Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Darah di Atas Tanah Suci: Jeritan Palestina di Bawah Langit yang Terluka

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 2 menit yang lalu

2 menit yang lalu

0 Views

Kehancuran Yahudi Zionis Israel (foto: IG)

GAZA, tanah yang dulunya menjadi saksi para nabi kini berselimut darah. Tangisan bayi, rintihan ibu, dan tubuh-tubuh kecil tak bernyawa berserakan di reruntuhan rumah yang hancur dibombardir. Dunia menutup mata, telinga dibekukan, dan lidah-lidah para pemimpin membisu, sementara kebiadaban Zionis Israel terus menjadi laknat yang tak kunjung berakhir.

Pagi itu, langit Gaza belum sempat tersenyum. Sebuah misil menghantam sebuah rumah di Khan Younis, tempat keluarga Abu Samir tinggal bersama istri dan tiga anaknya. Rumah itu kini tinggal abu. Dari balik puing-puing, tercium bau daging terbakar—bukan dari hewan, tapi dari manusia. Manusia yang Allah ciptakan mulia, tapi direnggut nyawanya tanpa ampun oleh tangan-tangan bengis.

Anak sulung Abu Samir, Rawan, baru berusia 9 tahun. Tubuh mungilnya ditemukan tanpa tangan. Ibunya ditemukan memeluk erat bayi yang masih menyusu—tak satu pun yang selamat. Mereka bukan militan. Mereka bukan tentara. Mereka hanya manusia yang lahir di tanah yang salah, di mata mesin pembunuh bernama Zionis Israel.

Hari-hari di Gaza bukanlah hari biasa. Tidak ada pagi yang cerah tanpa ketakutan, tidak ada malam yang tenang tanpa deru pesawat tempur di langit. palestina/">Anak-anak Palestina kini lebih hafal suara bom daripada suara azan. Mereka tidak mengenal lagu anak-anak, karena yang mereka dengar tiap hari hanyalah sirene dan teriakan kematian.

Baca Juga: Ketika Zionis Israel Kian Brutal, Setan-Manusia yang Mati Nurani

Di balik propaganda media barat yang menyesatkan, Zionis Israel terus menyebarkan narasi seolah-olah mereka bertahan. Tapi siapa yang sebenarnya dibombardir siang dan malam? Siapa yang kehabisan makanan dan air, karena bantuan dihentikan? Siapa yang harus menggali kubur massal dengan tangan sendiri karena alat berat tidak tersedia? Palestina, jawabannya. Gaza, tempat penderitaan menjadi sahabat akrab.

“Anakku meninggal tanpa sempat sarapan,” kata Um Ahmad, seorang ibu yang kini duduk di puing rumahnya sambil memeluk baju kecil penuh darah. “Dia ingin jadi dokter, tapi dunia tidak memberinya kesempatan.” Matanya kosong, jiwanya hancur, namun ia tetap kuat. Di Palestina, kekuatan bukan pilihan, tapi kewajiban.

Sementara itu, para penjajah Zionis merayakan “keberhasilan” mereka dengan senjata canggih dan teknologi mutakhir. Mereka menari di atas kuburan anak-anak. Mereka berteriak “damai” dengan tangan penuh darah. Tak ada rasa malu, tak ada kemanusiaan. Mereka bukan hanya mencuri tanah, tetapi juga mencuri masa depan generasi yang belum sempat tumbuh dewasa.

Apa yang dilakukan dunia? Lembaga internasional sekadar mengeluarkan pernyataan “keprihatinan”. Para pemimpin negara adidaya sibuk berdebat tentang resolusi yang tak pernah ditegakkan. Sementara itu, jasad-jasad terus bertambah. Deretan kuburan massal makin panjang. Masjid runtuh, rumah sakit hancur, dan sekolah-sekolah menjadi sasaran rudal.

Baca Juga: Tragedi Nakbah, Pengingat Bagi Dunia Akan Kekejaman Zionis Israel

Zionis Israel bukan hanya menindas, tapi melucuti kemanusiaan itu sendiri. Mereka membunuh tanpa ampun, mengusir tanpa belas kasihan, dan menyiksa tanpa rasa bersalah. Mereka bukan hanya melukai tubuh, tapi juga mematahkan jiwa. Setiap bayi yang terbunuh adalah luka baru bagi umat manusia, dan setiap serangan yang mereka lancarkan adalah noda bagi sejarah.

Namun, di tengah segala duka, Palestina tetap berdiri. Rakyatnya tidak tunduk. Mereka tidak menyerah. Mereka menyebut nama Allah di setiap langkah, meski peluru mengintai dari segala arah. Mereka memeluk anak-anak mereka dengan air mata, sambil berkata, “Sabarlah, Nak, kita tidak sendiri. Allah bersama kita.”

Ini bukan lagi soal politik. Ini soal kemanusiaan. Ini tentang tangisan seorang ibu yang kehilangan semua anaknya dalam satu malam. Ini tentang anak-anak yang bermain bola di reruntuhan karena tak punya tempat lain. Ini tentang umat manusia yang dikhianati oleh kebisuannya sendiri.

Palestina adalah luka kita bersama. Dan selama langit Gaza terus diselimuti asap dan darah, kita tak boleh diam. Sebab diam adalah pengkhianatan, dan pengkhianat terbesar adalah mereka yang melihat kejahatan lalu berpaling.

Baca Juga: Di Balik Salju Kashmir yang Berdarah

Wahai dunia, berapa banyak anak harus mati agar kalian membuka mata? Berapa banyak rumah harus hancur agar kalian berkata cukup? Dan berapa banyak doa harus dinaikkan sebelum kalian bergerak menolong saudara kalian sendiri?

Palestina menangis. Dan jeritannya menggema di langit yang kelabu, menunggu hati yang masih punya rasa untuk mendengarnya.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Dari Bandung untuk Palestina, Langkah Solidaritas yang Menggetarkan Jiwa

Rekomendasi untuk Anda