Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Gaza, 601 Hari Genosida, Hancurnya Nurani Dunia

Rana Setiawan - 2 jam yang lalu

2 jam yang lalu

9 Views

Warga Palestina berjalan di tengah kehancuran di Kota Gaza, di bagian tengah Jalur Gaza, 10 April 2025. (Foto: Ruwaida Amer/+972 Magazine)

HARI ini genosida di Gaza telah berlangsung selama 601 hari. Dalam rentang waktu yang bahkan tidak mampu dimengerti oleh logika nurani, dunia menyaksikan sebuah wilayah padat penduduk dijadikan laboratorium kekejaman manusia modern, di mana anak-anak dibunuh perlahan melalui kelaparan, pasien dibiarkan sekarat tanpa perawatan, dan rumah sakit tak ubahnya kuburan.

Menurut sumber medis setempat dilaporkan Kantor Berita WAFA, Rabu (28/5), sejumlah 22 dari 38 rumah sakit kini lumpuh total. Sementara yang masih bertahan, berjuang tanpa listrik, tanpa oksigen, dan tanpa obat. Sebanyak 47% obat-obatan esensial habis total, sementara 65% peralatan medis sekali pakai tidak tersedia. Artinya, dokter harus memilih siapa yang hidup dan siapa yang dibiarkan mati, karena tidak ada cukup alat untuk menyelamatkan semuanya.

Hanya 30 dari 105 pusat layanan kesehatan primer yang masih berfungsi, dan itu pun dalam kondisi darurat parah. Tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit telah melampaui 106%, lebih dari penuh. Sebagian pasien dirawat di lantai, di lorong, bahkan di bawah tenda darurat.

Di antara tragedi paling memilukan adalah angka kematian pasien-pasien kronis. Sejumlah 41% pasien gagal ginjal telah meninggal sejak invasi dimulai, bukan karena penyakit mereka yang memburuk, tetapi karena tidak adanya fasilitas dialisis.

Baca Juga: Media Asing Ramai Bicarakan Pernyataan Presiden Prabowo Akan Akui Israel

Sebanyak 477 pasien yang menunggu izin berobat ke luar negeri tewas satu per satu, ditahan oleh blokade dan kekejaman birokrasi penjajah. Sejumlah 60 anak meninggal karena kelaparan, bukan karena kurang gizi jangka panjang, tapi karena mereka sengaja dibiarkan kelaparan di tengah dunia yang makan tiga kali sehari di depan layar gawai.

Hancurnya Mesin Kehidupan

Invasi ini bukan hanya menargetkan manusia. Ia juga menargetkan sistem kehidupan. Dari 34 stasiun oksigen di Gaza, 25 telah dihancurkan, menyisakan hanya 9 yang berfungsi sebagian. Pasien ICU, bayi prematur, penderita Covid-19, trauma perang, semuanya tergantung pada pasokan oksigen. Tapi penjajah Zionis Israel tahu itu dan menghancurkannya.

Sebanyak 12 dari 19 mesin CT scan rusak, dan seluruh 7 mesin MRI di Gaza dihancurkan total. Kini Gaza tidak memiliki kapasitas pencitraan diagnostik MRI sama sekali.

Baca Juga: Indonesia Siap Akui Israel?

Tragedi ini bukan hanya pelanggaran hukum internasional, ini adalah strategi penghancuran generasi. Ketika kanker tidak bisa dideteksi, luka dalam tidak bisa dipantau, dan trauma otak tidak bisa didiagnosis, maka kematian datang bukan sebagai takdir, tapi sebagai desain.

Bahkan sistem dasar kelistrikan di rumah sakit pun digempur. Hanya 49 dari 110 generator listrik yang masih menyala, dan itu pun nyaris berhenti karena kehabisan bahan bakar. Pasien operasi kini menunggu mati dalam gelap. Inkubator bayi menjadi kotak kematian.

Proyek Dehumanisasi

Warga Palestina meninggalkan rumah sakit Al-Shifa di Kota Gaza, setelah tentara Israel mengeluarkan perintah evakuasi, 14 Mei 2025. (Foto: Omar Al-Qataa/+972 Magazine)

Di dunia yang penuh duka dan kebisingan tragedi, hanya sedikit gambar yang mampu mengoyak nurani dunia. Namun ketika api melahap ruang-ruang kelas di sebuah sekolah yang dijadikan tempat pengungsian di Gaza, mengubah anak-anak menjadi tubuh hangus di bawah reruntuhan, bahkan keheningan pun mulai bergetar.

Baca Juga: Relawan Indonesia Banyak Belajar dari Gaza

Pekan lalu, serangan udara penjajah Zionis Israel menghantam Sekolah Fahmi Al-Jarjawi di kawasan al-Daraj, Gaza City. Sekolah itu telah lama diketahui sebagai tempat perlindungan warga sipil. Serangan tersebut menewaskan sedikitnya 36 orang, sebagian besar perempuan dan anak-anak, beberapa di antaranya terbakar hidup-hidup.

Video yang beredar menunjukkan kobaran api menyapu tenda-tenda di halaman sekolah. Jeritan anak-anak menyatu dengan sirene ambulans yang tertahan aksesnya. Bagi warga Gaza, kematian bukan lagi kemungkinan, melainkan rutinitas.

Serangan tersebut bukan yang pertama, dan jelas bukan yang terakhir. Ini bagian dari pola kampanye sistematis, brutal, dan menyeluruh, yang telah mengubah Gaza menjadi puing-puing kemanusiaan.

Berdasarkan laporan +972 Magazine, pada 19 Mei 2025, militer penjajah Zionis Israel menyatakan telah mengubah kota al-Fukhari di selatan Gaza menjadi “Blok 76.” Sebuah kota yang dulu hidup, kini hanyalah angka dalam peta operasi militer. Lebih dari 7.000 penduduknya dipaksa mengungsi. Rumah mereka dihancurkan. Kenangan mereka dilenyapkan.

Baca Juga: Di Balik Lensa, Jurnalis Gaza Bertaruh Nyawa Demi Kebenaran

Ini bukan sekadar perang kota. Ini adalah proyek sistematis dehumanisasi. Ketika kota diubah menjadi angka, manusia menjadi objek statistik. Ketika anak-anak hanya dianggap “korban sipil,” dunia mulai lupa bahwa di balik setiap angka ada wajah, ada nama, ada keluarga yang hancur.

Kurang dari 48 jam setelah pengusiran massal dari al-Fukhari, serangan udara Israel kembali membunuh 25 orang di al-Mawasi, area yang sebelumnya ditetapkan oleh militer penjajah Zionis Israel sebagai “zona aman.” Tapi di Gaza, zona aman hanyalah ilusi tragis. Setiap perintah evakuasi justru berujung pembantaian baru.

Genosida Berlapis-Lapis

Apa yang terjadi bukan sekadar pengeboman. Ini adalah genosida dalam bentuk berlapis: Genosida fisik, lewat bom dan peluru; genosida kesehatan, lewat penghancuran sistem medis; genosida psikologis, lewat trauma kolektif; genosida budaya, lewat penghancuran sekolah dan arsip; dan genosida moral, karena dunia tahu, tapi memilih diam.

Baca Juga: Senjakala Negara Zionis Israel

Sementara negara-negara adidaya masih sibuk memperdebatkan semantik dan geopolitik, anak-anak di Gaza meninggal karena tidak ada oksigen, tidak ada air bersih, tidak ada CT scan, tidak ada inkubator, tidak ada roti.

Menurut Kementerian Kesehatan Palestina di Gaza, angka kematian di Jalur Gaza kini menembus 54.084 jiwa. Sebuah angka yang seharusnya tidak pernah menjadi statistik. Sebagian besar dari mereka adalah perempuan dan anak-anak, bukan kombatan, bukan tentara, tapi keluarga biasa yang rumahnya dijadikan sasaran.

Sebanyak 123.308 orang lainnya terluka, banyak di antaranya mengalami cacat permanen, trauma psikologis, atau kondisi kritis tanpa harapan ditangani secara medis karena sistem kesehatan Gaza telah dihancurkan secara sistematis.

Ribuan lainnya masih terjebak di bawah reruntuhan. Mereka tidak tercatat dalam statistik resmi. Mereka adalah tubuh-tubuh yang membusuk dalam diam, disaksikan oleh dunia yang sibuk menggulir layar ponsel. Setiap hari mereka menunggu diselamatkan, tapi penyelamatan mustahil dilakukan karena bom terus dijatuhkan, satu demi satu, tanpa jeda.

Baca Juga: Amanah Itu Tak Pernah Salah Pundak

Dalam 24 jam terakhir saja, 28 warga Palestina kembali gugur, termasuk lima jasad yang ditemukan di bawah reruntuhan, dan 179 lainnya mengalami luka-luka. Dan itu hanya di wilayah yang bisa dijangkau. Korban di Gaza Utara tidak terdata, karena tidak ada akses, tidak ada komunikasi, tidak ada rumah sakit yang bisa dihubungi.

Tapi statistik ini tidak mampu menggambarkan kedalaman derita manusia, apalagi trauma anak-anak yang menyaksikan tubuh ibunya terbakar hidup-hidup.

Seluruh keluarga dimusnahkan. Sekolah, rumah sakit, pasar, dan kamp pengungsi dibombardir berkali-kali. Hampir 70% sekolah di Gaza rusak atau hancur. Air bersih nyaris tidak tersedia. Kelaparan merajalela. Obat-obatan habis.

Organisasi hak asasi manusia seperti Amnesty International, Human Rights Watch, dan bahkan mantan pejabat PBB telah menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah kejahatan perang. Beberapa menyebutnya dengan tegas sebagai genosida, sesuai definisi Konvensi Genosida PBB 1948.

Baca Juga: Fatamorgana Kekuasaan: Ketika Zionis Menang di Dunia, Namun Binasa di Akhirat

Namun dunia tetap membisu.

Diam adalah Komplikasi

Dewan Keamanan PBB gagal total dalam melindungi warga Gaza. Hak veto dan manuver diplomatik telah menghalangi bahkan sekadar resolusi gencatan senjata. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) berjalan lambat seperti kura-kura, sementara bom terus menghujani anak-anak.

Pemerintah negara-negara Barat masih berdalih membela “hak Israel untuk membela diri”, padahal hak itu diterjemahkan melalui pembunuhan massal anak-anak, penghancuran total infrastruktur sipil, dan pengusiran lebih dari 2 juta penduduk Gaza.

Sementara itu, sebagian besar media Barat tetap melanggengkan narasi yang menyesatkan: “bentrokan,” “tembak-menembak,” “kematian warga sipil di wilayah sengketa.” Padahal ini bukan konflik simetris. Ini penindasan brutal satu arah oleh negara bersenjata nuklir terhadap rakyat yang terblokade dan tak punya tempat berlindung.

Baca Juga: Cahaya Kebenaran yang Selalu Menyala

Kita harus mengatakannya dengan jelas bahwa yang terjadi di Gaza bukan “konflik”, ini adalah genosida, dan sedang berlangsung di depan mata dunia. Ini bukan sekadar soal politik atau perbatasan. Ini adalah ujian kemanusiaan kita bersama. Apakah kita masih memiliki hati? Ataukah kita sudah mati rasa di balik layar, tertelan rutinitas, dan tenggelam dalam keacuhan?

Jika kita tak mampu menghentikan pembakaran anak-anak di sekolah, maka kita sudah gagal sebagai peradaban.

Hentikan Genosida Sekarang Juga

Kita harus menolak menjadi generasi yang menyaksikan genosida disiarkan langsung setiap hari tapi memilih untuk tidak bertindak.

Baca Juga: Jalan Jama’ah: Jalan Para Nabi dan Siddiqin

Kepada masyarakat internasional, gunakan tekanan diplomatik dan ekonomi terhadap Israel. Kepada ICC dan Mahkamah Internasional, proses semua pejabat militer dan politik Israel yang bertanggung jawab atas kejahatan terhadap kemanusiaan ini. Kepada media dan jurnalis dunia, angkat kebenaran, jangan netral dalam kejahatan. Kepada warga dunia, turun ke jalan, desak boikot, galang donasi, dan teruskan perlawanan moral. Karena jika tidak sekarang, kapan lagi? Dan jika bukan kita, siapa lagi?

Apa yang terjadi hari ini di Gaza adalah noda dalam sejarah umat manusia. Pembakaran anak-anak di sekolah bukan “kolateral” dari perang, tapi kejahatan terhadap kemanusiaan yang dirancang. Pemusnahan kota, penghapusan nama, penghancuran kantor media, penghancuran rumah sakit, semua terjadi dalam lanskap yang dibiarkan dunia “maju”.

Kini bukan saatnya lagi netral. Dalam genosida, netralitas adalah keberpihakan pada pelaku.

Cukup sudah. Dunia tidak boleh lagi hanya menjadi penonton dalam pembantaian sistematis yang terjadi di Gaza. Yang terjadi bukan hanya pelanggaran HAM, melainkan genosida yang berlangsung terang-terangan, disiarkan ke seluruh dunia tanpa rasa malu.

Baca Juga: Menyoal Yayasan Kemanusiaan Gaza yang Dikelola AS dan Israel

Sebagai komunitas global, kita tak boleh menutup mata, apalagi membungkam suara-suara korban. Kita harus menekan lembaga internasional untuk bertindak nyata, mendorong pengadilan internasional mengadili para pelaku, dan menghentikan pasokan senjata kepada rezim penjajah paling biadab di zaman modern.

Hentikan kejahatan kemanusiaan ini. Gaza bukan ladang eksperimen senjata. Anak-anak Gaza bukan target perang. Mereka adalah manusia dan mereka berhak hidup.[]

 

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda