Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fakta Krusial Peran Presiden Palestina di Konflik Gaza: Otoritas dan Keterbatasan

Bahron Ansori Editor : Rudi Hendrik - 2 jam yang lalu

2 jam yang lalu

8 Views

Presiden Palestina Mahmoud Abbas

PRESIDEN Otoritas Palestina (PA) dikukuhkan lewat Perjanjian Gaza–Yerikho (1994) dan Undang Undang Dasar 2002 yang diamandemen tahun 2003. Presiden memiliki wewenang menunjuk/demosi perdana menteri dan mengeluarkan dekrit darurat, serta menjadi Panglima Tertinggi Pasukan Nasional Palestina—tapi tidak bisa membentuk kabinet atau legislatif sendiri.

Sejak Hamas menguasai Gaza lewat konflikt internal pada Juni 2007, PA—di bawah Abbas—hanya menguasai secara de facto wilayahnya di Tepi Barat, tanpa kontrol atas Gaza. Pemerintahan Hamas tak diakui Abbas maupun legislatif PA.

Beberapa upaya rekonsiliasi seperti Perjanjian Mecca (Februari 2007) dan Kairo (Oktober 2017) gagal menghantarkan PA ke Gaza. Hamas tidak menyerahkan senjata dan menunda serah terima kekuasaan.

PA pernah memotong gaji pegawai sipil Gaza hingga 30%, menghentikan pasokan listrik yang dibayar ke Israel, serta sanksi ekonomi lain sebagai tekanan kepada Hamas. Dampaknya memperparah krisis kemanusiaan di Gaza pada tahun 2017–2018.

Baca Juga: Di Mana Presiden Palestina Saat Genosida Terjadi di Gaza?

Abbas memerintah sejak 2005 tanpa pemilihan langsung sejak pembubaran parlemen 2007. Bahkan lembaga seperti PLC tak berfungsi. Banyak warga menilai legitimasi Abbas menurun drastis.

Popularitas yang Merosot

Survei terbaru menyatakan lebih dari 80% warga Palestina ingin Abbas mundur, dan PA dianggap korup serta kolaboratif dengan Israel melalui koordinasi keamanan di Tepi Barat.

PA bertahan hanya melalui dukungan keuangan dan diplomatik AS, UE, Arab Saudi, dan lain. Tapi efektifitasnya sangat terbatas, karena kehilangan pengaruh langsung di Gaza.

Baca Juga: Rumah Ramah Gempa, Ikhtiar Membangun Hunian Aman di Negeri Rawan Bencana

Januari 2025, Abbas menyatakan PA “siap mengambil tanggung jawab penuh” atas Gaza pascadeklarasi gencatan senjata dan penarikan pasukan Israel: mengelola rekonstruksi, layanan dasar, dan pengembalian pengungsi.

Rencana Arab League (Maret 2025) mencakup visi $53 miliar untuk pemulihan Gaza, yang menempatkan PA sebagai pengelola teknokratis dibawah pengawasan donor internasional dan asistensi mesir-jordan. Abbas mendukung merencanakan pemilu dan reformasi.

Rencana PA kembali ke Gaza ditentang keras oleh Hamas sebagai rival lokal, dan oleh Israel yang meragukan legitimasi dan kemampuan PA menjalankan tugas keamanan dan administratif.

Tekanan Arab dan Barat (Prancis, Kanada) mendorong Abbas untuk melakukan reformasi, mempersiapkan pemilu, serta mengurangi perannya yang otoriter demi membangun kelembagaan PA yang bisa dipercaya.

Baca Juga: Rojali dan Rohana, Lelucon Getir di Negeri Konoha

Abbas (89 tahun) belum menunjuk pengganti yang sah. Penunjukan Hussein al Sheikh sebagai wakil PLO dianggap sekadar manuver politik tanpa legitimasi publik. Banyak pihak menginginkan pemilihan umum diawasi PLO independen.

Di tengah perang Gaza dan kehancuran masif—lebih dari 40.000 hingga 50.000 korban jiwa—PA dapat menebus kredibilitasnya dengan memimpin rekonstruksi dan menyatukan faksi, tapi itu memerlukan legitimasi baru dan pembaruan internal.

Meski deklarasi internasional seperti janji pengakuan negara Palestina meningkat (Prancis, UK, Kanada), tanpa kekuatan nyata di Gaza, PA Abbas tetap menjadi institusi simbolik. Keberhasilan di Gaza pascaperang bergantung pada konsistensi diplomatik dan keberanian reformasi politik.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Mari Merawat Ukhuwah Islamiyah

Rekomendasi untuk Anda