Washington DC, 10 Muharram 1438/11 Oktober 2016 (MINA) – Menjadi Muslim di Amerika Serikat saat ini akan membingungkan. Terlebih menghadapi pemilihan presiden diikuti dua kandidat yang kontroversial semakin dekat.
Muslim menghadapi dilema antara memilih calon yang telah berulang kali menghina dan mengatakan banyak hal negatif tentang mereka, serta calon lain yang belum mendukung hak dan isu-isu yang mempengaruhi kehidupan mereka serta memiliki jejak rekam gagal dalam menangani persoalan Timur Tengah.
“Dalam pemilihan ini, kita dipaksa untuk memilih antara kepala naga mana yang kurang jahat atau lebih menarik,” kata Amal Kassir, seorang aktivis Muslimah dari Denver, Colorado.
Dia menyebutkan, para pejabat yang dulu mendukung kandidat kontroversial Donald Trump kini beralih menolaknya karena baru-baru ini Trump mengeluarkan pernyataan yang melecehkan wanita kulit putih. Sementara, menurutnya, saat Trump menghina Muslim, warga Latin, dan pengungsi, para pejabat itu memilih diam saja.
Baca Juga: DK PBB Berikan Suara untuk Rancangan Resolusi Gencatan Genjata Gaza
“Tapi hal yang menakutkan adalah jika ia terpilih, berarti faham fanatiknya telah menyebar, dan hal berikutnya yang kalian tahu adalah banyaknya gerombolan bersenjata di depan gereja dan masjid kami,” tegasnya.
Namun menurut Ray Hanania, seorang Jurnalis AS keturunan Palestina, memilih Trump yang berasal dari kubu Republik akan lebih baik daripada lawannya kubu demokrat.
“Bagi kami, orang-orang Arab dan Muslim, tujuan nyata bagi kami adalah perubahan, dan Trump merupakan kesempatan yang lebih baik bagi masyarakat kita untuk memperkenalkan perubahan nyata dalam kebijakan pemerintah AS terutama di Timur Tengah,” katanya kepada Al Jazeera.
Adapun Hillary Clinton dari Demokrat, menurut Hanania, ia tidak lebih baik daripada Trump dalam hal melecehkan wanita.
Baca Juga: Kepada Sekjen PBB, Prabowo Sampaikan Komitmen Transisi Energi Terbarukan
“Trump mengatakan hal cabul tentang wanita, tapi Bill Clinton benar-benar melakukan hal-hal yang buruk terhadap perempuan dan Hillary tetap membela suaminya atas hal itu,” katanya.
Hanania juga mengkritik Hillary karena banyak kebijakannya yang gagal dalam persoalan Timur Tengah saat menjabat sebagai menteri luar negeri pada periode pertama kepemimpinan Barack Obama. “Sehingga memilihnya sebagai pemimpin nomor satu AS tidak akan merubah kebijakan negara tersebut di Timur Tengah,” katanya.
Perbedaan antara Demokrat dan Republik, kata pria tersebut, adalah bahwa Demokrat biasanya akan memberikan “bualan yang menyenangkan”, sementara Trump dari Republik selalu bicara “tumpul dan blak-blakan.”
“Tapi keduanya pada dasarnya sama,” ungkapnya.(T/R04/P2)
Baca Juga: Puluhan Anggota Kongres AS Desak Biden Sanksi Dua Menteri Israel
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)