Cara Nabi Muhammad Selesaikan Konflik Rumah Tangga

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Dalam kehidupan berumah tangga tidak semuanya berjalan lancar. Begitu banyak cara keji setan membuat retak rumah tangga seseorang. Akibat konflik itu, tak sedikit suami istri bercerai. Jika mereka sudah punya anak, tentu saja anak-anak akan menderita akibat perceraian suami istri itu.

Memang tidak ada perjalanan berumah tangga itu yang selancar jalan tol atau sebening embun pagi. Jangan kita sebagai manusia yang penuh khilaf, salah dan tempat dosa, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam saja yang sudah dijamin masuk surga, pernah mengalami konflik dalam rumah tangganya.

Yang menarik perlu dipelajari, adalah seperti apakah cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam itu keluar dari konflik rumah tangganya. Inilah yang akan dibahas dalam  tulisan singkat ini.

Dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:

بَلَغَ صَفِيَّةَ أَنَّ حَفْصَةَ، قَالَتْ: ابْنَةُ يَهُودِيٍّ، فَبَكَتْ، فَدَخَلَ عَلَيْهَا النَّبِيُّ ﷺ وَهِيَ تَبْكِي، فَقَالَ: ” مَا شَأْنُكِ؟ “، فَقَالَتْ: قَالَتْ لِي حَفْصَةُ: إِنِّي ابْنَةُ يَهُودِيٍّ !، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: ” إِنَّكِ ابْنَةُ نَبِيٍّ، وَإِنَّ عَمَّكِ لَنَبِيٌّ، وَإِنَّكِ لَتَحْتَ نَبِيٍّ، فَفِيمَ تَفْخَرُ عَلَيْكِ؟، فَقَالَ: اتَّقِي اللَّهَ يَا حَفْصَةُ “

“(Satu ketika), sampai kabar kepada Shafiyyah bahwa Hafshah radliyallaahu ‘anhumaa berkata (tentangnya) : ‘Ia adalah anak Yahudi’. Maka ia pun menangis. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemuinya yang ketika itu ia masih menangis. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Apa yang membuatmu menangis?’.

Shafiyyah menjawab : ‘Hafshah berkata kepadaku bahwa aku adalah anak Yahudi’. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Sesungguhnya engkau adalah anak seorang nabi, pamanmu seorang nabi, dan suamimu pun juga seorang nabi. Lalu dengan apa ia menyombongkan diri kepadamu?’. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Bertaqwalah (takutlah) kepada Allah wahai Hafshah!” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3894, Ahmad 3/135, Ibnu Hibbaan 16/193-194 no. 7211, dan yang lainnya; At-Tirmidziy berkata : ‘Ini adalah hadits shahih ghariib’).

Dari hadits di atas, setidaknya ada beberapa hikmah yang bisa dipetik, antara lain sebagai berikut.

Pertama, diperbolehkannya meminta penyelesaian kepada suami jika terjadi perselisihan di antara istri (madu).

Kedua, bagi seorang wanita hendaknya jangan mudah terpengaruh dengan ucapan yang ditujukan kepada dirinya asalkan ia tetap menjaga dien dan kehormatannya serta tetap percaya diri. Sampai meskipun yang berbicara termasuk orang mulia sekalipun. Karena hal itu hanya akan mengeruhkan pikiran dan kehidupannya. Pada saat yang sama seharusnya masyarakat juga perlu mencari kejelasan berita sebelum membenarkannya.

Ketiga, bagi suami hendaknya mengatasi kejadian-kejadian semacam ini dengan bijak, penuh wibawa, tenang, dan adil. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan pada Shafiyyah radliyallaahu ‘anhaa tentang keutamaan dan kedudukannya, yang tidak berkurang dengan ucapan Hafshah. Karena kemuliaan itu berdasarkan pada asas teragung dan termulia yaitu keimanan dan ketaqwaan yang tergabung dalam rumah tangga kenabian. Kemudian beliau menasihati dan mengingatkan Hafshah dengan nama Allah.

Keempat, disyari’atkan bagi suami untuk menasihati dan mengingatkan istrinya karena Allah. Andai suami memihak salah satu istrinya, maka yang terjadi tentu permusuhan di antara kedua istri itu akan berkepanjangan. Karena itu, suami harus lebih bijaksana melerai masalah dalam rumah tangganya. Kedepankan keimanan dibanding emosional.

Kelima, perkataan yang bersumber dari Hafshah boleh jadi terucap pada saat ia sedang marah. Tetapi seorang muslim tetap diperintahkan untuk menjaga lidahnya dari ketergelinciran dalam setiap kondisi. Allah Ta’ala berfirman :

وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ لِلإنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا

”Dan katakanlah kepada hamba-hambaKu : Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaithan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaithan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia. (QS. Al-Israa’ : 53).

Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing para suami istri untuk selalu mengedepankan al Qur’an dan as Sunnah dalam menyelesaikan setiap konflik rumah tangganya. Hanya Allah semata yang mampu melerai dan menuntaskan semua masalah. Karena itu, tawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya dalam setiap urusan harus menjadi prioritas seorang muslim, wallahua’lam. (A/RS3/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.