Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gaya Selangit Isi Dompet Seuprit

Redaksi Editor : Rana Setiawan - 18 menit yang lalu

18 menit yang lalu

14 Views

T Lembong Misbah

Oleh T. Lembong Misbah, Dosen Prodi Pengembangan Masyarakat Islan, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Banda Aceh

DI TENGAH gejolak keterpurukan ekonomi yang melanda Indonesia saat ini, ada satu fenomena sosial yang menarik untuk dipelototi, yakni kebiasaan memamerkan gaya hidup mewah atau flexing, terutama di kalangan anak muda, mereka tampak berlomba-lomba menampilkan diri dengan barang-barang branded, mobil mewah dan lain-lain agar nampak kaya, sukses, bergaya, keren dan wah, meskipun hidup mereka sebenarnya serba kekurangan. Dalam ungkapan satir kerap disebut dengan “gaya selangit isi dompet seuprit”.

Masyarakat Indonesia, yang secara tradisional dikenal dengan sifat gotong royong dan kebersamaan, kini semakin terpapar pada arus modernisasi dan budaya konsumerisme yang sangat kuat, terutama lewat pengaruh media sosial. Media sosial memberi ruang bagi individu untuk menunjukkan kehidupan mereka dengan cara yang sangat selektif, hanya menampilkan sisi glamor menutup rapat segala kekurangan dan kelemahannya.

Fenomena terbaru yang banyak menarik perhatian di media sosial yaitu sewa iPhone menjelang lebaran lalu. iPhone tersebut disewakan dengan tarif dari Rp120 ribu hingga Rp185 ribu per harinya. Banyak orang menyewa iPhone untuk meningkatkan citra diri saat menghadiri acara buka puasa bersama atau silaturahmi. Nurhadi, menyebut tren ini sebagai fenomena hiperrealitas. Dalam konteks ini, masyarakat mulai mengaburkan batas antara realitas dan fantasi, di mana penggunaan iPhone bukan lagi sekedar alat komunikasi, tetapi menjadi simbol status sosial yang ingin ditampilkan kepada publik.

Baca Juga: Berfikir Kritis atas Kebijakan Tarif Trump

Sikap di atas tentunya tidak mencerminkan keseimbangan antara penampilan dan realitas, tetapi juga memperlihatkan kecenderungan masyarakat yang mulai mengukur nilai diri dari apa yang bisa dipamerkan kepada orang lain. Ada banyak orang yang merasa perlu memiliki barang-barang mewah untuk diterima dalam masyarakat, meskipun itu berarti menambah beban ekonomi mereka. Gaya hidup seperti ini bukan hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga menciptakan ketidakadilan sosial. Bagi sebagian orang, menampilkan kekayaan yang tidak mereka miliki adalah cara untuk mendapatkan pengakuan sosial. Mirisnya lagi, perilaku ini ditampilkan pada momen Ramadhan dan Idul Fitri yang sejatinya menjauhkan diri dari sifat-sifat pamer tersebut.

Dalam konteks ini, sikap pamer kemewahan melalui gaya hidup yang tidak sesuai dengan kemampuan finansial adalah bentuk pencitraan semu yang sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat. Bukan hanya individu yang terjebak dalam gaya hidup ini, tetapi juga masyarakat yang semakin terpolarisasi. Mereka yang mampu mengakses barang-barang mewah dengan mudah, baik melalui penghasilan pribadi atau utang konsumtif, semakin memperlebar jarak dengan mereka yang terpaksa berjuang hidup dengan cara yang lebih sederhana. Di sinilah kesenjangan sosial semakin nyata, dan rasa ketidakadilan semakin meningkat.

Namun, di balik fenomena ini, ada suatu pertanyaan yang muncul: Mengapa banyak orang merasa perlu menunjukkan sesuatu yang sebenarnya tidak mereka miliki? Apakah ini semata-mata untuk memperoleh pengakuan atau lebih dalam lagi, untuk menutupi rasa kekurangan dan ketidakamanan yang mereka rasakan? Banyak orang berusaha mengejar pengakuan melalui benda-benda yang bersifat sementara dan tak abadi, padahal pengakuan sejati justru berasal dari sifat-sifat batiniah yang lebih dalam, seperti kejujuran, integritas, dan ketulusan.

Islam, sebagai agama yang sangat menekankan pentingnya kesederhanaan, memiliki pandangan yang jelas mengenai fenomena ini. Pamer kekayaan atau gaya hidup sangat dilarang. Rasulullah SAW sendiri memberikan teladan hidup sederhana, meskipun beliau adalah pemimpin umat dan memiliki pengaruh besar.

Baca Juga: Palestina dan Masa Depan Al-Aqsa: Apa yang Bisa Dilakukan Umat Islam?

Rasul bersabda “Barang siapa yang mengenakan pakaian untuk riya’ dan sombong, maka Allah akan menghinakannya pada hari kiamat” (HR. Bukhari). Hadis ini sangat jelas menunjukkan bahwa dalam Islam, pamer kekayaan atau penampilan mewah dengan tujuan menunjukkan status sosial adalah perbuatan tercela. Ukuran kemuliaan seseorang dalam Islam bukan terletak pada harta, jabatan, dan keturunan akan tetapi dilihat dari ketakwaannya.

Ajaran Islam juga menekankan pada pentingnya qana’ah, yaitu sikap merasa cukup dengan apa yang diberikan oleh Allah, dan tidak tergoda untuk terus-menerus mengejar kekayaan dunia yang fana. Dalam hidup sederhana, seseorang akan menemukan kebahagiaan yang hakiki. Rasulullah tidak pernah berlebihan dalam hal apapun, termasuk dalam hal makan dan berpakaian, kenyataannya beliau adalah orang yang paling dihormati dan dihargai oleh umatnya. Ini adalah salah satu cara beliau mengajarkan umatnya untuk tidak terjebak dalam dunia yang serba konsumtif.

Di Aceh, yang dikenal dengan penerapan syariat Islam yang kental, terdapat ungkapan yang sangat dalam maknanya: “Peusom gasin peulemah kaya.” Artinya, “Menampakkan diri kaya padahal sebenarnya miskin.” Ungkapan ini mengingatkan masyarakat Aceh untuk tidak terperangkap dalam dunia pencitraan dan agar mereka tetap hidup dengan cara yang sederhana, tidak berusaha tampil lebih dari kemampuan yang sebenarnya. Dalam budaya Aceh yang sarat dengan ajaran agama, pepatah ini juga mengingatkan masyarakat untuk menjaga kehormatan dengan cara yang jujur, tanpa harus berbohong tentang status sosial mereka.

Mestinya ada rasa malu ketika memamerkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan hidup. Nietzsche berujar “memamerkan sesuatu yang tidak sesuai dengan kenyataan adalah bentuk kelemahan dan ketidakmampuan untuk menghadapi kenyataan hidup”. Keindahan hidup terletak pada kesederhanaan, bukan pada apa yang dipamerkan kepada dunia. Tidak ada yang lebih berharga daripada memiliki kedamaian hati, yang tidak tergantung pada apa yang terlihat oleh orang lain.

Baca Juga: Tahun 2025, Indonesia Banjir Mualaf

Untuk mengatasi masalah ini tentu sangat dipentingkan untuk memupuk rasa syukur yang mendalam atas nikmat yang dikaruniakan Allah, seperti kesempurnaan anggota tubuh, kesehatan, pikiran waras, kebersamaan dengan keluarga dan sahabat, semua itu tidak bisa diukur dengan angka-angka. Islam mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam dunia yang hanya sementara ini, tetapi untuk selalu berusaha meraih kebahagiaan dalam Ridha-Nya bukan kebahagiaan semu, terpengaruh oleh hawa nafsu duniawi.

Pada akhirnya, kita perlu kembali merenung dan mempertanyakan, apakah yang kita cari dalam hidup ini? Apakah kebahagiaan datang dari benda-benda mewah yang hanya memuaskan hasrat sementara, ataukah datang dari kesederhanaan, rasa cukup, dan kejujuran? Dengan kembali pada ajaran Islam dengan prinsip kesederhanaan, kita dapat menghindari perangkap gaya hidup yang semu dan menemukan kebahagiaan yang lebih bermakna. Sebab, seperti yang diajarkan dalam Islam, kebahagiaan sejati bukanlah pada apa yang kita miliki, tetapi pada bagaimana kita bersyukur dan menjalani hidup dengan penuh ketulusan dan kesederhanaan. []

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Peran Masjid Al-Aqsa dalam Persatuan Umat Islam di Seluruh Dunia

Rekomendasi untuk Anda