Dulu Damaskus, Kini Turki yang Sambut Pengungsi

Oleh Rudi Hendrik, wartawan Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Sejak dua pekan lalu, pasukan Pemerintah Suriah yang didukung oleh sekutunya, militan Hizbullah Lebanon dan serangan udara Rusia, melakukan serangan besar-besaran terhadap kota Aleppo yang merupakan kota terbesar di Suriah dan juga ibukota provinsi Aleppo.

Pasukan udara Rusia yang menjadi utama dalam mendukung pasukan Presiden Bashar Al-Assad telah melancarkan serangan ratusan kali ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kelompok oposisi Suriah.

Serangan terbaru itu berhasi merusak pengepungan tiga tahun oposisi terhadap kota Syiah di barat laut Suriah, kota Nubul dan Zahra yang sebelumnya dikuasai oleh pasukan Kurdi.

Kemajuan itu memotong rute pasokan utama dari ke provinsi Aleppo.

Ratusan ribu warga sipil Suriah di Kota Aleppo terancam terputus dari pasokan sembako di tengah kemungkinan adanya pengepungan oleh pasukan pemerintah Suriah.

PBB mengatakan pada Selasa, 9 Februari 2016, kemajuan pemerintah menimbulkan kekhawatiran diblokirnya akses terakhir bagi warga sipil di Aleppo.

“Ini akan membuat 300.000 orang yang masih berada di kota, terputus dari bantuan kemanusiaan, kecuali akses bisa dinegosiasikan,” kata Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).

Baca Juga:  Ini Kekuatan Media Online di Era Digital

Kebaikan Turki untuk Rakyat Suriah

Meningkatnya pertempuran di Aleppo, membuat puluhan ribu warga sipil yang ada di provinsi Aleppo menyelamatkan diri ke perbatasan Turki.

Pemerintah Turki telah mengatakan bahwa negara itu telah mencapai batas akhir kapasitas untuk menampung , tetapi negara itu akan tetap membantu puluhan ribu pengungsi Suriah yang tertahan di luar perbatasan di sisi Suriah.

Wakil Perdana Menteri Turki, Numan Kurtulmus mengatakan, Pemerintah Turki sekarang menjadi tuan rumah bagi 3 juta pengungsi, termasuk 2,5 juta warga Suriah.

“Turki telah mencapai akhir dari kapasitasnya untuk menerima (pengungsi),” kata Kurtulmus.

Juru bicara Badan Pengungsi PBB (UNHCR) William Spindler memuji Pemerintah Turki yang menampung jutaan pengungsi Suriah.

Pemerintah Ankara juga memberikan bantuan kepada puluhan ribu warga Suriah yang tertahan di perbatasan di sisi Suriah.

UNHCR telah meminta Turki membuka perbatasannya untuk pengungsi.

Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu (6/2), negaranya akan tetap membuka perbatasan untuk para pengungsi Suriah, dan menambahkan bahwa 5.000 dari mereka telah diizinkan masuk ke Turki.

“Sebanyak 50.000 lainnya, menjadi 55.000, sedang dalam perjalanan dan kita tidak bisa meninggalkan mereka di sana,” katanya dari ibukota Belanda, Amsterdam, setelah mengadakan pembicaraan dengan rekan-rekannya dari Uni Eropa.

Baca Juga:  Politik dan Pendidikan Islam

Gubernur provinsi Kilis, Suleyman Tapiz mengatakan di perbatasan dengan Suriah, ribuan pengungsi Suriah tiba dekat kota Kilis dalam 48 jam terakhir dan ditampung di kamp-kamp perbatasan di sisi Suriah.

Tapiz mengatakan kepada wartawan di perbatasan Oncupinar dekat Kilis, sekitar 70.000 orang Suriah diperkirakan akan datang jika serangan udara Rusia dan kemajuan militer pemerintah Suriah terus terjadi di Aleppo.

Dia mengatakan, para pengungsi telah diberikan makanan, selimut dan tenda.

Bukan hanya menyediakan kota-kota tenda bagi jutaan pengungsi Suriah di dalam wilayah Turki, pemerintah juga menyediakan berbagai fasilitas untuk keperluan pengungsi. Bahkan pengungsi bisa bekerja, sekolah, dan disediakan akses kesehatan dengan mudah. Hingga dibangunkan universitas untuk mereka.

PBB pun pernah menyatakan bahwa kamp-kamp pengungsi di Turki adalah yang terbaik.

Dulu Kota Pemurah dan Dermawan

Kini Pemerintah Ankara menjadi pemerintah yang sangat ramah dan dermawan terhadap rakyat Suriah, seolah sebagai wujud balas budi kepada rakyat Suriah ketika Pemerintah Damaskus menjadi kota yang sangat ramah dan terbuka menampung dan membantu pengungsi dari berbagai bangsa, termasuk Turki.

Baca Juga:  Ini Kekuatan Media Online di Era Digital

Suatu hari, penjelajah kondang asal Maroko, Ibnu Battuta (1304-1368) menginjakkan kakinya di Damaskus. Ia begitu kagum melihat kehidupan sosial masyarakatnya yang pemurah dan dermawan. Ketika itu, sederet lembaga amal berdiri untuk meringankan beban bagi orang-orang yang tak berpunya dan memerlukan bantuan.

“Semangat sosial masyarakat Damaskus begitu tinggi,” kisah Ibnu Battuta dalam catatan perjalanannya yang berjudul Al-Rihla.

Saking banyaknya lembaga bantuan yang ada di kota itu, sampai-sampai Ibnu Battuta kesulitan menghitung jumlahnya. Saat itu, orang yang tidak memiliki biaya untuk pergi haji, dibiayai oleh lembaga amal.

Masyarakat Damaskus pun berlomba-lomba mewakafkan tanahnya untuk sekolah, rumah sakit dan masjid.

Bianquis mencatat, Damaskus begitu terbuka bagi para pengungsi asal Andalusia yang terusir dari negeri Spanyol, ketika Kristen menguasai tanah itu pada abad ke-12.

Seabad kemudian, Damaskus menjadi tempat berlabuh warga Irak dan Iran ketika bangsa Mongol menghancurkan tanah kelahiran mereka.

Pada abad ke-16, Damaskus kembali menjadi tempat berlindung warga Spanyol, baik Muslim maupun Yahudi.

Tiga abad kemudian, Damaskus kembali menjadi tempat berlabuh warga Kaukasus, Turki dan Kurdi dari ancaman tentara Rusia.

Tapi kini, Damaskus telah menjadi pusat komando untuk membantai rakyatnya sendiri yang dipimpin oleh seorang yang bernama Bashar Al-Assad. (P001/P4)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.