Etika Buang Hajat

Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA

Islam adalah agama yang sempurna. Dalam Islam, semua aturan kehidupan seorang manusia (terlebih lagi seorang muslim) sudah tercatat. Masalahnya adalah apakah seseorang itu mau atau tidak mencari tahu, membacanya, lalu mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita bicara tentang (adab atau akhlak), maka Islam mengajarkan semua bagaimana menjadi manusia-manusia yang beretika (beradab).

Sejak mau tidur, bangun tidur, mau makan, setelah makan, dalam mencari jodoh, saat mendapatkan jodoh, saat sudah berumah tangga, bahkan saat mau berhubungan badan suami istri pun di ajarkan dalam Islam, termasuk saat hendak buang hajat ada tata caranya dalam Islam. Apa maksud semua itu? Tidak lain dan tidak bukan agar setiap umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ini selau bersih baik itu fisik terlebih lagi jiwanya.

Tulisan singkat ini akan membahas tentang bagaimana etika seorang muslim dalam buang hajat. Kedengarannya sepele, tapi tahukah kita, masih banyak di antara saudara muslim kita yang belum memahami bagaimana seharusnya Islam mengajarkan seorang muslim adab membuang hajat. Berikut adalah beberapa adab atau etika buang hajat yang diajarkan oleh Islam melalui teladan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Adab buang hajat antara lain pertama, segera membuang hajat. Apabila seseorang merasa akan buang air maka hendaknya bersegera melakukannya, karena hal tersebut berguna bagi agamanya dan bagi kesehatan jasmani.

Kedua, menjauh dari pandangan manusia di saat buang air (hajat). Berdasarkan hadits yang bersumber dari al-Mughirah bin Syu`bah ra disebutkan “Bahwasanya Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam bila pergi untuk buang air (hajat) maka beliau menjauh.” (Diriwayatkan oleh empat Imam dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

Ketiga, menghindari tiga tempat terlarang, yaitu aliran air, jalan-jalan manusia dan tempat berteduh mereka. Sebab ada hadits dari Mu`adz bin Jabal ra yang menyatakan demikian.

Keempat, tidak mengangkat pakaian sehingga sudah dekat ke tanah, yang demikian itu supaya aurat tidak kelihatan. Di dalam hadits yang bersumber dari Anas ra ia menuturkan: “Biasanya bila Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam hendak membuang hajatnya tidak mengangkat (meninggikan) kainnya sehingga sudah dekat ke tanah. (HR. Abu Daud dan At-Turmudzi, dinilai shahih oleh Albani).

Kelima, tidak membawa sesuatu yang mengandung penyebutan Allah kecuali karena terpaksa. Karena tempat buang air (WC dan yang serupa) merupakan tempat kotoran dan hal-hal yang najis, dan di situ setan berkumpul dan demi untuk memelihara nama Allah dari penghinaan dan tindakan meremehkannya.

Keenam, dilarang menghadap atau membelakangi kiblat, berdasarkan hadits yang bersumber dari Abi Ayyub Al-Anshari ra menyebutkan bahwasanya Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda, “Bila kamu telah tiba di tempat buang air, maka janganlah kamu menghadap kiblat dan jangan pula membelakanginya, apakah itu untuk buang air kecil ataupun air besar. Akan tetapi menghadaplah ke arah timur atau ke arah barat.(Muttafaq’alaih).

Ketentuan di atas berlaku apabila di ruang terbuka saja. Adapun jika di dalam ruang (WC) atau adanya pelindung / penghalang yang membatasi antara si pembuang hajat dengan kiblat, maka boleh menghadap ke arah kiblat.

Ketujuh, dilarang kencing di air yang tergenang (tidak mengalir), karena hadits yang bersumber dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Jangan sekali-kali seorang di antara kamu buang air kecil di air yang menggenang yang tidak mengalir kemudian ia mandi di situ. (Muttafaq’alaih).

Kedelapan, makruh mencuci kotoran dengan tangan kanan, karena hadits yang bersumber dari Abi Qatadah ra menyebutkan bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Jangan sekali-kali seorang di antara kamu memegang dzakar (kemaluan)nya dengan tangan kanannya di saat ia kencing, dan jangan pula bersuci dari buang air dengan tangan kanannya.” (Muttafaq’alaih).

Kesembilan, dianjurkan kencing dalam keadaan duduk, tetapi boleh jika sambil berdiri. Pada dasarnya buang air kecil itu di lakukan sambil duduk, berdasarkan hadits `Aisyah ra yang berkata: Siapa yang telah memberitakan kepada kamu bahwa Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam kencing sambil berdiri, maka jangan kamu percaya, sebab Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah kencing kecuali sambil duduk. (HR. An-Nasa`i dan dinilai shahih oleh Al-Albani).

Sekalipun demikian seseorang dibolehkan kencing sambil berdiri dengan syarat badan dan pakaiannya aman dari percikan air kencingnya dan aman dari pandangan orang lain kepadanya. Hal itu karena ada hadits yang bersumber dari Hudzaifah, ia berkata: “Aku pernah bersama Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam (di suatu perjalanan) dan ketika sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau buang air kecil sambil berdiri, maka akupun menjauh daripadanya. Maka beliau bersabda, “Mendekatlah kemari.” Maka aku mendekati beliau hingga aku berdiri di sisi kedua mata kakinya. Lalu beliau berwudhu dan mengusap kedua khufnya.” (Muttafaq alaih).

Kesepuluh, makruh berbicara di saat buang hajat kecuali darurat. Berdasarkan hadits yang bersumber dari Ibnu Umar ra diriwayatkan: “Bahwa sesungguhnya ada seorang lelaki lewat, sedangkan Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam sedang buang air kecil. Lalu orang itu memberi salam (kepada Nabi), namun beliau tidak menjawabnya. (HR. Muslim).

Kesebelas, makruh bersuci (istijmar) dengan menggunakan tulang dan kotoran hewan, dan disunnatkan bersuci dengan jumlah ganjil. Di dalam hadits yang bersumber dari Salman Al-Farisi ra disebutkan bahwasanya ia berkata: “Kami dilarang oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wasallam beristinja (bersuci) dengan menggunakan kurang dari tiga biji batu, atau beristinja dengan menggunakan kotoran hewan atau tulang. (HR. Muslim).

Dan Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda, “Siapa yang bersuci menggunakan batu (istijmar), maka hendaklah diganjilkan.”

Keduabelas, disunnatkan masuk ke WC dengan mendahulukan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan berbarengan dengan dzikirnya masing-masing. Dari Anas bin Malik ra diriwayatkan bahwa ia berkata, “Adalah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila masuk ke WC mengucapkan, “Allaahumma inni a’udzubika minal khubusi wal khabaaits” “Ya Allah, aku berlindung kepadaMu dari syetan jantan dan setan betina.”

Dan apabila keluar, mendahulukan kaki kanan sambil mengucapkan, “Ghufraanaka” (ampu-nanMu ya Allah).

Ketigabelas, mencuci kedua tangan sesudah menunaikan hajat. Di dalam hadis yang bersumber dari Abu Hurairah ra diriwayatkan bahwasanya, “Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam menunaikan hajatnya (buang air) kemudian bersuci dari air yang berada pada sebejana kecil, lalu menggosokkan tangannya ke tanah.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).

Demikian etika atau adab buang hajat menurut aturan Islam. Sudah pasti, sebagai muslim, kita tentu ingin mengikuti dan mencontoh suri teladan terbaik umat manusia sepanjang masa yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Bismillah, mulailah dari diri sendiri, keluarga dan sanak famili kita untuk mengubah kebiasaan lama yang tidak sesuai sunnah kepada adab-adab buang hajat yang telah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Tentu saja kita harus merasa malu mengaku-ngaku sebagai umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sementara dalam masalah adab buang hajat saja kita tidak meneladaninya. Lalu, sudah pantaskah kita disebut sebagai umat yang mencintai dan mengikuti sunnahnya? Di bulan Ramadhan ini, mari tajamkan niat, bulatkan tekad untuk berusaha mengamalkan sunnah-sunnahnya dari yang kecil hingga yang besar.

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan kita kekuatan untuk mengikuti semua perintah-Nya dan meninggalkan semua larangan-Nya, wallahua’lam. (RS3/RI-1)

(diolah dari berbagai sumber)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.