DI tengah panasnya dengan isu geopolitik dan suara-suara umat yang kian bising dalam ketidakpastian, sebuah khutbah Jumat di Masjid Asy-Syukur, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, menyuarakan pesan yang menembus batas geografis dan spiritual. Pada Jumat, 23 Mei 2025, Ustaz H. Itang Rusmana, Lc., M.H., tidak hanya sebagai khatib Jumat. Ia mengubah mimbar masjid menjadi podium solidaritas dan seruan perjuangan.
Dengan tema “Kesabaran dan Perjuangan, Jalan Menuju Cinta Allah,” khutbah tersebut menjadi refleksi atas penderitaan panjang di Palestina, sekaligus ajakan untuk menapaki jejak para nabi dan sahabat yang tetap teguh dalam jalan keimanan, bahkan saat dunia tak berpihak.
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seperti bangunan yang kokoh.” (QS. Ash-Shaff: 4)
Ayat itu menjadi pengantar khutbah. Namun lebih dari sekadar teks, ia menjelma sebagai cermin yang menyorot wajah umat hari ini: Apakah kita masih kokoh, atau justru retak oleh kenyamanan dan ketidakpedulian?
Baca Juga: Review Samsung Galaxy S25 Edge,HP Tertipis dengan Teknologi Terkini
Jejak Tabuk dan Bayangan Gaza
Ustaz Itang membangkitkan kembali ingatan tentang Perang Tabuk, momen bersejarah yang menjadi ujian kesetiaan di tengah keterbatasan. Perang itu terjadi bukan di masa kejayaan, tetapi di masa kekeringan dan paceklik. Namun umat Islam saat itu, menurutnya, tetap datang dengan penuh keikhlasan.
“Sahabat Nabi menyumbangkan seribu dinar emas, bukan karena mereka berlebih, tapi karena mereka yakin bahwa Allah akan mencintai keikhlasan itu,” ujar sang khatib, mengangkat kisah yang kini terasa beresonansi dengan realitas Gaza.
Di Palestina, terutama Gaza, perjuangan berlangsung tanpa jeda. Lebih dari 80 persen infrastruktur hancur. Namun, masyarakatnya tidak menyerah. Di tengah pembelahan wilayah oleh penjajahan Israel, warga Palestina tetap menolak menyerahkan hak atas tanah yang diwariskan oleh para leluhur.
Baca Juga: Demo Jumat di Depan Kedubes AS, Dampak Psikologis, Sosial, dan Politik
“Zionis mungkin mampu memisahkan wilayah secara peta. Tapi mereka gagal membagi tekad rakyat Palestina,” ujar sang khatib dalam nada tegas.
Khotbah ini tidak berhenti pada penggambaran sejarah atau realitas. Ia bergerak lebih dalam, ke wilayah nurani. Ustaz Itang mengutip dialog antara Mujahid dan Ibnu Umar: “Engkau tak mesti berperang bersamaku. Cukuplah engkau memohonkan agar aku diberi kecukupan dunia dan akhirat.”
Dalam konteks hari ini, pesan itu menjelma sebagai kritik halus namun tajam kepada umat Islam yang memilih diam atau sibuk dalam perkara pribadi saat dunia sedang menyaksikan genosida yang disiarkan langsung.
“Kita tidak harus memanggul senjata. Tapi siapa pun bisa memilih berdiri di barisan doa, dukungan finansial, atau bahkan menyebarkan kesadaran lewat satu unggahan yang bermakna,” kata Ustaz Itang, menyasar generasi digital yang masih bisa ‘berjihad’ melalui narasi, kampanye, dan kepedulian. []
Baca Juga: Miris Fantasi Sedarah, Pelanggaran Agama, Sosial, dan Undang-Undang
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Masjidil Haram dan Masjidil Aqsa, Dua Cahaya dalam Satu Ayat