Bogor, MINA – Ancaman krisis ketahanan pangan semakin diperparah dengan kondisi pandemi COVID-19 yang tidak diketahui dengan pasti selesainya. Hal ini mendorong Himpunan Alumni Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (HA PSL) IPB University menyelenggarakan diskusi dengan tema khusus “Ketahanan Pangan dan Pandemi COVID-19” melalui Webex Meetings belum lama ini.
Dalam diskusi online ini, HA PSL IPB University menghadirkan Prof Dr Dwi Andreas Santosa, dosen IPB University dari Fakultas Pertanian yang juga Co-Founder Indonesian Center for Biodiversity and Biotechnology dan Ir Fredian Tonny, MS, Dosen IPB University Fakultas Ekologi Manusia yang juga Wakil Kepala Tani Center IPB University sebagai pembicara, serta Prof Dr Widiatmaka, Ketua Program Studi S3 PSL dan Prof Dr Hadi Susilo Arifin, Ketua Program Studi S2 PSL.
Prof Dwi Andreas Santosa mengungkapkan, pangan begitu penting terutama untuk negara-negara berkembang karena krisis pangan memiliki dampak yang dapat berakibat terhadap pergantian rezim, demikian keterangan pers yang diterima MINA, Senin (11/5).
“Selama beberapa tahun hingga saat ini, impor pangan kita terus melonjak. Sehingga menyebabkan ketergantungan berbagai komoditas seperti gula, gandum, bawang putih, kedelai. Berdasarkan perhitungan skala global dari data FAO, kesimpulan saya, dunia tidak akan mengalami krisis pangan namun akan berpengaruh kepada Indonesia. Sehingga yang perlu ditingkatkan adalah strategi untuk mempertahankan produksi pangan dan transparansi data yang benar,” ujarnya.
Baca Juga: Program 100 Hari Kerja, Menteri Abdul Mu’ti Prioritaskan Kenaikan Gaji, Kesejahteraan Guru
Sementara itu, Fredian Tony menyampaikan bahwa krisis pangan yang berulang ditambah dengan resesi ekonomi dapat menyebabkan dunia rentan dalam ketidakpastian. Hal ini akan berujung pada arsitektur politik global dan nasional akan didominasi oleh politik pangan.
“Kita perlu melakukan konstruksi partisipatif kedaulatan pangan pasca pendemi COVID-19, salah satu upayanya adalah dengan melakukan pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan yang berbasis pengembangan pangan,” ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Prof Widiatmaka mengatakan bahwa pemerintah mengumumkan persediaan pangan kita cukup hingga Mei. Yang dikhawatirkan adalah setelah Mei.
Masalahnya, itu kompleks mulai dari produksi, distribusi hingga konsumsi. Indonesia merupakan negara agraris, namun bahan pangan tidak semuanya dihasilkan dari dalam negeri. Paling tidak ada ada enam jenis bahan pangan yang perlu diiwaspadai yakni beras, jagung, kedelai, bawang putih, daging (berkaki empat) dan ayam.
Baca Juga: Delegasi Indonesia Raih Peringkat III MTQ Internasional di Malaysia
Sementara itu, Prof Hadi Susilo Arifin juga menanggapi bahwa berbicara pangan, tidak hanya ketahanan pangan namun juga berbicara kemandirian, kedaulatan dan juga keamanan pangan. Hal itu semua tergantung pada infrastruktur dan logistik.
“Dalam kondisi wabah seperti ini, pangan adalah hal yang perlu kita perhatikan yang tidak terlepas dari government. Momentum ini kita jadikan sebagai awal untuk melakukan kemandirian dan kedaulatan melalui policy brief yang kuat. Ada komoditas pangan lokal yang perlu kita perhatikan salah satunya seperti sagu, yang produksinya dapat sustain dan potensi keberadaannya di Indonesia besar. Betapa pentingnya penyuluhan agar masyarakat tahu apa yang harus dilakukan,” pungkasnya. (R/R1/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Matahari Tepat di Katulistiwa 22 September