“Ketika emas muncul di Sungai Efrat, dari seratus orang, hanya satu yang akan bertahan hidup,” kata seorang wanita Kurdi dari Kirkuk, Irak yang ditemui Tanya Goudsouzian dalam perjalanannya ke Sulaimaniyah, ibu kota Provinsi Sulaimaniyah di wilayah Kurdistan, Irak.
Tanya Goudsouzian adalah seorang jurnalis profesional wanita yang berpengalaman di negara-negara konflik.
Wanita Kurdi itu mengutip sebuah hadis yang terkenal dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berbunyi, “Hari Kiamat tak akan terjadi sebelum Sungai Eufrat mengering dan menyingkapkan ‘gunung emas’ yang mendorong manusia berperang. 99 dari 100 orang akan tewas (dalam pertempuran), dan setiap dari mereka berkata, ‘Mungkin aku satu-satunya yang akan tetap hidup’.” (HR Bukhari).
“Ini pepatah lama, itu ada di buku-buku kami,” katanya kepada Goudsouzian. “Seratus orang, dan hanya satu yang akan bertahan. Bukankah ini terjadi di sekitar kita saat ini? Orang-orang datang ke negara saya dan berjuang lalu mati. Untuk apa? Apakah ada yang tahu?”
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Hadits tentang emas di Efrat telah menjadi kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi sejak invasi 2003 pimpinan Amerika Serikat ke Irak. Emas muncul untuk wilayah Kurdi dan berlangsung satu dekade – dekade kemakmuran, rekonstruksi dan harapan – sebelum munculnya Islamic State of Iraq and the Levant (ISIL/ISIS).
Dua tahun setelah deklarasi ISIS yang menyebut dirinya sebagai khilafah, pertempuran hebat berlangsung di Mosul, kota terbesar di Irak, antara milisi ISIS dan pasukan Irak bersama koalisinya sejak 17 Oktober lalu.
Pertempuran untuk merebut kembali kota Mosul dari ISIS telah menimbulkan berbagai reaksi di wilayah Kurdistan, Irak Utara, yaitu reaksi sentimen, putus asa, apatis dan sinisme.
“Mereka menjanjikan kita kemerdekaan setelah rezim Saddam Hussein jatuh,” kata wanita Kirkuk itu. “Tapi sekarang setiap kali presiden kita (Massoud Barzani) muncul di TV untuk berbicara tentang kemerdekaan, kita semua tertawa. Kita tahu dia mencoba untuk mengalihkan perhatian kita dari beberapa krisis atau skandal korupsi.”
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Wilayah Kurdi saat ini diibaratkan seperti sebuah kota hantu. Di sektor publik terjadi krisis upah yang dimulai pada akhir 2014, dan kini korban telah berjatuhan.
Presiden Barzani seharusnya meletakkan jabatannya pada Agustus 2015.
Seorang politisi mengatakan kepada Goudsouzian bahwa perang ini bukan tentang meraih tanah atau tentang kemerdekaan, tetapi tentang mempertahankan apa yang mereka miliki.
Sengketa bernanah antara Pemerintah Baghdad dan Erbil lebih kepada masalah penjualan minyak ilegal. Pemerintah Daerah Kurdistan (KRG) belum menerima 16 persen haknya dari anggaran Irak selama berbulan-bulan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Seorang warga Sulaimania mengatakan, orang-orang etnis Arab yang mengungsi di wilayah otonomi Kurdi itu memilih pergi ke pasar untuk tetap menjaga bisnis mereka. Mereka pun masih menerima dana pensiun dan gaji dari pemerintah Baghdad. Sementara di sini, orang-orang Kurdi tidak mendapatkan apa-apa.
“Para pengungsi lebih kaya dari kita,” kata warga itu.
Sebuah resolusi sengketa dengan Pemerintah Baghdad yang dicapai bulan lalu, menjadi lemah oleh pertengkaran di internal Kurdi. Partai Persatuan Patriot Kurdistan (PUK) yang memegang kekuasaan atas Provinsi Sulaimania dan Kirkuk telah menuduh saingannya, Partai Demokrat Kurdistan (PPK) menggelapkan anggaran daerah Kurdi.
Di saat yang sama, pekerja sektor publik Kurdi rata-rata belum dibayar selama sebulan, dana pensiun untuk orang tua dan cacat telah dipangkas.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Sekolah umum dan universitas sekarang ditutup karena guru belum dibayar. Hanya orang kaya yang mampu bersekolah di sekolah dan universitas swasta.
Pendaftaran untuk bergabung ke dalam militer Kurdi, Peshmerga, meningkat pesat, karena ini satu-satunya pekerjaan sektor publik yang gajinya dibayar dari waktu ke waktu.
Seluruh generasi sedang dirampas pendidikannya. Seolah politisi memberi tahu kepada penjual sepatu dan sayur untuk melupakan pendidikan dan tetaplah bekerja kasar untuk memenuhi kebutuhan.
Goudsouzian mengatakan, di Kurdistan sulit mendapatkan informasi yang dapat dipercaya, sebab sebagian besar media dikendalikan oleh satu pihak atau yang lain.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Muncul desas-desus bahwa pemerintahan Kurdi Irak sedang mencoba untuk mengubah demografi dengan membakar desa-desa warga Arab. Namun, apakah demografi benar-benar berubah?
Politisi mengungkapkan bahwa wilayah Kurdi seperti di Erbil, Sulaimania dan Dohuk, justru menampung 1,5 juta pengungsi Arab hari ini. Pengungsi Arab itu belum tentu bisa kembali ke kota asal mereka. (T/P001/P2)
Sumber: tulisan Tanya Goudsouzian di Al Jazeera
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata