Oleh : Ali Farkhan Tsani, Jurnalis Minanews
Krisis terbesar umat manusia abad ini mengacu pada tiga masalah utama yang saling terkait, yaitu : perubahan iklim, polusi udara, dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Masalah Pertama, adalah perubahan iklim (climate change) yang menjadi masalah paling mendesak bagi umat manusia saat ini. Perubahan iklim ini mengacu pada perubahan suhu dan pola cuaca dalam jangka waktu panjang yang akan mengubah ekosistem kehidupan di muka bumi ini.
Seperti kita ketahui, aktivitas manusia di berbagai pekerjaan merupakan pendorong utama perubahan iklim. Hampir semua kegiatan manusia dalam kurun waktu tertentu melepaskan jejak karbon atau gas emisi. Gas emisi inilah yang memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia di muka bumi, seperti berkurangnya sumber air bersih, timbulnya kekeringan, cuaca ekstrim dan berbagai kerusakan alam lainnya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta
Gas emisi ini kemudian menimbulkan kondisi yang disebut sebagai efek rumah kaca, yang merupakan penyebab pemanasan global. Rumah kaca adalah gas yang menahan sinar matahari di atmosfer, sehingga terperangkap di permukaan bumi, dan membuat bumi semakin panas.
Dinamakan gas rumah kaca karena gas-gas yang ada bekerja persis seperti rumah kaca (green house) yang biasa digunakan untuk menumbuhkan tanaman. Sinar matahari bisa menembus masuk ke rumah kaca, dan mekanisme khusus membuat sinar matahari tersebut tidak dapat keluar dari rumah kaca. Kondisi ini membuat suhu di dalam menjadi lebih hangat dari tempat di luar rumah kaca.
Sedangkan gas rumah kaca di muka bumi membuat panas matahari terperangkap di atmosfer. Sehingga suhu di permukaan bumi lama-kelamaan bukan hanya hangat, tapi naik menjadi panas, dan semakin panas. Pada kondisi normal, sinar matahari yang sampai ke permukaan bumi akan digunakan seperlunya, lalu kembali dipantulkan ke atmosfer. Sehingga bumi tetap normal, tidak terlalu panas. Dengan adanya gas rumah kaca yang luas, kelebihan sinar matahari jadi terperangkap di atmosfer.
Mekanisme inilah yang disebut dengan efek rumah kaca, dan merupakan penyebab terjadinya pemanasan global (global warming).
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari
Efek rumah kaca yang berkepanjangan dalam waktu tertentu kemudian menyebabkan musim hujan dan musim kemarau yang tidak tentu waktunya. Musim yang diprediksi kemarau, ternyata sering terjadi hujan besar. Musim penghujan pun diselingi panas yang berkepanjangan.
Dampak lainnya, terjadinya banjir yang sering terjadi, baik di kota-kota besar, maupun hingga ke desa-desa, yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Catatan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, jenis gas rumah kaca antara lain : Karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), Hidrofluorokarbon (HFC), Perflurokarbon (PFCs), Sulfur heksafluorida (SF6) dan Nitrogen trifluorida (NF3).
Jenis gas rumah kaca, Karbon dioksida (CO2) adalah komponen penting dari udara yang ada di bumi ini, yang berfungsi membantu menjebak panas di atmosfer bumi. Tanpa karbon dioksida, bumi bisa menjadi sangat dingin. Namun, peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer juga bisa menyebabkan suhu rata-rata global meningkat yang akan mengganggu aspek lain dari iklim bumi.
Baca Juga: Sejarah Al-Aqsa, Pusat Perjuangan dari Zaman ke Zaman
Paparan CO2 dalam jumlah yang tinggi bisa berbahaya untuk kesehatan. Hal itu bisa menyebabkan hiperkapnia atau keracunan Karbon dioksida.
Jenis gas rumah kaca lainnya, Metana (CH4) adalah gas tanpa bau, tanpa warna dan bersifat mudah terbakar. Pada kadar yang tinggi, gas ini dapat mengurangi kadar oksigen di atmosfer bumi. Metana dapat mengurangi kadar oksigen hingga 19.5%, bahkan dengan kadar yang lebih tinggi lagi, gas Metana dapat menyebabkan kebakaran dan ledakan jika tercampur di udara.
Dari sisi kesehatan, gas Metana juga berbahaya jika terhirup manusia. Efek samping yang dapat dirasakan dapat berupa mual, sakit kepala, detak jantung lebih cepat. Masalah kognitif juga dapat terjadi seperti kehilangan memori, penglihatan kabur, gelisah dan lesu.
Jenis gas rumah kaca berikutnya, Hidrofluorokarbon (HFC), yaitu senyawa kimia yang terdiri dari karbon, hidrogen, dan fluor. Gas ini buatan manusia dan memiliki tiga kegunaan utama, yaitu untuk pendinginan, AC dan aerosol.
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Materi partikulat atau nitrogen oksida, secara umum tidak membahayakan orang yang terpapar dan menghirupnya. Namun yang terdampak adalah lapisan ozon, di mana emisinya berkontribusi terhadap pemanasan global.
Meskipun secara volume tingkat emisinya dianggap jauh lebih rendah dibandingkan gas-gas lain, gas ini diperkirakan memiliki dampak seratus kali lebih buruk daripada Karbon dioksida (CO2).
Jenis gas Perflurokarbon (PFC) merupakan senyawa yang terdiri dari fluor dan karbon. Senyawa ini banyak digunakan dalam industri elektronik, kosmetik, farmasi, dan untuk pendinginan ketika dikombinasikan dengan gas lain.
Paparan PFC dalam tubuh manusia khususnya di kalangan perempuan sangat erat kaitannya dengan menopause atau percepatan penuaan yang lebih dini.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Jenis gas Sulfur heksafluorida (SF6) memang tidak beracun, banyak digunakan dalam diagnosa medis.
Namun karena bobotnya yang lebih tinggi, maka Sulfur heksafluorida mengendap ke dasar dan menggantikan oksigen. Hal ini dapat menyebabkan gangguan pernapasan pada personel yang bekerja di penggalian, terutama jika bernapas dalam jumlah banyak.
Adapun jenis Nitrogen trifluorida adalah gas termodinamika stabil, tidak berwarna, tidak berbahaya dan memiliki stabilitas rendah.
Menghirup uap dari nitrogen, apalagi dalam jumlah besar, dapat memicu terjadinya sesak napas atau memperparah gejala masalah pernapasan lainnya.
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Semua jenis gas rumah kaca tersebut kebanyakan dihasilkan oleh kegiatan manusia, mulai dari penggunaan listrik, kendaraan berbahan dasar minyak (BBM), aktivitas pabrik/industri, pembabatan/pembakaran hutan, asap rokok, dan aktivitas merusak lingkungan lainnya.
Penyebab Kematian Dini
Berikutnya, masalah terbesar kedua krisis manusia saat ini adalah soal polusi udara (air pollution).
Polusi udara adalah kontaminasi lingkungan dalam atau luar ruangan oleh zat kimia, fisik, atau biologis apa pun yang mengubah karakteristik alami atmosfer.
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
Alat pembakaran rumah tangga, kendaraan bermotor, fasilitas industri dan kebakaran hutan merupakan sumber pencemaran udara yang umum.
Polutan yang menjadi perhatian utama kesehatan masyarakat meliputi materi partikulat, karbon monoksida, ozon, nitrogen dioksida, dan sulfur dioksida.
Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO (World Health Organization), polusi udara luar dan dalam ruangan menyebabkan penyakit pernapasan dan penyakit lainnya serta merupakan sumber penting kesakitan dan kematian.
Data WHO menunjukkan bahwa hampir seluruh populasi global (99%) menghirup udara yang melebihi batas pedoman WHO dan mengandung tingkat polutan yang tinggi. Kondisio ini terutama dialami negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah dengan paparan tertinggi.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
polusi udara, mulai dari kabut asap yang menyelimuti perkotaan hingga asap di dalam rumah, merupakan ancaman besar terhadap kesehatan dan iklim. Polusi udara ambien (luar ruangan) baik di perkotaan maupun pedesaan menyebabkan partikel halus yang mengakibatkan stroke, penyakit jantung, kanker paru-paru, penyakit pernapasan akut dan kronis.
Selain itu, data WHO menyebutkan, sekitar 2,4 miliar orang terpapar polusi udara rumah tangga pada tingkat berbahaya. Polusi ini terjadi saat menggunakan api terbuka atau kompor sederhana yang menimbulkan polusi, untuk memasak berbahan bakar minyak tanah, biomassa (kayu, kotoran hewan, dan limbah tanaman) dan batu bara.
Efek gabungan dari polusi udara ambien dan polusi udara rumah tangga menyebabkan sekitar 7 juta kematian dini setiap tahunnya, demikian menurut WHO.
Sumber polusi udara bermacam-macam dan spesifik pada konteksnya.
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Sumber utama polusi luar ruangan mencakup energi perumahan untuk memasak dan pemanas, kendaraan, pembangkit listrik, pembakaran limbah, pembakaran hutan, industri serta asap rokok.
Sumber Detik.com edisi 29 Agustus 2023 menyebutkan, penyebab utama polusi, dengan mengambil sampel Jakarta akhir-akhir ini, di antaranya adalah karena emisi kendaraan, yang menyumbang hingga 44%.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum) Kementerian LHK, Rasio Ridho Sani menambahkan, ada dua sumber utama polusi udara di Jakarta dalam beberapa pekan terakhir, yakni berasal dari asap kendaraan bermotor dan pembangkit listrik. Pembangkit listrik terdapat pada kegiatan industri.
Menurut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, mengatakan tingginya polusi udara di Jakarta karena masih digunakannya batu bara dan fosil sebagai bahan bakar.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Batu bara sendiri menjadi bahan utama dalam pengoperasian pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU, sedangkan fosil digunakan untuk bahan bakar kendaraan bermotor.
“Polusi di Jakarta ini terlalu tinggi karena kita memakai batu bara dan memakai fosil,” kata Bahlil saat menyampaikan materi Kuliah Umum di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, seperti dikutip oleh Bisnis.com dari Youtube Kementerian Investasi, Selasa (29/8/2023).
Bahan bakar fosil adalah sumber daya alam yang mengandung hidrokarbon, seperti batu bara, minyak bumi dan gas alam, yang terbentuk secara alami di kerak bumi.
Bahan bakar fosil dapat terbentuk akibat proses pembusukan organisme yang mati ratusan juta tahun lalu. Bahan bakar fosil seperti minyak bumi dan gas alam berasal dari organisme laut yaitu jasad renik (mikroba, seperti ganggang, alga, diatom, zooplankton, fitoplankton, dan lain-lain) yang mati dan mengendap di lapisan sedimen dasar laut. Endapan ini lantas terbawa ke dasar kerak Bumi melalui gerakan lempeng yang disebut penunjaman (subduksi).
Setelah melalui tekanan dan suhu ekstrem selama berjuta-juta tahun, fosil mereka akhirnya berubah menjadi substansi berminyak yang bisa dimanfaatkan. Tidak semua makhluk hidup atau tumbuhan akan menjadi bahan bakar fosil.
Sedangkan bahan bakar fosil seperti Batubara, berasal dari vegetasi tanaman rawa, dari hutan Periode Devonian dan Karboniferus yang menjadi gambut, kemudian tertimbun jutaan tahun hingga menjadi batubara.
Bahan bakar fosil termasuk jenis sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (dalam waktu singkat). sebab, bahan bakar fosil terbentuk dari proses endapan dan penguraian makhluk hidup yang membutuhkan waktu jutaan tahun lamanya.
Penelitian dari Universitas Harvard, bekerja sama dengan Universitas Birmingham, Universitas Leicester, dan University College London, menemukan bahwa lebih dari 8 juta orang meninggal pada tahun 2018 akibat polusi bahan bakar fosil. Ini jauh lebih tinggi dari perkiraan penelitian sebelumnya. ini artinya, polusi udara dari bahan bakar fosil seperti batu bara dan solar bertanggung jawab atas 1 dari 5 kematian di seluruh dunia.
Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Yang Melimpah
Berkenaan dengan upaya menaggulangi pemanasan global, dunia merancang apa yang vdisebut dengan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). EBT menurut sumber International Energy Agency (IEA) adalah energi yang berasal dari proses alam yang diisi ulang secara terus-menerus dan secara berkelanjutan dapat terus diproduksi tanpa harus menunggu waktu jutaan tahun layaknya energi berbasis fosil.
Menurut Data Nestle.co.id disebutkan, energi baru ini merupakan bentuk energi yang dihasilkan oleh teknologi baru, baik itu berasal dari energi terbarukan maupun energi tidak terbarukan. Artinya, energi baru dihasilkan melalui teknologi baru dan belum banyak dikonsumsi secara publik. Pengelolaannya rata-rata juga masih dalam tahap pengembangan. Masih perlu tahap pengujian kelayakan untuk digunakan secara massal.
Adapun Jenis-Jenis Energi Terbarukan, yaitu :
Energi Surya (Matahari)
Indonesia sebagai negara tropis sangat strategis untuk mengembangkan potensi energi matahari. Pemanfaatan dapat dilakukan secara langsung dengan membiarkan objek terkena cahaya matahari.
Cara lain yakni pemanfaatan dengan bantuan panel surya. Panel kaca-kaca besar ditempatkan untuk mengkonsentrasikan cahaya matahari ke satu titik atau garis.
Panas tersebut bakal menghasilkan uap panas yang kemudian menjadi tekanan. Tekanan tersebut digunakan untuk menjalankan turbin yang menghasilkan listrik.
Pembangkit listrik tenaga surya sudah dibangun di sejumlah daerah di Indonesia seperti Kabupaten Karangasem dan Bangli, Bali serta di pulau-pulau Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.
Energi Angin
Sama halnya matahari, angin adalah sumber energi terbarukan yang melimpah di Indonesia. Perlu bantuan kincir untuk menjadikan angin sebagai sumber energi alternatif.
Pembangkit listrik tenaga angin sangat ramah lingkungan dan bebas polusi jika dibandingkan dengan nuklir maupun bahan bakar fosil.
Namun pengelolaan energi angin punya tantangan. Untuk menjaga kestabilan pasokan, turbin perlu ditempatkan di daerah dengan kecepatan angin konstan. Tak semua daerah punya karakter tersebut.
Energi Panas Bumi
Potensi panas bumi yang dimiliki bumi diperkirakan sekitar 5.500 celcius. Sumber energi tersebut memiliki tenaga sangat kuat dan berjumlah melimpah. Lewat pembangkit listrik energi panas bumi atau geothermal, pemanfaatan panas dari dalam bumi dapat diolah menjadi energi.
Ada sejumlah kelebihan geothermal seperti tidak butuh lahan luas, ramah lingkungan, nol risiko kenaikan bahan bakar fosil dan tak terpengaruh cuaca.
Biomassa
Biomassa adalah energi terbarukan yang berasal dari organisme seperti hewan, tumbuhan, dan manusia. Contohnya seperti rumput, limbah pertanian, pepohonan, kotoran ternak, tinja hingga limbah hutan.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menargetkan bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Pada 2020, bauran EBT telah mencapai 11,5%, artinya masih perlu terus ditingkatkan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Listrik, bahwa untuk meningkatkan investasi dan mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan dalam bauran energi nasional sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional serta penurunan emisi gas rumah kaca, perlu pengaturan percepatan pengembangan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif telah mengingatkan peran penting pengembangan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia dalam penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi, sekaligus untuk mewujudkan Indonesia Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat melimpah yaitu sekitar 3.000 giga watt (GW), di mana potensi panas bumi mencapai 24 GW.
“Pada COP26 tahun 2021, Indonesia telah berkomitmen untuk melakukan penurunan emisi gas rumah kaca yang dipertegas bahwa Indonesia akan mencapai Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk itu diperlukan upaya memitigasi perubahan iklim dengan menurunkan emisi karbon (dekarbonisasi) namun dengan tetap menjaga ketahanan energi,” kata Menteri Arifin pada acara the 8th Indonesia International Geothermal Convention and Exhibition, hari Rabu, 14 September 2022.
Aksi mitigasi yang berperan paling besar dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi adalah pengembangan EBT sebagai langkah transisi menuju energi yang lebih bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan, lanjut Arifin.
Arifin mengungkapkan, Indonesia memiliki potensi EBT yang sangat melimpah yaitu sekitar 3.000 GW. Potensi panas bumi sendiri sebesar 24 GW. Selama 5 tahun terakhir, Pembangkit EBT terus mengalami peningkatan, saat ini kapasitas pembangkit EBT sebesar 12 GW, dan panas bumi menyumbang sekitar 2,2 GW.
“Potensi EBT akan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mempercepat transisi energi. Pada tahun 2060 kapasitas pembangkit EBT ditargetkan sebesar 700 GW yang berasal dari solar, hidro, bayu, bioenergi, laut, panasbumi, termasuk hidrogen dan nuklir. Pembangkit panas bumi diperkirakan akan mencapai 22 GW yang didorong dengan pengembangan skema bisnis baru, inovasi teknologi yang kompetitif dan terjangkau, antara lain deep drilling geothermal development, enhanced geothermal system, dan offshore geothermal development,” jelas Arifin.
Arifin juga menginformasikan, untuk mempercepat dan memperbesar pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energ, Pemerintah memberlakukan kembali tarif uap panas bumi dan tenaga listrik dan mengusulkan kemudahan proses perizinan penggunaan lahan di hutan konservasi, dan pembebasan pajak bumi dan bangunan.
Meningkatkan dan mempercepat pengembangan energi bersih menuju transisi energi akan membutuhkan beragam teknologi dan dukungan keuangan dari berbagai entitas yang meliputi pemerintah, organisasi internasional, lembaga keuangan, bisnis, serta filantropi.
“Terkait dengan Akses penggunaan dan pemanfaatan teknologi harus dibuat lebih inklusif, oleh karena itu akses terhadap teknologi dan pembiayaan yang terjangkau harus dijajaki secara masif. Saat ini di Indonesia terdapat 2 skema pembiayaan pengembangan panas bumi, yaitu Geothermal Energy Upstream Development Project dan Geothermal Resource Risk Mitigation yang merupakan kerja sama dengan Kementerian Keuangan, PT SMI, dan Bank Dunia,” pungkas Arifin.
Perlunya Literasi Yang Masif
Berkaitan dengan pengetahuan masyarakat mengenai energi terbarukan, ternyata fakta di lapangan masih rendah. Hasil survei Katadata Insight Center menunjukkan, mayoritas responden belum memahami arti energi terbarukan. Mayoritas masyarakat juga salah menduga asal sumber daya listrik yang mereka gunakan sehari-hari berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Berdasarkan Survei Persepsi Masyarakat Terhadap Energi Terbarukan dilakukan Katadata Insight Center secara online terhadap 4821 responden, hanya 38,6% yang mengaku pernah mendengar ihwal energi terbarukan dan memahami artinya. Sementara itu, 34,1% lainnya mengaku pernah mendengar tetapi kurang/tidak memahami artinya, sedangkan sisanya, tidak tahu sama sekali.
Survei ini juga menemukan mayoritas responden mengaku mengetahui sumber energi listrik yang digunakan. Namun, pengetahuan yang mereka miliki tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Survei yang dilakukan pada 26 Februari – 6 Maret 2022 ini menunjukkan, paling banyak atau 50,3% responden menyangka listrik yang mereka gunakan bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Air.
Padahal, berdasarkan data Direktorat Jendral Ketenagalistrikan, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) masih menjadi kontributor pembangkit terbesar dengan 36,98 GW atau 50% dari total pembangkitan listrik. Sementara Pembangkit listrik tenaga air, minihidro, dan mikrohidro (PLTA/M/MH) hanya menghasilkan 6,41 GW (9%).
Survei ini menggali pengetahuan masyarakat tentang energi terbarukan serta transisi energi untuk menyambut Hari Bumi yang jatuh pada tanggal 22 April 2022.
Survei online ini juga meminta pendapat masyarakat tentang upaya pemerintah dalam melakukan transisi energi. Berdasarkan survei, pemerintah dinilai belum menempatkan isu ini sebagai prioritas.
Adapun, hal yang dianggap menjadi tantangan pengembangan energi terbarukan bagi Indonesia adalah belum adanya teknologi pengembangan dan pemanfaatannya di Indonesia, serta masih minimnya pemahaman akan pentingnya energi terbarukan.
Meski pengetahuan tentang energi terbarukan belum merata, keinginan masyarakat untuk beralih ke energi terbarukan yang terekam oleh survei cukup baik. Peneliti Katadata Insight Center, Wayan Aristana mengatakan, umumnya publik memahami dan yakin bahwa sumber energi terbarukan baik bagi lingkungan dan dapat memenuhi kebutuhan. Mereka bahkan bersedia mengganti peralatan agar sesuai dengan penggunaan energi terbarukan.
Masyarakat pun akan terus mendukung bagaimana Pemerintah yang terus berupaya melaksanakan percepatan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) agar dapat mencapai target 23% energi baru terbarukan (EBT) pada bauran energi nasional tahun 2025 sebagaimana amanat Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Tentu dampak globalnya adalah sesuai dengan seruan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sejak tahun 1988 yang telah menetapkan perubahan iklim sebagai masalah bersama bagi seluruh umat manusia. Dan Indonesia sebagai pusat paru-paru dunia, sangat memungkinkan untuk memberikan suymbangan terbaik bagi iklim yang lebih kondusif lagi, terutama melalui Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang banyak melimpah ruah di tataran lokal jamrut katulistiwa.
Di sinilah perlunya literasi yang masif dari pemerintah dan pihak-pihak terkait yang terintegrasi, dan dikoordinir oleh pemerintah selaku pemangku kebijakan. Sehingga masyarakat luas dapat memahami kebijakan tersebut, dan mau andil berpartisipasi dalam pelaksanaannya, dengan kesadaran tinggi. Sebab yang akan merasakan dampak kebaikannya adalah masyarakat itu sendiri.
Peran lembaga pendidikan, lembaga masyarakat, organisasi masyarakat, Pondok Pesantren, Dewan Kemakmuran Masjid, dan lainnya sangat diperlukan agar literasi semakin meluas dan dapat diterima masyarakat dengan baik. (A/RS2/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)