Bogor, MINA – Dewan Pengawas Syariah Pengelolaan Dana Lestari dan Wakaf IPB University, Dr Neneng Hasanah, SAg, MA, mengatakan, umat Muslim dapat memperbanyak wakaf berupa alat kesehatan (alkes).
“Seperti saat ini ada wakaf melalui uang, ini dapat digunakan untuk membeli alat kesehatan karena mewabahnya COVID-19.,” ujarnya. Sebagaimana keterangan yang diterima MINA, Kamis (23/4).
Menurutnya, wakaf untuk kesehatan dan pembelian alat-alat kesehatan sudah ada dalam sejarah peradaban Islam.
Ia mengatakan, Mustafa Assiba’i dalam bukunya Min Rawai’ Hadharatina menyebutkan, salah satu jenis wakaf yang utama pada masa kejayaan peradaban Islam adalah wakaf kesehatan yaitu rumah sakit yang disebut dengan “Bimaristan” dan lembaga pendidikan kedokteran.
Baca Juga: Hadiri Indonesia-Brazil Business Forum, Prabowo Bahas Kerjasama Ekonomi
Bimaristan tidak hanya berfungsi untuk mengobati pasien tetapi berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan kedokteran.
Bimaristan dibangun oleh Khalifah Umayyah al-Walid bin Abdul Malik di Damaskus tahun 88 H yang mempekerjakan para dokter dan perawat untuk memberikan pengobatan dan perawatan kepada pasien.
Jadi bukan hanya wakaf seperti pada umumnya, masyarakat mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid, karena masjid dipergunakan untuk beribadah.
Padahal jika dilihat dari sejarah wakaf pada masa lampau, baik yang dilakukan Nabi Muhammad maupun para sahabat, selain masjid dan tempat belajar, cukup banyak wakaf yang berupa kebun yang produktif, sumur yang bisa mengairi lahan pertanian dan perkebunan, pembelian alat-alat kesehatan yang hasilnya diperuntukkan bagi mereka yang memerlukan dan membutuhkan bantuan.
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Melemah Efek Konflik di Timur Tengah
Wakaf Uang
Terkait wakaf, menurut Neneng, saat ini ada dua istilah perwakafan yang berkembang di tengah masyarakat yaitu wakaf uang dan wakaf melalui uang.
Wakaf uang adalah wakaf berupa uang dalam bentuk rupiah yang dikelola secara produktif, hasilnya dimanfaatkan untuk mauquf’alaih (peruntukan wakaf).
Sedangkan wakaf melalui uang, harta benda wakafnya adalah barang/benda yang dibeli atau diwujudkan dengan dana yang berasal dari wakaf melalui uang, yang harus dijaga kelestariannya, tidak boleh dijual, diwariskan atau dihibahkan.
Baca Juga: Komite Perlindungan Jurnalis Kutuk Israel atas Tebunuhnya Tiga Wartawan di Lebanon
“Wakaf uang hanya untuk tujuan produktif atau investasi baik di sektor riil maupun sektor keuangan.Tidak terikat pada satu jenis investasi tetapi terbuka untuk semua jenis investasi yang aman, menguntungkan, dan sesuai syariah serta peraturan perundang-undangan,” ujarnya.
Ia menambahkan, dalam wakaf uang, yang diberikan kepada penerima manfaat wakaf (mauquf’alaih) adalah keuntungan atau hasil investasi bukan uang wakafnya. Harta benda wakafnya adalah uang yang harus dijaga nilai pokoknya dengan menginvestasikannya. Jika diinvestasikan pada properti atau produksi barang maka boleh dijual karena bukan sebagai harta benda wakaf.
Sementara itu, wakaf melalui uang dapat ditujukan untuk keperluan sosial atau produktif/investasi. Terikat dengan satu jenis investasi yang dikehendaki wakif atau program/proyek wakaf yang ditawarkan kepada wakif.
Untuk tujuan sosial, wakaf melalui uang terikat peruntukannya sesuai kehendak wakif atau program/proyek wakaf yang ditawarkan kepada wakif. Wakaf melalui uang yang diproduktifkan atau diinvestasikan maka keuntungan dari investasi itu yang diberikan kepada mauquf’alaih, sedangkan wakaf melalui uang untuk keperluan sosial maka uangnya yang langsung dimanfaatkan.
Baca Juga: OJK Dorong Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah untuk Santri di Kalteng
Harta benda wakafnya adalah barang/benda yang dibeli atau diwujudkan dengan uang yang harus dijaga, dilindungi, tidak boleh dijual, diwarisi dan dihibahkan kepada ahli warisnya. Seperti wakaf untuk kesehatan, mendirikan rumah sakit dan pembelian alat-alat kesehatan.
“Adapun dalam kasus seperti saat ini, pembeliaan alat pelindung diri (APD) dari wakaf melalui uang disebabkan karena kebutuhan yang sifatnya emergensi (mendesak), hal ini dibolehkan sebagai wakaf untuk tujuan kemaslahatan umum,” imbuhnya.
Bagi lembaga wakaf, wakaf uang dan wakaf melalui uang harus dijadikan sebagai peluang untuk mengembangkan berbagai layanan sosial dan/atau bisnis berbasis wakaf, sedangkan bagi masyarakat terbuka kesempatan menjadi wakif dengan nominal uang berapapun sehingga siapapun bisa memperoleh pahala wakaf yang terus mengalir.
Pendapat ulama fikih terkait kebolehan wakaf uang, yaitu ulama Malikiyah (pengikut mazhab Imam Malik), dan Imam al-Zuhri (pengikut mazhab Imam Abu Hanifah) bahwa si wakif menjadikan hartanya bermanfaat dan dapat digunakan oleh yang berhak walaupun yang dimiliki berupa upah atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan, seperti wakaf uang dengan lafaz “wakaf untuk masa tertentu (sementara) sesuai dengan keinginan si pemilik wakaf (harta)”.
Baca Juga: Wapres: Ekonomi Syariah Arus Baru Ketahanan Ekonomi Nasional
Wakaf uang, pemilik harta menahan dari penggunaan secara kepemilikan dan membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan. Pemanfaatan benda secara wajar, sedang benda tersebut tetap menjadi milik wakif.
Keyakinan ini didukung oleh hadits Rasul SAW tentang amal yang kekal sekalipun pemiliknya sudah meninggal dunia, yaitu shadaqah jariyah (sedekah) sebagaimana hadits berikut, dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Apabila manusia meninggal dunia, putuslah pahala semua amalnya, kecuali tiga perkara yaitu: shadaqah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang selalu mendo’akan orang tuanya”. (H.R. Muslim).
Hadits inilah salah satu dalil motivasi masyarakat Islam untuk berderma, khususnya dalam masalah wakaf yang diyakini masyarakat sebagai bekal amal sholeh yang akan menolongnya di akhirat kelak, yaitu melalui shadaqah jariyahnya. (R/R1/RS2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ketum Muhammadiyah: Jadikan Indonesia Pusat Pengembangan Ekonomi dan Keuangan Syariah