Jakarta, 5 Rajab 1436/23 April 2015 (MINA) – Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta mengharapkan, Konferensi Asia-Afrika (KAA) ke-60 yang saat ini berlangsung menghasikan sebuah narasi baru tentang arah pembangunan dan peradaban global, terutama komitmen kongkret negara-negara Asia-Afrika untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina.
Sukamta menyatakan, KAA yang ke-60 harus mampu mendorong dengan sungguh-sungguh demi terwujudnya kemerdekaan bangsa Palestina, mengingat negara-negara peserta KAA 1955 hingga KAA ke-60 sudah banyak yang merdeka.
“Narasi baru yang kita butuhkan sekarang adalah komitmen konkret untuk mewujudkan kemerdekaan Palestina di Timur Tengah, tidak hanya sekadar perdamaian,” tegas Sukamta kepada Mi’raj Islamic News Agency (MINA) di Senayan Jakarta, Kamis (24/4).
Menurutnya, poros global adanya di Timur Tengah yang letaknya sangat strategis karena ada di tengah-tengah benua Eropa, Afrika dan Asia. Belum lagi adanya cadangan minyak di sana yang jadi rebutan. Gejolak di Timur Tengah selama ini cukup menentukan konstelasi global.
Baca Juga: BKSAP DPR Gelar Kegiatan Solidaritas Parlemen untuk Palestina
Konferensi Asia-Afrika 1955 memiliki narasi perlawanan terhadap kolonialisme dan pembentukan negara-negara Asia-Afrika. Sedangkan kondisi zaman sekarang sudah cukup berbeda. Maka KAA yang ke-60 juga musti melahirkan narasi baru.
Politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menambahkan, zaman KAA sekarang dengan KAA 1955 sudah berbeda meskipun masih ada juga kesamaannya. Kesamaannya, KAA yang sekarang kita dorong untuk tetap memperjuangkan anti-kolonialisme di seluruh penjuru dunia.
Target KAA 1955 untuk memerdekakan negara-negara Asia-Afrika pada saat itu bisa dikatakan sudah tercapai. Tapi Palestina sejak KAA 1955 hingga KAA yang sekarang belum juga merdeka.
“Karenanya kita perlu narasi baru dalam KAA ke-60 ini. Narasi baru itu adalah keseimbangan global. Kita berjuang untuk meminimalisasi kesenjangan antara Barat dan Timur, antara Utara dan Selatan,” ujar Sukamta, anggota Komisi I DPR RI yang membidangi masalah-masalah luar negeri, pertahanan dan kominfo.
Baca Juga: Warga Israel Pindah ke Luar Negeri Tiga Kali Lipat
Perbedaannya adalah sekarang zamannya globalisasi. Dunia mengkerut, dunia menghampar, dunia terlipat, istilah-istilah ini menggambarkan kondisi global sekarang. Meminjam istilah Kenichi Ohmae, dunia sekarang adalah borderless world; dunia tanpa sekat.
Ekonomi Syariah Alternatif Pembangunan
Selain itu, lanjut Sukamta, narasi baru pada Negara Asia-Afrika juga adalah memberi alternatif baru kepada masyarakat dunia atas persoalan-persoalan pembangunan.
Kiblat pembangunan sekarang, tidak melulu Barat. Zaman sekarang sudah mulai tumbuh sistem ekonomi atau keuangan syariah yang bisa jadi alternatif. Di dunia politik juga sekarang sudah terjadi sintesis dari demokrasi dan sosialisme.
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain
“Ini semua adalah lompatan dalam peradaban manusia karena adanya teknologi. Kita ingin di zaman baru ini, melalui KAA ke-60, lahir narasi baru dari bangsa-bangsa Asia-Afrika sebagai alternatif untuk menjawab tantangan global,” harap Sukamta.
Sukamta menjelaskan, zaman KAA 1955 peradaban global berbentuk bipolar, yaitu blok Barat yang dikomandoi Amerika Serikat dan blok Timur yang dikomandoi Uni Soviet. Presiden Soekarno pada waktu itu turut mempelopori terbentuknya negara-negara non blok.
Perang Dingin melanda dunia saat itu. Namun, setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1991, Perang Dingin berakhir yang otomatis membawa peradaban global kepada unipolar dengan Amerika Serikat sebagai “penguasa tunggal”.
Namun kini, terang Sukamta, polarisasi peradaban global semakin beragam, menjadi multipolar. Barat tidak lagi menjadi satu-satunya “penguasa”. Jika meminjam istilah Kishore Mahbubani, sekarang ada hemisfer baru dunia, yaitu Asia. Dominasi yang ada di Barat sekarang sudah mulai bergeser ke Asia.
Baca Juga: Timnas Indonesia Matangkan Persiapan Hadapi Bahrain
Dia juga menyatakan setuju dengan pernyataan Presiden Jokowi dalam pidato pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Peringatan KAA ke-60, Rabu (22/4) kemarin, yang menyatakan menggantungkan permasalahan dunia kepada World Bank, IMF dan PBB adalah pandangan usang.
“Betul sekali itu. Sekarang Tiongkok juga sudah bisa mendirikan bank AIIB yang mampu bersaing dengan bank-bank yang berorientasi ke Anglo-Saxon,” ujar anggota legislatif dari Dapil Yogyakarta itu.(L/R05/R11)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)