Oleh: Agus Riyanto*
Pemanasan global akibat emisi karbon sudah menjadi isu di berbagai belahan dunia. Benua Biru (Eropa) sangat gencar melakukan kampanye dan menetapkan berbagai regulasi untuk memberi kepastian pengurangan emisi karbon yang signifikan di setiap produk yang mereka buat dan aktivitas yang mereka lakukan.
Uni Eropa (UE) berambisi bebas emisi karbon pada 2050, dan UE juga telah merilis EU Deforestation Regulation/EUDR pada April 2023, sementara China tidak mau ketinggalan mencanangkan bebas emisi pada 2060.
UE juga sedang merancang aturan baru tentang Sistem Perdagangan Emisi yang akan digunakan untuk memberlakukan pajak karbon melalui Mekanisme Penyesuaian Batas Karbon atau Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM). Pajak karbon ini akan mempengaruhi produk andalan ekspor Indonesia ke Uni Eropa.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Dalam kaitan ini, mitigasi masyarakat dunia untuk bersama-sama meredam kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi perlu dilakukan segera dengan langkah-langkah konsisten, sungguh-sungguh, dan nyata.
Indonesia sebagai bagian masyarakat dunia berkomitmen menuju sistem energi yang bersih dan berkelanjutan. Target yang ingin dicapai pada 2030 adalah mengurangi emisi karbon hingga 29 persen.
Upaya yang dilakukan adalah dengan mempercepat transisi energi, mengurangi ketergantungan energi fosil serta beralih ke energi baru dan terbarukan (renewables) dan energi berbasis bahan baku nabati (bioenergy).
Transisi energi ke energi baru dan terbarukan (EBT) seperti tenaga air, tenaga surya, tenaga angin, biomassa, ganggang mikro, hidrogen, dan nuklir dapat menjadi pilihan yang potensinya cukup besar tersebar di seluruh pelosok nusantara.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Data dari Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) merilis sumber gas rumah kaca (GRK) terbesar berasal dari sektor energi (34 persen), disusul industri (24 persen), kegiatan di sektor pangan, kehutanan, dan alih fungsi lahan (22 persen), transportasi (15 persen), dan bangunan (6 persen).
Sinergi dengan perkembangan global, EBT perlu segera dikembangkan guna mendukung produk-produk industri nasional agar bisa diterima di pasar global, dan regulasi yang menghambat pengembangan EBT perlu segera direvisi.
Kontrak-kontrak EBT juga harus segera direalisasikan dan konsesi-konsesi yang mangkrak diambil alih negara untuk segera dieksplorasi dan dieksploitasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Data Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM menyebutkan, konsumsi listrik per kapita Indonesia pada September 2022 hanya mencapai 1.169 KWH. Sedangkan rata-rata konsumsi listrik di ASEAN sekitar 3.672 KWH per kapita. Indonesia tertinggal jauh dengan rata-rata konsumsi listrik ASEAN.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Khusus untuk mendorong pertumbuhan konsumsi listrik nasional perlu dilakukan industrialisasi hingga ke desa. Penerapan teknologi tepat guna di desa-desa dengan mengkonversi dari BBM ke listrik untuk pengolahan hasil pertanian, perikanan, dan peternakan dengan pendapingan sarjana teknik, sarjana terlatih, dan Perguruan Tinggi diharapkan mampu memberi nilai tambah ekonomi desa dan kesejahteraan masyarakatnya.
Bonus demografi dengan gen-z dapat menjadi potensi untuk menumbuhkan ekonomi yang dapat memberi rasa bangga membangun dari desa, sementara pengembangan industri manufaktur dan hilirisasi berbagai mineral dan bahan mentah akan mampu meningkatkan konsumsi listrik dan daya beli masyarakat.
Di sisi lain, investasi sektor industri perlu terus didorong dan dipromosikan dengan menyediakan energi yang murah, tenaga kerja dengan produktifitas tinggi, dan memberi kepastian hukum.
Ketahanan Energi
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Terkait ketahanan energi, menurut PP nomor 79 tahun 2014, ketahanan energi adalah suatu kondisi terjaminnya ketersediaan energi dan akses masyarakat terhadap energi pada harga yang terjangkau dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Untuk mencapai target mengurangi emisi karbon hingga 29 persen perlu dikembangkan sumber energi EBT skala besar, bersih, murah, dan dapat dibangun di manapun dengan cepat sehingga ada kepastian Commercial Operation Date (COD) ke PLN.
Dalam upaya mendukung keandalan operasi PLN diperlukan pembangkit yang mampu mensupply listrik secara berkelanjutan dan stabil kapanpun dan berapapun diperlukan yang tentunya tidak dapat mengandalkan sumber energi yang bergantung kepada cuaca sehingga tidak dapat menjamin ketersediaan energi.
Teknologi pembangkit listrik reaktor modular kecil memenuhi kriteria ketahanan energi seperti dimaksud PP 79/2014.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Potensi bahan baku seperti Thorium dan Uranium banyak terkandung di Pulau Bangka, Kalimantan, dan Sulawesi, bahkan menurut beberapa pakar cukup untuk ribuan tahun.
Hilirisasi Logam Tanah Jarang ini akan memberi kepastian pasokan bahan baku pembangkit listrik fisi tekanan rendah, sekaligus memberi nilai ekonomis dan pemasukan negara.
Energi listrik yang dihasilkan dari reaktor fisi tekanan rendah dapat dimanfaatkan untuk menggerakkan kapal-kapal kargo yang dapat beroperasi bertahun-tahun tanpa mengisi bahan bakar untuk mendukung transportasi Tol Laut yang murah, cepat, dan efisien.
Selain itu ketersediaan energi dimaksud akan dapat memberi kepastian supply serta layanan jangka panjang pemerataan distribusi barang kebutuhan ke seluruh penjuru Nusantara.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Maka, pasokan energi yang murah, bersih, dalam kapasitas besar dan stabil akan menjadi daya tarik tumbuhnya investasi dan mendorong industrialisasi, apalagi dibarengi tarif listrik yang kompetitif di kawasan Asia.
Misalnya, harga grosir dengan kapasitas tertentu dengan tarif lebih murah dibanding dengan harga ritel tentu akan memberi harapan baru dan daya tarik para investor untuk mengembangkan usahanya agar lebih besar dan membuka banyak lapangan kerja.
Hukum alam termodinamika kedua menyebutkan, adanya energi akan menimbulkan gerak. Tanpa energi tidak akan ada gerak. Relevan dengan hukum alam tersebut, dengan tersedianya
infrastruktur energi yang memadai dan murah maka dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kisaran 6 – 7 persen, sehingga tujuan menekan Gini Ratio yang menganga bisa tercapai.
Keberhasilan transisi energi yang praktis dan ekonomis tanpa membebani APBN akan memberi harapan baru memperoleh keadilan energi yang bersih dan berkelanjutan serta terbukanya lapangan kerja yang lebih besar.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Transisi energi perlu menjadi perhatian semua anak bangsa pada perhelatan demokrasi yang sedang menggeliat saat ini. Kepedulian para calon pemimpin bangsa terhadap upaya keras transisi energi perlu diuji untuk memberi kepastian keberlangsungan kehidupan di muka bumi.
Keadilan energi yang bersih dan dapat dirasakan seluruh rakyat akan menjadi kekuatan bangsa dalam menangkap masa depannya. Energi yang murah dan melimpah akan mampu menggerakkan roda ekonomi sehingga kesejahteraan rakyat akan dapat ditingkatkan.
Daya beli yang meningkat akan menggerakkan perekonomian antar masyarakat. Di sisi lain pasar tradisional dan modern akan bergairah kembali, sementara UKM dan koperasi akan terus tumbuh menopang ekonomi nasional.
Mari kita sambut era baru meletakkan pondasi kebangsaan dengan ketahanan energi dan ketahanan ekonomi yang kuat menuju Indonesia Emas “baldatun toyyibatun warobbun ghofur”, negeri yang subur makmur dengan rakyat yang pandai bersyukur.(AK/R1/RS2)
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Mi’raj News Agency (MINA)
*Agus Riyanto adalah mantan Direktur PT Sabang Geotermal Energi. Lebih dari 20 tahun bekerja di bidang Oil and Gas dan Geothermal.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa