Greenpeace : Indonesia Penyumbang Sampah Plastik Nomor Dua Terbesar di Dunia

(Foto: UMY)
(Foto: )

Yogyakarta, 23 Jumadil Awwal 1437/2 Maret 2016 (MINA) – Ketua Greenpeace , Longgena Ginting, mengatakan, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik nomor dua di dunia sesudah Cina.

Hal ini terjadi karena kurang pedulinya masyarakat Indonesia pada  dampak yang akan ditimbulkan oleh pembuangan sampah plastik untuk lingkungan di masa depan.

“Rusaknya lingkungan dan perubahan iklim di dunia menjadi masalah terbesar yang dihadapi umat manusia saat ini. Puncak degradasi bumi adalah akibat hubungan tidak harmonis antara manusia dengan alam, pola produksi, konsumsi, dan produksi limbah tidak berkelanjutan,” kata Ginting dalam seminar nasional tentang Environment yang diadakan Universitas Muhammadiyah Yohyakarta (UMY). Demikian laman UMY yang dikutip Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Rabu.

Dalam kesempatan itu, pimpinan Greenpeace Indonesia  juga mengatakan, pemanfaatan energi terbaru saat ini seharusnya sudah menjadi perhatian pemerintah.

“Tidak hanya mental, pemerintah harus turut pula dalam melakukan revolusi energi dan juga kepada masyarakat. Produksi tambang batu bara di Indonesia tinggi, padahal batu bara merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan memiliki dampak yang cukup besar terhadap ekosistem dan juga lingkungan,” kata Longgena Ginting.

Selanjutnya dipaparkan, Indonesia adalah penghasil gas rumah kaca utama di dunia  akibat kerusakan hutan dan  Indonesia paling rentan terhadap perubahan iklim. “Hutan hujan tropis dibabat menjadi monokultur untuk komoditas ekspor, dan Indonesia mengimpor pangan dari negara lain, kita mengalami krisis energi dan energi terbarukan,” ungkap Longgena.

Menurutnya, berbagai cara dapat dilakukan untuk revolusi energi dalam hal melakukan energi terbaru, di antaranya mempertahankan tanah, hutan, dan keanekaragaman hayati dengan pemanfaatan berkelanjutan dalam prioritas menghasilkan pangan.

“Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat Indonesia mendorong kedaulatan pangan dan energi dengan prinsip pertanian ekologis dan didasarkan kebutuhan masyarakat lokal serta ekonomi nasional. Kita harus menggantikan model pembangunan yang tidak berkelanjutan dan memarginalkan masyarakat adat dan lokal, sebagai salah satu dari penyebab utama perubahan iklim,” tambahnya.

Terlepas dari revolusi energi, dibutuhkan pula Eco-literacy bagi masyarakat, hal ini bermanfaat dalam komponen pendidikan lingkungan bagi masyarakat. Tujuan dari ekoliterasi tersebut yaitu untuk memperlambat perubahan lingkungan dan konsekuensinya secara keilmuan, psikologis dan sosial yang dapat ditentukan. Selain itu membentuk masyarakat yang sadar lingkungan dan dapat memecahkan masalah lingkungan.

Dengan memahami konsep ekoliterasi diharapkan masyarakat dapat sadar bahwa alam di planet bumi ini merupakan hal yang harus dilestarikan dengan segala sifatnya yang kompleks, serta membentuk komunitas yang berkelanjutan yang menghargai nilai-nilai intrinsik alam semesta.

“Masyarakat harus memiliki strategi dalam memiliki pola pandang baru atas realitas kehidupan bersama di planet bumi dan melakukan pembaruan-pembaruan yang diperlukan,” tutur Dr. Rahmawati Husein, selaku dosen UMY. (T/ima/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.