Jenewa, MINA – Komisaris Tinggi Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet, memperingatkan, situasi mengerikan di Myanmar sejak kudeta Februari, mendorong negara itu menuju kemungkinan perang saudara dan dapat memicu ketidak-amanan regional.
Berbicara di hadapan Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Michelle Bachelet menyesalkan bahwa Myanmar dalam beberapa bulan terakhir “telah berkembang dari krisis politik menjadi bencana hak asasi manusia multi-dimensi”, demikian CNA melaporkan, Rabu (7/7).
“Penderitaan dan kekerasan di seluruh negeri adalah prospek yang menghancurkan bagi pembangunan berkelanjutan, dan meningkatkan kemungkinan kegagalan negara atau perang saudara yang lebih luas,” katanya.
Selain itu, dia memperingatkan: “Perkembangan bencana di Myanmar sejak kudeta, menghasilkan potensi yang jelas untuk ketidak-amanan besar-besaran, dengan dampak bagi wilayah yang lebih luas,” tambahnya.
Baca Juga: Kota New Delhi Diselimuti Asap Beracun, Sekolah Diliburkan
Myanmar telah mengalami protes massal dan respons militer brutal sejak kudeta 1 Februari yang menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
“Apa yang dimulai sebagai kudeta oleh militer Myanmar dengan cepat berubah menjadi serangan terhadap penduduk sipil yang semakin meluas dan sistematis,” kata Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia.
Sejak kudeta, hampir 900 orang tewas, sementara sekitar 200.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Pada saat yang sama, setidaknya 5.200 orang telah ditangkap secara sewenang-wenang, termasuk lebih dari 90 wartawan, menurut angka PBB, sementara delapan media besar terpaksa ditutup.
Baca Juga: Ratusan Ribu Orang Mengungsi saat Topan Super Man-yi Menuju Filipina
Bachelet juga menunjuk ke beberapa laporan tentang “penghilangan paksa, penyiksaan brutal dan kematian dalam tahanan”, serta penangkapan kerabat dan bahkan anak-anak dari orang-orang yang dicari oleh pihak berwenang.
“Keputus-asaan meningkat,” Bachelet memperingatkan, ia menunjukkan bahwa orang-orang di seluruh negeri sekarang telah mengangkat senjata dan membentuk kelompok perlindungan diri.
“Kelompok oposisi bersenjata yang baru dibentuk ini telah melancarkan serangan di beberapa lokasi, yang ditanggapi oleh pasukan keamanan dengan kekuatan yang tidak proporsional,” katanya.
“Saya khawatir eskalasi kekerasan ini dapat memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi warga sipil,” imbuhnya.
Baca Juga: Filipina Kembali Dihantam Badai
Ia meminta “semua aktor bersenjata” untuk menghormati dan melindungi warga sipil dan struktur sipil seperti pusat kesehatan dan sekolah.
Dalam lima bulan terakhir, setidaknya ada 240 serangan terhadap fasilitas dan personel layanan kesehatan, yang antara lain “menonaktifkan pengujian, pengobatan, dan vaksinasi COVID-19 secara serius”.
Ia mengajak agar komunitas internasional bersatu dalam menekan militer untuk menghentikan serangan yang terus berlanjut terhadap rakyat Myanmar dan mengembalikan negara itu ke demokrasi. (T/R6/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Iran, Rusia, Turkiye Kutuk Kekejaman Israel di Palestina dan Lebanon