Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fenomena Hedonisme

Bahron Ansori - Ahad, 26 Mei 2024 - 10:10 WIB

Ahad, 26 Mei 2024 - 10:10 WIB

7 Views

Oleh Bahron Ansori, wartawan Kantor Berita MINA

Setiap orang sangat ingin memperoleh kebahagiaan dan kesenangan dalam hidupnya karena kebahagiaan dan kesenangan adalah hak setiap manusia. Oleh karena itu, wajar jika orang hidup untuk mencari kesenangan. Hal ini didasarkan pada sifat manusia yang selalu ingin bersenang-senang dan bersenang-senang merupakan hal yang esensial untuk mendapatkan kesenangan.

Hanya saja, jika orientasi hidup yang selalu mengarah pada kesenangan, kebahagiaan atau menghindari perasaan tidak menyenangkan, maka bisa jadi penyakit hedonisme sudah melekat. Hedonisme adalah perilaku yang menghargai kesenangan dan kebahagiaan pribadi, kemewahan, dan stabilitas, di atas segalanya. Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar 433 SM.

Hari ini bisa kita saksikan gaya hidup masyarakat yang sangat konsumtif sudah  dominan. Membeli sesuatu bukan karena dorongan kebutuhan atau berdasar prioritas yang rasional namun lebih karena ingin mengikuti mode dan bersaing untuk tampil lebih hebat dari yang lain walaupun penghasilannya pas-pasan.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Sebagian dari mereka bahkan berani melakukan pelanggaran hukum untuk mendapatkan uang dalam skala besar dengan cara paling mudah dan cepat, demi untuk mampu memenuhi ambisi syahwat untuk bermegah-megahan di kalangan komunitas di mana mereka beraktifitas.

Membeli mobil mewah, apartemen megah, properti di lokasi elit bernilai milyaran rupiah, dan berbagai asesoris penampilan diri maupun perabot rumah tangga yang serba mewah, lalu dipertontonkan di media sosial untuk menunjukkan segala kehebatan yang dimilikinya secara duniawi, dilakukan tanpa rasa malu sedikit pun.

Ini sebenarnya perilaku kekanak-kanakan yang tidak akan dilakukan mereka yang masih memiliki akal sehat, harga diri dan kepedulian terhadap kondisi lingkungan di mana kita tinggal saat ini, yang dipenuhi dengan begitu banyak orang miskin dan mereka yang susah hidup untuk sekedar memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Semua fenomena itu dikenal dengan gaya hidup hedonis. Para pemuja kesenangan hidup dunia yang mengikuti paham hedonisme, baik mereka tahu atau tidak, baik mereka sengaja atau tidak. Lantas apakah sebenarnya hedonisme itu?

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Pada dasarnya, hedonisme ingin menjawab pertanyaan filosofis ”apa yang terbaik untuk manusia?” Hal ini berawal dari Socrates yang menanyakan tentang tujuan akhir umat manusia. Kemudian Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang terbaik bagi manusia adalah kesenangan.

Aristippos menjelaskan bahwa orang selalu mencari kesenangan sejak masa kecilnya dan jika tidak mencapainya akan mencari yang lain, namun bukan berarti orang bisa dengan leluasa dan brutal mendapatkan kesenangan dan membenarkan berbagai cara untuk mendapatkan kesenangan tersebut.

Saat ini, sikap membenarkan segala cara untuk memperoleh kesenangan telah mengganggu gaya hidup kaum muda. Mereka berlomba-lomba mengaktualisasikan dirinya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Mereka melakukan segala daya dan upaya untuk mencapai kenikmatan hidup, seperti tertangkap basah pergaulan bebas, menggunakan obat-obatan terlarang, bahkan ada yang rela mengorbankan kehormatannya.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Ketika hedonisme telah mencengkeram hidup mereka, banyak nilai luhur kemanusiaan yang luntur, bahkan hilang. Kepekaan sosial mereka tergeser ketika mereka selalu mempertimbangkan untung dan rugi dalam bersosialisasi. Akibatnya, ketika seseorang membutuhkan pertolongan, mereka bersembunyi dan enggan berkorban.

Sejarah Hedonisme

Hedonisme adalah pandangan hidup yang mengasumsikan bahwa orang bahagia ketika memperoleh kebahagiaan sebanyak-banyaknya dan sebisa mungkin menghindari perasaan menyakitkan. Hedonisme merupakan pandangan yang memandang bahwa kesenangan atau kebahagiaan merupakan tujuan hidup dan perbuatan manusia.

Secara etimologis, istilah “hedonisme” diambil dari bahasa Yunani “hēdonismos” dari akar kata “hēdonē”, yang berarti “kesenangan”. Gagasan ini menjelaskan bahwa apa yang memuaskan keinginan manusia dan apa yang meningkatkan kuantitas kesenangan dianggap baik.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Hedonisme adalah pandangan filosofi moral dari Yunani yang bertujuan untuk menghindari kesengsaraan dan semaksimal mungkin menikmati kebahagiaan dalam hidup. Selama itu, hedonisme masih memiliki makna positif.

Dalam perkembangannya, para penganut ini mencari kebahagiaan yang langgeng tanpa penderitaan. Mereka menjalani berbagai praktek pertapaan, seperti puasa, hidup miskin, bahkan menjadi pertapa untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.

Namun, ketika Kekaisaran Romawi menguasai seluruh Eropa dan Afrika, gagasan ini mengalami pergeseran negatif dalam slogan baru hedonisme. Moto baru, carpe diem (mencapai kesenangan sebanyak mungkin selama Anda hidup), membangkitkan setiap nafas pandangan ini. Kebahagiaan dipahami sebagai kesenangan belaka tanpa memiliki makna yang dalam.

Hedonisme dalam Pandangan Islam

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Pada dasarnya, hedonisme yang digagas oleh Articulus (bapak hedonisme) tidak begitu bermakna seperti saat ini. Hedonisme telah mengalami pergeseran makna pemahaman masyarakat menjadi konsep yang hanya berorientasi material.

Inilah makna hedonisme bagi sebagian besar orang yang hanya memandang bahwa kesenangan, dan kebahagiaan baik lahir batin adalah tujuan utama hidup di dunia ini. Akibatnya, hedonisme adalah cara pandang tertentu dalam memahami kehidupan manusia di duniaini. Hal ini sangat bertentangan dengan hukum Islam.

Islam tidak hanya memandang aspek duniawi tetapi juga ukhrawi. Dalam pandangan Islam, kenikmatan dunia hanyalah kenikmatan sementara, sedangkan kehidupan abadi adalah akhirat.

Di dunia, bukan hanya kesenangan material yang dikejar manusia, tetapi di dunia ini manusia memiliki tugas sebagai khalifah untuk memimpin diri sendiri dan yang lain untuk beribadah kepada Allah semata dan menjauhkan manusia dari menjadi budak sesama manusia atau budak dunia.

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Islam tidak sepakat dengan idea hedonisme karena hedonisme hanya mengejar modernitas fisik. Islam tidak mengajarkan hal-hal seperti itu, seperti disebutkan dalam Al-Quran Surat Hud: 116, dimana Allah ta’ala berfirman, “Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada (mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.”

Terlebih bagi anak muda, budaya hedonisme seolah sudah menjadi ideologi yang sudah tidak tabu lagi. Tantangan terbesar generasi muda muslim saat ini adalah budaya hedonisme, yaitu kesenangan adalah hal terpenting dalam hidup.

Budaya yang bertentangan dengan Islam ini disukai dan dijadikan gaya hidup anak muda masa kini, tanpa memandang status sosial, ekonomi dan pendidikan, baik kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata, cendekiawan atau orang awam, di desa atau di kota, seolah-olah mereka setuju menjadikan hedonisme sebagai budaya modern mereka.

Hal ini mengasingkan dan mengusir mereka dari gaya hidup yang beradab, yakni dari hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menciptakan manusia.[]

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Mir’aj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Rekomendasi untuk Anda

Khadijah
Kolom
Kolom
Kolom
Palestina