Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di Bawah Langit Senja, 400 Remaja Klaten Menenun Iman dan Solidaritas dalam Gema Al-Qur’an

Zaenal Muttaqin Editor : Widi Kusnadi - 3 jam yang lalu

3 jam yang lalu

8 Views

Peserta Klaten Mangani nampak khusyuk melantunkan ayat-ayat Al Quran (Foto: Istimewa)

SUARA lembut lantunan ayat Al-Qur’an menyatu dengan gemerisik angin sore di Alun-Alun Klaten. Di atas hamparan rumput, ratusan remaja duduk melingkar, mata tertuju pada mushaf di genggaman, ada yang berbentuk buku lebar, ada pula yang terpancar dari layar ponsel.

Mereka adalah peserta Klaten Mengaji 3, sebuah ritual tahunan yang mengawali Ramadhan dengan menggali makna Surah Al Kahfi sambil menunggu bedug maghrib.

Acara ini bukan sekadar kumpul-kumpul. Sejak pukul 15.30 WIB pada Sabtu (1/3), Alun-Alun yang biasanya ramai dengan pengunjung santai, berubah menjadi ruang sakral.

Remaja putri dengan gamis warna-warni memadati sisi selatan, sementara remaja putra bersarung dan peci mengisi sisi utara. Di antara mereka, terbentang koridor selebar tiga meter, batas yang menjaga kekhusyukan, tapi tak memutus semangat kebersamaan.

Baca Juga: Selama Ramadhan, Masjid Istiqlal Sediakan Ribuan Boks Nasi bagi Jama’ah

“Ini tentang merajut silaturahmi, tapi juga tentang mengajak generasi muda kembali ke ‘akar’ di tengah dunia yang makin gaduh,” ujar Cendra Hias, koordinator acara, suaranya bergetar penuh semangat.

Tahun ini, 40 komunitas Islam Klaten bersatu dalam acara itu. Jumlah peserta mencapai 400 orang, angka yang membuatnya tersenyum bangga.

Antara Literasi Digital dan Ancaman Zaman

Pemilihan Surah Al Kahfi bukan tanpa alasan. Dalam keyakinan Islam, surat ini disebut sebagai tameng dari fitnah Dajjal di akhir zaman.

Baca Juga: Safari Ramadhan AWG Bersama Ulama Palestina, Angkat Tema Bangun Kembali Gaza

“Kami ingin anak muda paham bahwa tantangan mereka nyata: hoaks, polarisasi, hingga krisis identitas. Al Kahfi mengajarkan keteguhan, seperti kisah Ashabul Kahfi yang bertahan dalam gua,” jelas Cendra.

Uniknya, meski tema yang diusung berat, cara mereka berinteraksi dengan kitab suci justru mengikuti zaman. Sebagian besar peserta, yang lahir di era digital, memilih membaca Al-Qur’an melalui aplikasi di ponsel.

“Lebih praktis, bisa di-zoom kalau tulisan Arabnya kecil,” kata Rara, 17 tahun, sambil tertawa ringan.

Tapi tak sedikit yang tetap setia membawa mushaf fisik. “Sentuhan kertas itu bikin hati lebih tenang,” tambah Fajar, remaja yang tergabung dalam Komunitas Pemuda Masjid Jogonal.

Baca Juga: Mengenal Tradisi Unik Ramadhan di Berbagai Negara

Kekhusyukan mereka tak terganggu deru motor atau sorak anak kecil yang berlarian di pinggir alun-alun. Hingga petang tiba, tak ada satu pun ponsel yang berbunyi, semua dalam mode senyap.

“Ini bukti bahwa generasi kami bisa *disconnect* untuk hal yang bermakna,” ucap Devina, peserta dari Komunitas Hijabers Klaten.

Dari Palestina hingga Tradisi Ngabuburit: Ramadhan yang Menyentuh Realitas

Usai pengajian, acara tak langsung bubar. Sebuah orasi pendek tentang Palestina menggema.

Baca Juga: Awali Amaliyah Ramadhan dengan Start yang Baik

“Membaca Al-Qur’an di bulan Ramadan harus dibarengi dengan kepedulian. Palestina adalah ujian iman kita semua,” seru salah seorang panitia, disambut gemuruh “Allahu Akbar” dari peserta.

Momentum ini, menurut Cendra, sengaja diselipkan untuk mengingatkan bahwa Ramadan bukan hanya tentang diri sendiri, tapi juga solidaritas universal.

Tradisi ngabuburit (menunggu waktu berbuka) yang biasanya diisi dengan jalan-jalan atau kuliner, kali ini bermetamorfosis menjadi ruang refleksi.

“Justru ini yang kami rindukan, ngabuburit yang mengisi jiwa, bukan sekadar perut,” ujar KH Amin Mustofa, Ketua Ikatan Da’i Indonesia (Ikadi) Klaten, yang turut duduk di antara peserta.

Baca Juga: Semarak Ramadhan, Pospes Al-Fatah Lampung Kirim Santri ke Berbagai Masjid 

Menjawab Kegelisahan Generasi Z 

Bagi Amin Mustofa, antusiasme ratusan remaja ini adalah jawaban atas kegelisahan banyak orang tua.

“Di era TikTok dan Instagram, kami sempat khawatir anak muda menjauh dari nilai agama. Tapi Klaten membuktikan sebaliknya,” katanya.

Menurutnya, acara seperti ini adalah “tafsir modern” dari makna Ramadhan, bukan sekadar puasa, tapi juga membangun komunitas yang literat secara spiritual.

Baca Juga: ICMI Gelar Festival Ramadhan Satu Bulan Penuh

Tahun ini, panitia sengaja tidak mengundang artis atau menghadirkan hiburan musik.

“Kami ingin fokus pada esensi: Al-Qur’an dan dialog antar komunitas,” tegas Cendra.

Hasilnya? Meski tanpa gebyar, peserta justru mengaku lebih terkesan. “Di sini, kami merasa jadi bagian dari sesuatu yang lebih besar,” ucap Bayu, remaja yang baru pertama kali ikut.

Saat adzan maghrib berkumandang, Alun-Alun Klaten perlahan mulai sepi. Para remaja berpamitan dengan salaman dan senyum, membawa pulang tidak hanya pahala, tetapi juga benih-benih diskusi yang akan mereka teruskan di komunitas masing-masing.

Baca Juga: Ramadhan di Gaza: Shalat Tarawih di Reruntuhan Bangunan

Di langit, lampion-lampion kecil mulai dinyalakan oleh pedagang sekitar, simbol harapan bahwa semangat Klaten Mengaji akan terus menyala, bahkan setelah Ramadhan berlalu.

“Tahun depan, kami ingin lebih banyak lagi yang terlibat. Tidak hanya remaja, tapi juga anak-anak dan orang tua,” tutup Cendra, matanya berbinar.

Sebuah janji bahwa di tengah deru modernisasi, Klaten tetap ingin menjadi kota yang menghidupkan Al-Qur’an, satu ayat, satu generasi, dalam satu lingkaran persaudaraan. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Menyambut Hari Pertama Ramadhan dengan Semangat

Rekomendasi untuk Anda