DILEMA MUSLIM ROHINGYA YANG TAK BERKESUDAHAN

Manusia Perahu (Rohingya)

Manusia Perahu (Potho: Asiapics)
(Potho: Asiapics)

Seorang pemilik kapal nelayan, Puton Nya yang sebagian besar menghabiskan hidupnya untuk membantu untuk menghindari penganiayaan dan kebencian yang dilakukan oleh Budhis dan pemerintah merasa khawatir akan meningkatnya eksodus dalam beberapa pekan terakhir.

“Semua orang pergi sekarang,” kata Puton Nya. “Aku takut, tidak ada yang akan ditinggalkan.”

Serangan kekerasan secara brutal, bersama-sama dengan kebijakan pemerintah yang diskriminatif dan dibantu oleh mayoritas Budha menyebabkan lebih dari 100.000 Muslim melarikan diri dengan perahu dalam dua tahun terakhir,” menurut laporan sebuah kelompok hak asasi manusia yang memantau Rohingya, Arakan Project.

Direktur Arakan Project, Chris Lewa mengatakan meningkatnya eksodus yang terjadi sebanyak dua kali lipat dalam priode setahun, dengan lebih dari 15.000 orang yang meninggalkan Myanmar sejak 15 Oktober tahun lalu.

Lewa mengatakan tentara dan penjaga perbatasan di Arakan utara terlibat dalam kampanye menciptakan kerakutan dan memaksa mereka untuk pergi.

Setidaknya dalam enam pekan terakhir setidaknya empat orang Rohingya disiksa sampai tewas di Arakan bagian utara, Myanmar barat. Lewa mengatakan pasukan keamanan mematahkan kaki salah satu korban dan membakarnya selama interogasi, dan tubuh dibuang dan sebagian lainnya di ditemukan di sungai.

Tidak hanya itu, laki-laki muda dipaksa jalan dan dipukuli secara brutal oleh penjaga perbatasan dan tentara tanpa penjelasan yang jelas. Satu foto hasil jepretan ponsel menunjukkan seorang pria tewas dengan luka rahang, tulang pipi dan perut.

Lebih dari 140 orang telah ditangkap di dua puluh desa, Lewa mengatakan banyaknya tuduhan dan pemerasan yang terjadi.

Menteri Nasional Informasi Ye Htut tidak segera menanggapi tuduhan

Etnis Rohingya tidak diakui kewarganegaraannya, meskipun catatan sejarah menunjukkan mereka telah ratusan tahun tinggal di negara tersebut. Sementara itu sebagian dari mereka berasal dari Bangladesh pada awal 1900 berada di bawah kekuasaan Inggris.

Segera setelah Myanmar mulai transisi dari setengah abad kediktatoran demokrasi pada 2011, era kebebasan berekspresi memperparah kondisi warga Rohingya.

Kebanyakan Rohingya kini hidup dalam kondisi apartheid seperti di kamp-kamp di luar Sittwe atau di desa-desa perbatasan. Mereka tidak bisa pergi tanpa membayar upeti dengan jumlah cukup besar untuk polisi dan menghadapi ancaman kekerasan dari komunitas Buddha Arakan .

Tidak hanya itu, Rohingya memiliki akses terbatas ke sekolah dan pelayanan kesehatan. Médecins Sans Frontières (MSF), kelompok medis internasional yang sudah mengabdikan diri selama dua dekade lebih untuk Rohingya, tiba-tiba diusir setelah pemerintah menuduh mereka pilih kasih dalam penanganan.

Juru bicara Arakan Win Myaing mengatakan pemerintah mengatakan pada Juli lalu bahwa kelompok bisa kembali, namun pihaknya tidak menjamin keselamatan mereka dan belum memberikan kepastian kapan mereka diperbolehkan beroperasi.

Presiden AS Barack Obama, Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon dan beberapa kepala negara mengunjungi Myanmar pekan lalu menghadiri KTT meminta pemerintah untuk mengatasi krisis. Pemerintah telah mengajukan “Rencana Aksi Rakhine [Arakan],” tapi itu juga menuai kritik.

Gunakan istilah Bengali atau Manusia Perahu

pemilu di myanmar
(Potho: AP)

Hanya mereka yang bisa membuktikan bahwa mereka tinggal di negara itu sejak 1948 dapat memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan, itupun ssetelah mereka membayar upeti dan tidak mendapat kebebasan penuh dibanding etnis lainnya.

Mereka yang tidak mematuhi akan diklasifikasikan sebagai “Bengali,” sebuah istilah yang berarti mereka adalah imigran gelap dan bisa saja sesuka hati di asingkan ke kamp-kamp kumuh dan dideportasi.

Sekarang Rohingya meninggalkan Myanmar menuju beberapa negara termasuk Malaysia dan Indonesia. Mereka bersembunyi di rumah-rumah kosong sebelum mengarungi laut lepas di tengah malam dengan menggunakan kapal nelayan.

Shabu Kuna (23), Muslim Rohingya adalah satu diantara banyak “manusia perahu” yang mencoba menyelamatkan diri dengan meninggalkan kota kelahirannya. Meninggalkan sejuta kenangan bersama ibu yang saat ini sakit sementara ayahnya, adik, saudara dan keponakannya memutuskan untuk berjuang, meski harus menjadi “manusia perahu”.

“Aku tidak tahan hidup di sini lagi,” katanya sebelum meninggalkan keluarganya pada September lalu. Dia menyadari-risiko termasuk ditahan, dijual ke perdagangan seks, dipukuli atau dibunuh.

Pria yang berumur 59 tahun tersebut merupakan satu di antara banyak warga Rohingya yang terombang-ambing di Teluk Benggala.

“Saya tidak tahu bagaimana kami akan bertahan,” katanya.(P004/R03)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Sumber: Irraweddy

Comments: 0