Ragu-ragu? Mundur atau tinggalkanlah. Setidaknya itu menjadi pedoman bagi kita untuk bersikap atas sesuatu yang meragukan kita. Islam juga mengajarkan demikian dalam sebuah hadits Arbain ke-11.
Berikut hadits arbain ke-11 yang menjelaskan tentang keragu-raguan itu.
عَنْ أَبِي مُحَمَّدٍ الحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ سِبْطِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرَيْحَانَتِهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: حَفِظْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ
Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”
Dari Abu Muhammad Hasan bin Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhuma, cucu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan kesayangan beliau. Ia berkata, “Aku hafal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: Tinggalkan apa yang meragukanmu dan kerjakan apa yang tidak meragukanmu.” . (HR. Tirmidzi dan An Nasa’i, dan Tirmidzi mengatakan: hadits hasan shahih)
Hadits ini merupakan riwayat dari Hasan bin Ali bin Abu Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Beliau adalah cucu (سبط) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sibth merupakan istilah untuk cucu dari garis keturunan perempuan, yakni Fatimah radhiyallahu ‘anha. Dalam bahasa Arab, ada pula istilah hafiid (حفيد) untuk menunjukkan cucu dari garis keturunan laki-laki.
Raihaanah (ريحانة) artinya adalah wewangian atau parfum. Dalam konteks hadits ini, yang paling tepat adalah kesayangan. Hasan merupakan cucu kesayangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Da’ (دع) artinya adalah tinggalkan. Jangan lakukan.
Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam
Yariibuk (يريبك) artinya adalah yang meragukan. Yakni sesuatu yang meragukan, sama-samar, tidak jelas, termasuk hal-hal yang tidak halal, hal-hal haram yang pasti membuat ragu-ragu jika diambil atau dilakukan.
Hadits 11 ini pendek tetapi maknanya sangat dalam dan mengandung pelajaran yang begitu luas. Para ulama mengistilahkan dengan jawami’ul kalim (جوامع الكلم) yakni kalimat yang singkat dan padat.
Sering kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasihat singkat, jawami’ul kalim. Selain hadits ini, misalnya ketika Abu Darda’ dan sahabat lain minta nasehat, beliau menjawab dengan singkat: laa taghdhab (لا تغضب) yang artinya jangan marah.
Meskipun singkat, hadits ini melahirkan penjelasan berjilid-jilid. Sebab maknanya sangat dalam dan kandungannya sangat luas. Dari hadits ini juga lahir kaidah fiqih.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal
Kandungan Hadits dan Pelajaran Penting
Hadits Arbain Nawawi 11 memiliki kandungan yang luas dan banyak pelajaran penting. Terutama tentang tarkusy syubuhat (ترك الشبهات), meninggalkan syubhat.
“Ini kaidah yang sangat penting dan dasar dari sikap wara’ yang merupakan poros dari ketaqwaan, penyelamat dari keraguan dan ketidakjelasan yang menghalangi cahaya keyakinan,” kata Ibnu Hajar Al Haitsami rahimahullah.
Lima poin utama kandungan hadits Arbain Nawawi ke-11:
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
- Meninggalkan Syubhat
Ini adalah kandungan utama hadits tersebut. Rasulullah menganjurkan untuk meninggalkan yang meragukan. Hal utama yang meragukan adalah syubhat. Sebab syubhat, hal-hal yang samar dan tidak jelas, membuat orang ragu-ragu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam sebuah hadits yang juga ada dalam Arbain Nawawi. Imam Nawawi memasukkannya sebagai hadits keenam:
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِى الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِى الْحَرَامِ
“Sesungguhnya yang halal itu jelas, sebagaimana yang haram pun jelas. Di antara keduanya terdapat perkara syubhat -yang masih samar- yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang. Barangsiapa yang menghindarkan diri dari perkara syubhat, maka ia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Barangsiapa yang terjerumus dalam perkara syubhat, maka ia bisa terjatuh pada perkara haram.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Syubhat ini bisa berupa makanan, bisa pula berupa perbuatan. Ada makanan yang jelas halal, baik secara dzat maupun dari cara memperolehnya. Ada pula yang jelas haram. Namun di antaranya ada yang syubhat. Yang syubhat tentu meragukan, maka tinggalkanlah.
Demikian pula perbuatan atau pekerjaan. Ada yang jelas halal, ada yang jelas haram. Di antara keduanya ada yang syubhat. Yang syubhat tentu meragukan, maka tinggalkanlah.
Sungguh telah ada teladan terbaik dari para sahabat Nabi dan tabi’in tentang meninggalkan syubhat. Abu Dzar al Ghifari radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Kesempurnaan taqwa adalah meninggalkan beberapa hal yang halal karena takut hal itu haram.”
Ibrahim bin Adham tidak mau minum air zamzam karena timba yang saat itu digunakan adalah timba milik penguasa. Yazid bin Zurai’ tidak mau mengambil warisan ayahnya karena sang ayah adalah pegawai pemerintah. Khawatir ada harta negara yang terbawa.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
- Diawali dengan Meninggalkan yang Haram
Untuk bisa mencapai derajat meninggalkan yang syubhat, seorang muslim harus meninggalkan yang haram terlebih dahulu. Jika ia bisa meninggalkan yang haram, ia akan bisa meninggalkan yang syubhat. Namun jika tidak bisa meninggalkan yang haram, tidak mungkin ia bisa meninggalkan yang syubhat. Sebab keduanya bagaikan anak tangga. Meninggalkan syubhat adalah level berikutnya setelah meninggalkan yang haram.
“Orang yang meninggalkan syubhat adalah orang yang telah istiqamah melaksanakan yang halal dan meninggalkan semua yang haram. Takkan bisa meninggalkan syubhat kecuali orang yang telah meninggalkan yang haram,” terang Syaikh Mushtafa Dieb Al Bugha dan Syaikh Muhyiddin Mistu dalam Al Wafi.
Saat penduduk Irak bertanya tentang hukum darah nyamuk, Ibnu Umar menjawab, “Kalian bertanya tentang darah nyamuk, padahal kalian telah membunuh Husein!”
Ibnu Umar tidak meremehkan fiqih, tetapi beliau paham fiqih awlawiyat (fiqih prioritas). Bagaimana mungkin mereka bertanya tentang sesuatu yang kecil, sementara mereka tidak meninggalkan dosa besar.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
- Syubhat Ditinggalkan, Hati pun Tenang
Jika ingin hidup tentang dan damai, tinggalkanlah syubhat dan hal-hal yang meragukan. Kerjakan hal-hal yang engkau yakini, hal-hal yang tidak meragukan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkan apa yang meragukanmu dan kerjakan apa yang tidak meragukanmu. Karena sesungguhnya kejujuran mendatangkan ketenangan dan sesungguhnya kebohongan mendatangkan kegelisahan.” (HR. Tirmidzi)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Dalam hadits ini, Rasulullah mengisyaratkan bahwa kejujuran adalah hal yang tidak meragukan. Dan ia mendatangkan ketenangan hati. Sebaliknya, kebohongan adalah hal yang meragukan dan membuat hati gelisah.
Maka jujurlah kapan pun, di mana pun sebagai apa pun. Suami yang jujur kepada istrinya, hatinya tenang. Demikian pula istri yang jujur kepada suaminya, hatinya juga tenang.
Anak yang jujur kepada orang tuanya, hatinya tenang. Demikian pula ornag tua yang jujur kepada anaknya, hatinya juga tenang.
Bawahan yang jujur kepada atasan, hatinya tenang. Demikian pula atasan yang jujur kepada bawahan, hatinya juga tenang. Pun pemimpin yang jujur kepada rakyatnya, hatinya juga tenang.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
“Sesuatu yang halal, kebenaran dan kejujuran akan melahirkan kedamaian dan keridhaan,” demikian tertulis dalam Al Wafi. “Sedangkan sesuatu yang haram, kebatilan dan dusta akan melahirkan gundah dan kebencian.”
- Keyakinan Tak Bisa Dikalahkan Keraguan
Dari hadits Arbain Nawawi 11 ini, lahir kaidah fiqih:
اليَقِيْنُ لَا يَزُوْلُ بِالَّشكِّ
“Keyakinan tak bisa dikalahkan keraguan.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Pernah seseorang bertanya kepada Rasulullah, bagaimana seseorang yang merasakan sesuatu saat shalat. Ia ragu-ragu apakah ia buang angin hingga shalatnya batal atau tidak. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا
“Jangan hiraukan hingga ia mendengar suara buang angin atau mendapati baunya.” (HR. Bukhari)
Ini berlaku pada banyak hal. Misalnya seseorang yang telah berwudhu lalu ia ragu apakah sudah buang angin atau belum. Maka hukumnya ia suci sebab itu yang yakin. Sedangkan batal atau tidak, itu meragukan. Sehingga tidak perlu wudhu lagi.
Contoh lain, seseorang yang shalat Dzuhur. Di tengah-tengah shalat ia ragu apakah ia sedang berada pada rakaat ketiga atau keempat. Maka yang yakin pasti adalah rakaat ketiga. Karenanya ia menambah satu rakaat lagi kemudian sujud sahwi sebelum salam. Jika shalatnya benar empat rakaat, maka sujud sahwi itu menjadi penyempurna. Jika shalatnya ternyata lima rakaat, maka yang satu rakaat menjadi tambahan pahala baginya.
- Jangan Jadi Peragu
Islam mengajarkan umatnya agar jangan menjadi meragu. Maka kerjakan hal-hal yang diyakini. Yakni kebenaran, sesuatu yang halal, yang jelas dan jujur.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surat Ali Imran ayat 60:
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلَا تَكُنْ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Perkara yang benar adalah yang datang dari Tuhan-mu. Maka jangan sekali-kali engkau menjadi dari orang-orang yang ragu-ragu.” (QS. Ali Imran: 60)
Ketika menjelaskan hadits ini, Syaikh Mushtafa Dieb Al Bugha dan Syaikh Muhyiddin Mistu menjelaskan, hadits ini merupakan isyarat agar kita menerapkan hukum dan menjalankan semua permasalahan dalam kehidupan atas dasar keyakinan dan bukan keragu-raguan.
Maka para pemimpin dan pengambil kejibakan, mulai dari kepala keluarga, kepala daerah hingga kepala negara, jangan menjadi peragu dan jangan melakukan hal yang meragukan. []
Mi’raj News Agency (MINA)