Gaza Diblokade dalam Gelap

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Krisis di Jalur , yang diblokade mempengaruhi setiap aspek kehidupan sehari-hari, dari membuat roti, untuk mendapatkan perawatan medis, untuk mencari nafkah bahkan hingga bertani.

Kondisi ini juga membahayakan kehidupan. Pekan lalu, tiga bersaudara terbakar hidup-hidup setelah lilin yang mereka gunakan selama pemadaman listrik membuat rumah mereka terbakar.

Warga Gaza saat ini dijatah listrik delapan jam menyala dan delapan jam mati, tapi bahkan penggiliran itu tidak dapat diandalkan karena sering berubah. Distribusi tidak merata, sering ada pemotongan hingga dua jam selama rentang delapan jam.

Pengeboman terhadap pembangkit listrik Gaza terjadi pada tahun 2006, ditambah oleh sanksi dan pembatasan yang diberlakukan sebagai bagian dari blokade terhadap Gaza. Keadaan itu telah memperburuk krisis, sementara jaringan listrik mengalami kerusakan lebih lanjut di perang 2014.

Sementara itu, Otoritas Palestina (PA) di Ramallah, Tepi Barar dan otoritas Hamas di Gaza telah menemui jalan buntu untuk mengatasinya.

Diperkirakan kebutuhan listrik sehari-hari di Gaza berkisar 350-450 megawatt, yang akan naik menjadi 600 jika blokade Israel diangkat dan ekonomi Gaza diizinkan mencapai kesejahteraan.

Saat ini Gaza hanya mendapat sekitar 200 megawatt per hari, jauh dari kebutuhannya dan telah mulai mencari alternatif tenaga surya, meskipun ini tidak terjangkau bagi rata-rata penduduk.

Keluarga Al-Arair di Gaza City

Seperti keluarga Al-Arair di lingkungan Shujayea, Gaza City, yang masih tinggal di bangunan peti kemas darurat di lokasi rumah mereka yang hancur.

Ketika malam tiba selama pemadaman bergilir di Gaza, kegelapan menyelubungi seluruh jalan-jalan. Lampu mobil yang lewat sesekali menyorot kelompok-kelompok kecil anak-anak yang bermain di pinggir jalan dan tampak pula para pemuda duduk di bekas dinding rumah rusak yang tak pernah dibangun kembali.

Beberapa toko yang memiliki generator cadangan menjadi titik terang dalam kegelapan. Sebuah cahaya biru juga berasal dari beberapa jendela apartemen keluarga yang menggunakan lampu LED yang didukung oleh baterai mobil.

Ini daerah padat penduduk di Gaza City yang belum pulih dari serangan Israel pada 2014, menewaskan lebih dari 2.000 warga Palestina dan meratakan seluruh lingkungan.

“Jaringan listrik di daerah ini tidak pernah direhabilitasi,” kata Muataz Al-Arair, seorang tukang listrik pengangguran berusia 23 tahun yang berbagi dua peti kemas bersama keluarganya yang berjumlah 10 jiwa.

Kabel listrik menggantung di atas jalan-jalan Shujayea, karena banyak keluarga yang terhubung secara ilegal ke jaringan.

“Saat hujan, karavan (peti kemas) kami berada pada risiko tersetrum listrik,” kata Asmahan Al-Arair, ibu dari Muataz. “Anak-anak takut menyentuh pintu. Mereka terus menangis hingga seseorang datang dan membuka pintu bagi mereka. Kami pergi ke tempat tidur dengan mengkhawatirkan banjir dan kebakaran.”

Salah satu anak Asmahan memiliki bayi berusia sembilan bulan. “Bahkan mengganti popok menjadi tantangan ketika itu benar-benar dingin dan kami tidak memiliki air panas,” katanya.

Keluarga takut saat di musim panas. Kondisi di dalam peti kemas bisa sangat panas, sehingga penghuninya hanya dapat menggunakannya selama beberapa jam sehari. Belum ada kemajuan pada pembangunan kembali rumah mereka.

“Saya tidak bisa menghitung berapa kali saya mulai memanggang roti dan harus membuangnya karena listrik mati,” kata Asmahan. “Mereka tidak bisa menjaga waktu jadwal listrik. Dan kami tidak mampu memiliki sistem alternatif.”

Mahasiswi Gaza, Aya Nashwan (19) belajar dengan bantuan lampu LED. (Foto: Ylenia Gostoli/Al Jazeera)
Mahasiswi Gaza, Aya Nashwan (19) belajar dengan bantuan lampu LED. (Foto: Ylenia Gostoli/Al Jazeera)

Amany Sadeq (28) perawat di Khan Younis

Di Rumah Sakit Nasser di Khan Younis, perawat di unit perawatan intensif neonatal, yang mengkhususkan diri dalam perawatan bayi prematur, bekerja dengan keadaan selalu waspada.

“Bayi-bayi perlu inkubator untuk hidup. Hal yang paling penting adalah ventilator. Ketika listrik diputus, itu berbahaya. Ini perlu terus menerus,” perawat Amany Sadeq (28) mengatakan kepada Al Jazeera.

Bayi membutuhkan inkubator untuk hidup. Ketika listrik padam, itu berbahaya.

“Ketika ventilator turun, kita harus memberikan oksigen manual untuk bayi sampai listrik kembali (menyala),” kata Amany Sadeq. “Dua bulan yang lalu, kami harus terus memompa oksigen kepada bayi selama dua jam, karena rumah sakit benar-benar lumpuh dan mereka mencoba untuk menyambung kabel listrik dari pemerintah kota. Suhu inkubator juga penting dan harus stabil.”

Meskipun belum ada kasus kematian di sini akibat pemadaman listrik, unit neonatal, yang biasanya merawat enam hingga 10 bayi pada satu waktu, adalah salah satu yang paling terpengaruh oleh krisis listrik ini.

Menurut manajer perawat klinis departemen bersalin ini, rumah sakit memiliki tiga generator, tapi mereka sering perlu memperbaikinya dan tidak bisa selalu diandalkan, terutama ketika bahan bakar langka di Gaza.

“Pemecahan krisis listrik di Gaza bukan hanya tentang menjaga lampu agar menyala, ini juga tentang menyelamatkan nyawa,” kata Tony Laurance, CEO dari Medical Aid for Palestinians. “Fluktuasi biasa tenaga suplai ketika rumah sakit secara teratur beralih dari induk kepada generator listrik cadangan yang sensitif, menyebabkan penundaan bagi pengobatan dan menempatkan pasien pada kondisi berisiko.”

Meskipun ada perbaikan dalam penyediaan pasokan energi kepada rumah sakit dalam dua tahun terakhir, baik melalui generator surya atau cadangan, tapi masalah tetap bertahan seperti itu.

Sameeh Akila (65) sopir taksi pensiunan, Gaza City

Sameeh Akila tinggal di lantai lima sebuah gedung bertingkat tinggi di Tel Al-Hawa, sebuah lingkungan di selatan Gaza City. Ia mantan sopir taksi yang sebelumnya bebas berpergian di seluruh kota. Sekarang ia bergantung pada ada atau tidaknya listrik untuk pulang dan pergi dari rumahnya. Hidupnya mengikuti irama jadwal energi listrik.

“Ada persis 105 tangga (naik ke lantai lima). Saya memiliki masalah lutut, sehingga sebagian besar waktu saya menghindari berjalan ketika tidak ada listrik atau lift yang turun,” katanya.

Sameeh mengaku sering pergi ke masjid setempat untuk salat, kemudian tinggal di luar sampai listrik menyala kembali. Selama di luar rumah, ia menghabiskan waktu di supermarket lokal dan berbicara dengan tetangga, biasanya dari jam 11 siang sampai jam delapan malam waktu Gaza.

Di Gaza, kegiatan rutinitas sehari-hari warga diatur oleh jadwal listrik. Beberapa keluarga menggunakan sistem pendukung di rumahnya, tetapi biasanya itu tidak cukup kuat untuk mengoperasikan beban berat, sehingga orang buru-buru untuk melakukan kebutuhan utama seperti mencuci baju, membuat kue, pengisian baterai peralatan sebelum listrik padam lagi.

Sidqi Shaheen (36) petani di Khan Younis

Sidqi Shaheen seharusnya pergi ke peternakannya pada pagi hari, setelah itu harus mengairi sawah. Itu adalah rutinitas sehari-hari yang normal.

“Tapi tidak di sini,” kata Sidqi Shaheen.

Lahan pertanian Shaheen terletak di zona penyangga 300 meter antara Gaza dan wilayah yang diduduki Israel. Petani biasanya diperbolehkan untuk mengakses ladang mereka hingga 100 m dari pagar pembatas. Namun, para petani sering mengeluh ditembak oleh pasukan Israel yang ditempatkan di sisi lain perbatasan.

“Beberapa kali, saya harus pergi ke ladang di malam hari menghidupkan pompa air untuk irigasi lewat jam 10 malam ketika listrik kembali menyala, dan tentu saja itu berbahaya,” kata Shaheen. “Kadang-kadang kami hanya mendapatkan tiga jam listrik sepanjang hari. Perusahaan tidak memiliki jadwal tetap. Jika mereka punya, saya bisa mengatur pekerjaan saya.”

Awal tahun ini, tentara Israel menyemprot ladang Shaheen dengan herbisida, berdalih untuk “mengaktifkan operasi keamanan” di dekat pagar perbatasan. Akibatnya, Shaheen kehilangan semua hasil panennya, serta kesempatan untuk membayar utangnya.

“Sebagian besar petani mengairi lahan pertaniannya dengan air yang dipompa dari akuifer. Mesin beroperasi dengan listrik,” kata Mohammed Bakri, Direktur Persatuan Komite Kerja Pertanian Gaza.

Kini banyak petani yang beralih menggunakan mesin baru yang menggunakan bahan bakar untuk sistem irigasi ladang mereka, tapi bahan bakar tidak selalu ada sepanjang waktu dan itu mahal.

“Ini akan meningkatkan biaya produksi dan berarti petani kehilangan setidaknya 30 persen dari pendapatan mereka,” kata Shaheen.

Aya Nashwan (19) mahasiswa sastra Inggris, Gaza City

Aya Nashwan berusia 10 tahun ketika Hamas menguasai Gaza dan Israel memberlakukan blokade, mengendalikan dan sangat membatasi pergerakan orang dan barang yang masuk dan keluar dari daerah kantong pantai itu.

Dia tumbuh ketika Israel menjatah semua kebutuhan dasar manusia warga Palestina di Gaza, bahkan menghitung kalori rata-rata setiap orang untuk menghindari kelaparan.

“Saya tidak ingat kapan terakhir kali saya melihat listrik di sepanjang hari di Gaza,” katanya.

Seperti kebanyakan dari teman-temannya, dia tidak pernah ke luar negeri. Harapannya meninggalkan Gaza, membimbingnya untuk mendaftar di jurusan sastra sebuah universitas di Inggris. Ia bercita-cita jadi seorang penulis. Dia juga bergabung dengan grup penulis.

Nashwan mengatakan bahwa mahasiswa di Gaza sering membentuk kelompok belajar mengikuti jadwal pemadaman listrik. Jatah listrik bervariasi menurut wilayah. Mereka menghindari belajar dengan senter atau intensitas rendah seperti lampu LED, yang menyebabkan sakit kepala.

“Sekali, beberapa minggu yang lalu, saya sangat marah,” katanya. “Saya punya jadwal presentasi sehari berikutnya, dan kembali ke rumah untuk menyiapkan. Saya menunggu sepanjang hari listrik menyala kembali, tapi itu tidak terjadi.” (P001/P2)

Sumber: Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)