Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fenomena Baru, Angka Pernikahan Menurun dan Kasus Perceraian Meningkat di Indonesia

Widi Kusnadi Editor : Rana Setiawan - Rabu, 28 Agustus 2024 - 22:21 WIB

Rabu, 28 Agustus 2024 - 22:21 WIB

60 Views

ilustrasi perceraian. (Sumber: FB)

Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini mengeluarkan laporan, bahwa angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Berdasarkan laporan tersebut, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2023, tercatat sebanyak 1.577.255 pernikahan, yang merupakan angka terendah sejak 1997/19981. Penurunan ini terjadi di semua provinsi di Indonesia. Sebagai contoh, di DKI Jakarta, angka pernikahan turun dari 47.225 pada 2022 menjadi 43.363 pada 2023. Di Provinsi Jawa Barat, angka pernikahan juga mengalami penurunan tajam, dari 336.912 pada 2022 menjadi 317.715 pada 20231.

Secara prosentasi global, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan sebesar 7,51 persen pada 2023, jika dibandingkan dengan tahun 2022.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga menjadi tren global di beberapa negara maju. Penurunan angka pernikahan ini tentu saja memicu berbagai pertanyaan mengenai penyebab dan dampaknya terhadap masyarakat.

Baca Juga: Pilkada 2024 Ajang Merajut Persaudaraan

Sebuah Studi dari Universitas Indonesia menunjukkan bahwa generasi milenial cenderung menunda pernikahan untuk mencapai tujuan pribadi terlebih dahulu.

Penurunan angka pernikahan di Indonesia merupakan fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak.

Sementara itu, BPS juga melaporkan, angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2022, tercatat sebanyak 516.334 kasus perceraian, yang merupakan angka tertinggi dalam enam tahun terakhir. Pasangan muda dari generasi milenial berusia 30-40 tahun mendominasi jumlah perceraian tersebut.

Jika dihitung pertahunnya, peningkatan jumlah kasus perceraian berkisar 15 persen setiap tahunnya. Jumlah ini tentu sangat mengkhawatirkan, mengingat angka perkawinan yang terus mengalami penurunan.

Baca Juga: Amalan-Amalan di Bulan Rabiul Awal

Gugatan cerai juga lebih banyak dilakukan oleh pihak isteri, dan anak tidak lagi dinilai sebagai faktor yang memberatkan untuk mengakhiri pernikahan. Tren perceraian meningkat karena harapan yang terlalu tinggi pada pasangan di awal pernikahan, meningkatnya individualisme, dan menurunnya komitmen.

Selain itu, mobilitas sosial, karir, terutama pada istri yang bekerja penuh waktu, juga memengaruhi, selain penerimaan publik terhadap perceraian yang semakin besar.

Banyak pasangan suami istri berpisah karena kehilangan rasa cinta pada satu sama lain. Fenomena hilangnya rasa dalam pernikahan sering terjadi dalam lima tahun pertama perkawinan.

Dari hasil penelitian, sebuah rumah tangga yang bercerai diawali dari perasaan terluka, merasa harga diri direndahkan, dan marah. Tahap selanjutnya adalah kecewa, apatis, hingga akhirnya muncul perasaan ingin berpisah. Fase akhir kehilangan rasa biasanya memuncak dengan perasaan muak, hilang kepercayaan, dan ketidakberdayaan sehingga mereka memutuskan bercerai.

Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel

Penyebab Menurunnya Angka Pernikahan

Penyebab menurunnya angka pernikahan dan meningkatnya kasus perceraian itu saling beririsan. Satu kasus yang terjadi bisa menyebabkan kedua hal tersebut terjadi, baik langsung ataupun tidak langsung. Baik oleh pelakunya sendiri, atau berdampak kepada orang lain.

  1. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT): Meningkatnya kasus KDRT telah menimbulkan trauma mendalam bagi korban. Hal itu diduga keras menjadi sebab kasus perceraian. Di sisi lain, hal itu secara tidak langsung akan berdampak menurunnya jumlah pernikahan karena generasi muda takut menikah. Informasi tentang KDRT yang mudah diakses melalui berbagai media, terutama media sosial juga memperkuat ketakutan ini.
  2. Faktor Ekonomi: Biaya pernikahan yang semakin tinggi, harga properti yang mahal, dan kondisi ekonomi yang tidak stabil membuat banyak pasangan menunda pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak menikah sama sekali. Di samping itu, kasus perceraian juga banyak dilatarbelakangi kerena masalah ekonomi. Ketidakmampuan suami memenuhi kebutuhan keluarga juga sekaligus menjadi salah satu faktor utama terjadinya perceraian.
  1. Gaya Hidup Modern, pola pikir yang bebas, serta normalisasi hubungan tanpa pernikahan, semakin meningkatkan anggapan untuk memepertimpangkan menunda pernikahan. Di sisi lain, hal itu juga menyebabkan perceraian karena sudah tidak lagi menganggap sakral hubungan pernikahan.

Dampak Menurunnya Angka Pernikahan, meningkatnya kasus perceraian

Kedua hal itu tentu menimbulkan dampak serius bagi sebuah masyarakat, bangsa dan negara. Beberapa dampaknya antara lain:

Baca Juga: Doa Hari Jumat yang Diamalkan Rasulullah

  1. Penurunan angka kelahiran: Penurunan angka pernikahan dan meningkatnya perceraian secara langsung berdampak pada penurunan angka kelahiran di Indonesia. Hal ini dapat mempengaruhi struktur demografi dan pertumbuhan populasi di masa depan.

Penurunan angka kelahiran akan begitu terasa bagi sebuah negara ketika hal itu sudab berlangsung puluhan tahun.  Sebagai contoh negara-negara Eropa, Jepang dan Korea Selatan memiliki masalah serius dengan hal itu. Negara-negara itu terancam kehilangan populasi di masa mendatang karena jumlah kematian lebih besar dari jumlah kelahiran setiap tahunnya.

  1. Tantangan Sosial: penurunan angka pernikahan dan meningkatnya perceraian juga menimbulkan tantangan sosial, seperti meningkatnya jumlah orang yang hidup sendiri dan terisolasi secara sosial.

Orang yang bercerai atau memilih hidup sendiri akan mengalami masalah ada masa tuanya. Tidak ada yang merawat mereka. Al-hasil mereka akan menjadi beban negara, ketika mereka dirawat di panti jompo, atau bahkan menjadi tuna wisma.

Dari fenomena di atas, pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas fenomena tersebut. Para pemangku kebijakan perlu meningkatkan dukungan terhadap keluarga melalui kebijakan yang inklusif. Semua pihak perlu dilibatkan demi menanggulangi kedua hal itu.

Pendekatan religius sepertinya bisa menjadi solusi utama karena agama memerintahkan pemeluknya untuk hidup bersama, mengembangkan keturunan dan membentuk keluarga yang tenteram dan bahagia.[]

Baca Juga: Kepemimpinan Umat Islam dan Kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Turkiye dari Eropanisasi, Stres, Hingga Reislamisasi

Rekomendasi untuk Anda