjalankan ajaran agama dengan tenang dan tenteram.

Akhirnya, ayat di atas (QS At-Taubah [9] : 36) ditutup dengan kalimat bahwa Allah beserta orang-orang yang bertaqwa. Taqwa asalnya berarti memelihara, tercakup dalam pengertian memelihara di sini adalah memelihara kemuliaan bulan-bulan haram, memelihara hubungan dengan Allah dan hubungan baik dengan manusia, memelihara berbagai aturan hidup yang tidak bertentangan dengan ajaran agama dan sebagainya. Orang-orang yang demikian itu akan selalu dijaga dan disertai Allah SWT.

Wallahu alam bis shawab.

(P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.