Oleh: Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI/Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAD/Dosen Fakultas Hukum Ilmu Sosial & Politik (FHISIP) Universitas Terbuka
TAHUN 2021 menyimpan catatan dan kenangan tentang sebuah periode paling sulit dalam sejarah Indonesia modern. Dalam periode yang sulit itu, semua orang tidak hanya dipaksa untuk bertahan dan menghindar dari ancaman virus corona, tetapi juga menyimak dan mencatat jumlah kematian.
Namun, tahun 2021 juga membukukan catatan gemilang yang mengundang decak kagum komunitas global karena keberhasilan Indonesia mengendalikan dan mempersempit ruang penularan COVID-19. Keberhasilan Indonesia melewati periode paling sulit itu terwujud berkat kebersamaan dan mengemukanya semangat gotong royong semua komunitas.
Tidak berlebihan untuk mendeskripsikan tahun 2021 sebagai periode paling sulit. Sebab, pada Juni-Juli- Agustus, terjadi puncak Pandemi COVID-19 yang ditandai dengan besaran jumlah kasus pada kisaran di atas 50.000 kasus positif per harinya. Saat itu, situasinya kritis dan serba darurat. Tak hanya menjadi sorotan, Indonesia pun sempat dihindari negara lain karena lonjakan jumlah kasus itu.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Semua orang ingat dan mencatat bahwa pada periode itulah tersaji beragam kisah getir. Kisah tentang upaya semua orang bertahan hidup dari ancaman Virus Corona, dan kisah duka tentang para pasien COVID-19 yang meninggal karena tak tertolong. Data dari Satgas Covid-19 per 11 Desember 2021 menyebutkan bahwa jumlah pasien yang sempat terpapar COVID-19 mencapai 4.258.980, pasien sembuh 4.109.865 dan jumlah pasien meninggal 143.929. Data-data ini lebih cukup menggambarkan kondisi riel saat terjadi puncak Pandemi COVID-19.
Di masa lalu, generasi orang tua era sekarang pernah juga mengalami masa-masa sulit. Sebutlah masa-masa sulit akibat krisis moneter (krismon) tahun 1998. Krisis ekonomi 23 tahun lalu itu dipicu oleh anjloknya nilai tukar rupiah. Ketika depresiasi rupiah terhadap dolar AS mencapai 600 persen lebih, puluhan miliar utang luar negeri yang didominasi utang swata jatuh tempo pada tahun itu. Karena cadangan devisa negara saat itu hanya berkisar 14,4 miliar dolar AS, masalah atau persepsi yang muncul berikutnya adalah krisis kepercayaan.
Keraguan komunitas investor dan institusi keuangan internasional pada citra Indonesia mengeskalasi masalah di dalam negeri menjadi krisis multi dimensi. Pada aspek ekonomi sepanjang durasi Krismon 1998, masyarakat menghadapi kesulitan yang sangat serius karena harga bahan pangan melonjak, dan terjadi kelangkaan. Banyak cerita getir tentang kehidupan sepanjang durasi Krismon itu.
Namun, skala kesulitan bersama akibat krisis multi dimensi 1998 jelas berbeda dengan skala kesulitan akibat krisis kesehatan sekarang. Pada krisis 1998, akar masalahnya jelas, dan rumusan jalan keluarnya pun jelas. Sedangkan pada krisis kesehatan akibat Pandemi COVID-19 sekarang, segala aspeknya diawali dengan ketidaktahuan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Semua orang hanya mendapat pemberitahuan bahwa ada virus Corona yang mengganggu saluran pernafasan sedang mewabah di seluruh dunia. Belum ada obatnya dan semua orang – termasuk para ahli sekali pun – tidak tahu cara atau strategi menangkal dan melumpuhkan virus ini. Mengandalkan akal budi manusia, pilihan jatuh pada strategi membatasi mobilitas warga dan kontak antar-orang.
Ketika menerapkan pembatasan sosial, industri farmasi memulai penelitian dan ujicoba vaksin corona. Pemberlakuan pembatasan sosial yang tidak efektif di banyak negara menyebabkan lonjakan kasus pada tingkat gobal tak terbendung. Worldometer mencatat, per 12 Desember 2021, total kasus positif COVID-19 di seluruh dunia mencapai 270.310.645 kasus, dengan total kematian 5.321.129, dan jumlah pasien sembuh 243.041.795.
Di dalam negeri, lonjakan jumlah pasien pada periode sulit itu menghadirkan tekanan teramat serius bagi layanan kesehatan di dalam negeri. Pada pekan pertama Juli 2021, pemanfaatan ruang isolasi pasien Corona meningkat 76 persen dan penggunaan ruang ICU naik 69 persen. Bahkan, sejumlah kabupaten/kota mencatat tingkat hunian rumah sakit atau BOR (bed occupancy rate) pasien COVID-19 lebih dari 100 persen.
Karena jumlah tenaga kesehatan terbatas atau tak sebanding dengan jumlah pasien, banyak pasien tak terlayani. Gambarannya semakin mengerikan karena lonjakan jumlah pasien menyebabkan ragam alat kesehatan dan faktor penunjang lainnya menjadi langka, mulai dari APD (alat pelindung diri), obat-obatan, oksigen hingga peti jenazah
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
Belum lagi sejumlah tenaga kesehatan juga terpapar COVID-19. Juni 2021, beberapa organisasi tenaga kesehatan (Nakes) mengumumkan, tidak kurang dari 1.031 Nakes gugur selama pandemi COVID-19. PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia) mencatat 702 perawat meninggal. Sedangkan dokter yang meninggal berjumlah 545. Semua ini terjadi karena perkembangan masalahnya tidak bisa diperkirakan dan tidak bisa diantisipasi.
Namun, berkat pengabdian tak kenal dari segenap jajaran Nakes, didukung ketegaran pemerintah bersama TNI-Polri memberlakukan pembatasan sosial, keadaan paling sulit itu secara bertahap bisa dikendalikan. Menghadirkan begitu banyak kisah getir, periode tersulit itu ikut memicu kesadaran semua elemen masyarakat mematuhi protokol kesehatan (Prokes) dan menahan diri untuk tidak keluar rumah.
Kerja keras Nakes berhasil menyembuhkan 4,1 juta pasien, dan kepatuhan masyarakat pada Prokes mempersempit ruang penularan COVID-19 di dalam negeri. Hasilnya memang luar biasa. Selain pasien sembuh, jumlah kasus baru yang terus menurun menyebabkan tekanan pada layanan kesehatan dan rumah sakit berakhir.
Percepatan vaksinasi juga berkontribusi mewujudkan suasana yang makin kondusif. Berangsur-angsur, dinamika kehidupan mulai pulih dengan tetap mematuhi Prokes. Komunitas internasional pun berdecak kagum pada keberhasilan Indonesia mengendalikan Pandemi COVID-19. Bahkan, beberapa negara tetangga ingin meniru strategi Indonesia.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Tak terbantahkan bahwa masyarakat Indonesia sudah berhasil melewati periode paling sulit di tahun 2021 ini. Namun, dalam konteks Pandemi COVID-19, masalah dan tantangan masih menghadang. Apalagi dengan munculnya virus Corona varian Omicron. Faktor lain yang juga patut iwaspadai masyarakat adalah perkembangan di banyak negara, terutama di kawasan Eropa, yang sedang menghadapi percepatan penularan COVID-19.
Selain faktor Pandemi COVID-19, aspek lain yang juga patut disikapi dan diwaspadai adalah gejolak alam akibat perubahan iklim. Sepanjang tahun ini, tercatat begitu banyak musibah banjir, banjir bandang, tanah longsong dan sejumlah kerusakan yang disebabkan angin kencang maupun puting beliung.
Mendekati akhir tahun 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 2.552 peristiwa bencana alam di dalam negeri. Dampaknya pun sangat memprihatinkan. Sejak Januari hingga November 2021, tak kurang dari 7.522.866 orang harus mengungsi dan ratusan korban meninggal dunia. Puluhan orang lainnya dinyatakan hilang. Belum lagi kerugian materil karena rusaknya properti milik warga. Bisa dipastikan bahwa banjir Bandang di Batu, Malang, hingga erupsi Gunung Semeru di Lumajang menimbulkan nilai kerusakan yang tidak kecil.
Suka duka Indonesia yang silih berganti sepanjang tahun 2021 hendaknya menjadi catatan khusus bagi generasi penerus, utamanya generasi Alfa dan Generasi Z. Pesan utamanya adalah kebersamaan dan persatuan akan memampukan komunitas bangsa menghadapi serta mengatasi masalah dan situasi yang paling sulit sekali pun. Dengan mengedepankan semangat gotong royong, beban berat menjadi ringan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Semua berharap Pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung dua tahun segera berakhir di tahun mendatang. Namun, dampak ekstrim dari perubahan iklim harus diwaspadai secara berkelanjutan.(AK/R1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin