Dahsyatnya Ikhlas

Oleh Ansori, wartawan MINA

Kita seringkali tak sadar jika melakukan sesuatu niatnya sudah melenceng dari awal. Awalnya mungkin berniat , tapi saat di tengah atau di akhir dari sebuah amal yang kita lakukan, niat hati bergeser ingin dilihat dan dinilai orang lain.

Bicara tentang ikhlas artinya bicara tentang kekuatan pemahaman tauhid seorang hamba kepada Rabbnya. Sebab ikhlas dalam beramal dan beribadah artinya semata-mata mengharap ridha Allah semata.

Ikhlas merupakan perkara besar dalam agama ini. Salah satu pilar utama diterimanya suatu amal. Ikhlas tidak sama dengan keredaan hati.

Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid menjelaskan, ikhlas secara bahasa diambil dari kata kerjaأخْلَصَ – يُخْلِصُ  Akhlashayukhlishu dengan bentuk mashdarnya إخلاصا  Ikhlaashan yang berarti menjadikan sesuatu menjadi murni dan tidak tercampuri sesuatu yang lain.

Sedangkan secara syar’i, para ulama memberikan beragam definisi sebagai berikut.

Pertama, Ibnul Qayyim rh. berkata, ”Ikhlas adalah mengarakan tujuan ketaatan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [Madarijus salikin 2/91].

Kedua, Al-Jurjani rh. berkata, ”Ikhlas adalah memurnikan hati dari segala noda yang mencampuri kemurnian hati tersebut.” [At-Ta’rifat: 28]

Ketiga, Hudzaifah Al-Mura’isyi rh. berkata, ”Ikhlas adalah amalan seorang hamba itu sama antara yang zhahir dan batin.” [at-Tibyan fi Adabi Hamalatil Quran: 13]

Keempat, didapatkan keterangan dari Salafush Shalih sejumlah makna ikhlas, di antaranya adalah; 1). Memperuntukkan amal hanya bagi Allah Ta’ala dan tidak ada bagian untuk selain Allah dalam amal tersebut. 2). Memurnikan amal dari perhatian manusia. 3). Memurnikan amal dari segala noda. [Madarijus salikin : 91-92]

Dalil ikhlas

Ikhlas adalah perintah dari Allah dan Rasul-Nya kepada setiap mukmin. Perintah itu tercantum dalam al  Qur’an dan as Sunnah, di antaranya adalah sebagai berikut.

Dalil dari al Qur’an

Qs. Al-Bayyinah: 5

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ -٥-

“Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama, dan juga agar melaksanakan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus (benar).”

Qs. Az-Zumar: 14

قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصاً لَّهُ دِينِي -١٤-

Katakanlah, “Hanya Allah yang aku ibadahi dengan penuh keikhlasan kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku.” Qs. Al-An’am: 162-163

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ -١٦٢- لاَ شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَاْ أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ -١٦٣-

“Katakanlah (Muhammad), “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (Muslim).”

Qs. Al-Mulk: 2

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ -٢-

Yang Menciptakan mati dan hidup, untuk Menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.”

Allah Ta’ala menjelaskan tujuan Dia menciptakan kematian dan kehidupan adalah untuk menguji manusia siapakah di antara merena yang paling baik amalnya.

Fudhail bin ‘Iyadh rh. ulama tabiut tabi’in, menjelaskan makna ahsanu ‘amalan / amalan yang paling baik yaitu amalan yang paling ikhlas dan paling benar / tepat (shawwab).

Ia ditanya, apakah yang dimaksud dengan yang paling ikhlas dan paling benar / tepat (shawwab)?

Ia menjawab, ”Amal itu bila ikhlas, tapi tidak benar maka tidak diterima. Dan bila amal itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima. Sampai amal itu menjadi ikhlas dan benar. Ikhlas yaitu hanya karena Allah dan benar adalah berdasar atas sunnah.”

Ibnu Taimiyah memberikan komentar terhadap penjelasan Al-Fudhail dengan mengatakan, ”Hal itu merupakan realisasi firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدً

“Maka siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhan-nya.” [Qs. Al-Kahfi: 110] [Majmu’ Fatawa: (1/333)]

Dalil dari sunnah

Pertama, hadits niat dari Umar bin Khathab ra., Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya semua amalan itu tergantung dengan niat. Dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai apa yang dia niatkan.” [HR. Bukhari (1) dan Muslim (1907)]

Kedua, hadits riwayat At-Tirmidzi (3590) dan dihasankan oleh Al-Albani. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang hamba mengatakan, ”Laa ilaaha illallah saja secara ikhlas kecuali dibukakan untuknya pintu-pintu langit sampai ke ‘Arsy selama dia menjauhi dosa-dosa besar.”

Ketiga, hadits tentang keutamaan puasa Ramadhan secara ikhlas. Rasulullah SAW  bersabda, ”Siapa saja yang puasa Ramadhan karena iman dan berharap pahala maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [HR. Bukhari (38) dan Muslim (760)]

Keenam, hadits tentang keutamaan qiyamullail di bulan Ramadhan secara ikhlas. Rasulullah SAW bersabda, ”Siapa saja yang qiyamullail pada bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala maka akan dampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [HR. Al-Bukhari (2685) dan Muslim (1153)

Pentingnya ikhlas

Ikhlas menduduki posisi sangat penting dalam kehidupan seorang muslim. Tidak ada seorang muslimpun yang tidak memerlukan ikhlas.

Tentang pentingnya ikhlas ini, bisa dilihat dari penjelasan Dr. Mahmud As-Sayyid Dawud sebagai berikut.

Pertama, ikhlas adalah senjata yang sesuai bagi seorang Muslim untuk mengarungi pertempuran dalam kehidupan ini.

Medan tempur seorang Muslim dalam hidup ini banyak, yaitu perang melawan dirinya sendiri, hawa nafsu dan dunia, perang melawan setan manusia dan jin yang menghalangi antara dirinya dengan aktifitas ibadahnya kepada Tuhannya.

Allah Ta’ala berfirman dalam surat Al-Fath: 18,

لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا

Pertolongan, keberhasilan, kekuasaan dan pembebasan atau turunnya ketenangan dan kebahagiaan itu karena Allah mengetahui dalam diri para sahabat tersebut terdapat iman dan ikhlas.

Kedua, ikhlas merupakan jalan selamat dari riya’ dan syirik serta siksaan yang diakibatkan oleh kedua hal tersebut pada hari kiamat.

Hal ini sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (1905) tentang tiga orang yang pertama kali disiksa pada hari kiamat, yaitu orang berilmu atau ahli baca quran (qari’), Mujahid yang gugur di medan perang dan orang yang suka berderma, karena mereka tidak ikhlas.

Ketiga, ikhlas merupakan salah satu syarat diterimanya Ibadah.

Ibadah akan diterima dengan dua syarat yaitu pertama harus sesuai dengan syara’. Yang kedua ikhlas mengharap ridha Allah Ta’ala. Ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدً

“Maka siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia beramal shaleh dan janganlah mensekutukan dengan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya. [Qs. Al-Kahfi: 110]

eempat, ikhlas merupakan bukti, Islam itu tidak hanya memperhatikan persoalan tampilan semata namun memperhatikan inti (hakikat) juga.

Beberapa tanda ikhlas

Ikhlas memiliki tanda-tanda yang nampak pada orang-orang yang ikhlas yang telah disebutkan oleh para ulama, di antaranya adalah; tidak suka popularitas, tidak suka pujian dan sanjungan, bersemangat beramal untuk agama ini.

Lalu, bersegera dalam beramal dan mengharapkan akhirat, sabar, tegar dan tidak suka mengeluh, berusaha keras untuk menyembunyikan amalan, melakukan amal sebaik mungkin secara tersembunyi, memperbanyak amal secara tersembunyi, amal yang tersembunyi lebih besar dari amalan yang terlihat.

Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid mengatakan, orang yang mempersaksikan keikhlasan dalam keikhlasan dirinya maka ikhlasnya tersebut masih membutuhkan keikhlasan.

Ikhlas

Di antara buah ikhlas menurut Syaikh Muhammad Shalih dalam buku kecil berjudul, AlIkhlas, di antaranya adalah sebagai berikut.

Pertama, diterimanya amal. Sebagaimana hadits Abu Umamah Al-Bahili ra., dia berkata, ”Nabi SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali bila amal itu murni dan hanya mengharapkan ridha Allah dengan amal tersebut.” [HR. An-Nasai (3140) dan dishahihkan oleh Al-Albani].

Kedua, mendapatkan pahala dan mengubah kebiasaan serta perbuatan mubah menjadi ibadah yang bernilai tinggi. Hal ini sebagaimana hadits Sa’ad bin Abi Waqqash ra., dia berkata, ”Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya tidaklah kamu menginfakkan suatu nafkah yang dengan nafkah tersebut kamu mengharapkan wajah Allah kecuali kamu diberi pahala karena nafkah tersebut hingga apa yang kamu suapkan pada mulut istrimu.” [HR. Al-Bukhari (56) dan Muslim (1628)]

Ketiga, menjadikan amal yang kecil menjadi besar. Imam Ibnul Mubarak rh.,  seorang ulama Tabiut Tabi’in, berkata, ”Bisa jadi amal kecil menjadi banyak karena niat dan bisa jadi amal besar menjadi kecil karena niat.” [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (1/13)]

Keempat, dosa-dosanya diampuni. Ikhlas merupakan sebab terbesar diampuninya dosa-dosa. Ibnu Taimiyah berkata, ”Satu jenis amal saja yang terkadang dilakukan oleh seseorang dengan keikhlasan dan penghambaan yang sempurna kepada Allah, maka Allah akan mengampuni sejumlah dosa-dosa besar.”

Sebagaimana dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Amr ra dari Nabi SAW bersabda, ”Ada salah seorang dari umatku dipanggil pada hari kiamat di hadapan seluruh manusia ketika itu. Lalu dibentangkan catatan amalnya yang berjumlah 99 lembar catatan.

Setiap lembar catatan panjangnya sejauh mata memandang. Kemudian Allah bertanya kepadanya, “Apakah ada sesuatu yang engkau ingkari dari catatanmu ini?” Ia menjawab, “Tidak sama sekali wahai Rabbku.”

Allah berfirman, “Kamu tidak akan dizhalimi.” Lantas dikeluarkanlah satu bithaqah / kartu sebesar telapak tangan yang bertuliskan syahadat ‘laa ilaha ilallah. Lalu ia bertanya, “Dimanakah letak kartu ini bersama dengan catatan amal tadi?”

Lantas diletakkanlah dan kartu Laa ilaha illallah’ di satu timbangan mizan dan catatan amalnya di daun timbangan lainnya. Ternyata kartu bertuliskan Laa ilaaha illallah itu lebih berat daripada catatan amalnya. [HR. At-Tirmidzi (2639) dan Ibnu Majah dishahihkan oleh Al-Hakim dan adzahabi mengatakan sesuai syarat Muslim].

Ini adalah keadaan orang yang mengatakan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas dan jujur sebagaimana dikatakan oleh lelaki dalam hadits ini. Kalau tidak demikian maka seluruh pelaku dosa besar yang telah masuk neraka itu juga mengucapkan Laa ilaaha illallah.

Namun demikian, perkataan mereka itu tidak menjadikan lebih berat dibandingkan keburukan mereka sebagaimana perkataan pemilik bithaqah ini telah menjadikannya lebih berat.” [Fatawa Ibnu Taimiyah (6/218-221)]

Kelima, mendapatkan pahala suatu amal meskipun tidak mampu melakukannya. Hal ini sebagaimana dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik ra., dia berkata, ”Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya ada sejumlah orang di Madinah yang berada di belakang kita (maksudnya tidak ikut dalam perang di jalan Allah), tidaklah kita melewati suatu jalan setapak di gunung atau pun suatu lembah kecuali mereka bersama kita di sana. Mereka ditahan oleh udzur.” [HR. Bukhari (2684)].

Dalam riwayat lain disebutkan, ”Kecuali mereka itu berserikat dengan kalian dalam pahala.” [HR. Muslim (1911)]

Keenam, melindungi diri dari setan. Hal ini sebagaimana firman Allah Ta’ala,

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الأَرْضِ وَلأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ -٣٩- إِلاَّ عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ -٤٠-

Ia (Iblis) berkata, “Tuhan-ku, oleh karena Engkau telah Memutuskan bahwa aku sesat, aku pasti akan jadikan (kejahatan) terasa indah bagi mereka di bumi, dan aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlash di antara mereka.” [Qs. Al-Hijr: 39-40]. Jadi setan tidak bisa menyesatkan orang yang membentengi diri dengan keikhlasan.

Ketujuh, selamat dari fitnah. Orang yang ikhlas akan terlindungi dari terjerumus ke dalam lembah syahwat dan dari cakar orang-orang fasik dan fajir. Allah telah menyelamatkan Nabi Yusuf AS dari fitnah istri Al-‘Aziz, gelar penguasa Mesir saat itu.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ هَمَّتْ بِهِ وَهَمَّ بِهَا لَوْلا أَن رَّأَى بُرْهَانَ رَبِّهِ كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاء إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ -٢٤-

Dan sungguh, perempuan itu telah berkehendak kepadanya (Yusuf). Dan Yusuf pun berkehendak kepadanya, sekiranya dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah, Kami Palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang ikhlas.” [Qs. Yusuf: 24]

Kedelapan, diberi jalan keluar dari masalah yang berat. Hal ini sebagaimana kisah tiga orang yang terperangkap di dalam gua karena tertutup batu besar di zaman sebelum umat Nabi Muhammad SAW.

Masing-masing dari ketiga orang itu kemudian bertawassul kepada Allah dengan amal shaleh mereka yang dinilai paling tulus karena Allah, agar Allah berkenan memberi jalan keluar dari masalah tersebut.

Semoga Allah Ta’ala selalu membimbing setiap langkah kita untuk selalu ikhlas dalam menjali kehidupan yang singkat ini, wallahua’lam. (A/RS3/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.