Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA
Dalam Islam, tidak semua amalan bisa diterima oleh Allah Ta’ala. Amalan seperti apakah yang tidak diterima oleh Allah? Amalan yang tidak diterima adalah amalan yang tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat alias amalan bid’ah.
Bid’ah berasal dari kata kerja bada’a yang maknanya: menciptakan (sesuatu) tanpa ada contoh sebelumnya. Pemakaian kata tersebut di antaranya ada pada firman Allah,
بَدِيعُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ
“(Dialah Allah) Pencipta langit dan bumi.” (Qs. Al-Baqarah: 117). Yakni menciptakannya tanpa ada contoh sebelumnya.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Juga dalam firman Allah yang lain,
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعًا مِّنَ ٱلرُّسُلِ
“Katakanlah (hai Muhammad), “Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul.” (Qs. Al-Ahqaf: 9).
Maksud ayat ini: Aku bukan orang pertama yang membawa risalah dari Allah kepada hamba-hamba-Nya, tapi telah banyak para rasul yang mendahului saya.
Dari makna bahasa seperi itulah pengertian bid’ah diambil oleh para ulama. Jadi, membuat cara-cara baru dengan tujuan agar orang lain mengikutinya disebut bid’ah. Suatu pekerjaan yang sebelumnya belum pernah dikerjakan orang juga disebut bid’ah.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Dari pengertian tersebut, suatu amalan yang dilakukan tanpa adanya dalil syar’i disebut bid’ah. Pemakaian kata bid’ah di sini lebih khusus daripada makna asalnya secara bahasa. Jadi, makna bid’ah bisa kita definisikan: Suatu cara baru dalam agama, yang menandingi syari’at, di mana tujuan dibuatnya adalah untuk membuat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah
Karena itu, setiap amalan yang diada-adakan dalam agama ini, pasti akan tertolak. Seperti disebut dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut,
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد ” رواه البخاري ومسلم , وفي رواية لمسلم ” من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Siapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak.”
(Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim, “Siapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak.” (Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718).
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Penjelasan hadits
Kata “Raddun” menurut ahli bahasa maksudnya tertolak atau tidak sah. Kalimat “bukan dari urusan kami” maksudnya bukan dari hukum kami.
Hadits ini merupakan salah satu pedoman penting dalam agama Islam yang merupakan kalimat pendek namun penuh arti yang dikaruniakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid’ah dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai dasar kaidah bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang merusak.
Pada riwayat imam muslim diatas disebutkan, “Siapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak” dengan jelas menyatakan keharusan meninggalkan setiap perkara bid’ah, baik ia ciptakan sendiri atau hanya mengikuti orang sebelumnya. Sebagian orang yang ingkar (ahli bid’ah) menjadikan hadits ini sebagai alasan bila ia melakukan suatu perbuatan bid’ah, dia akan mengatakan, “Bukan saya yang menciptakannya” maka pendapat tersebut terbantah oleh hadits di atas.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Hadits ini patut dihafal, disebarluaskan, dan digunakan sebagai bantahan terhadap kaum yang ingkar karena isinya mencakup semua hal. Adapun hal-hal yang tidak merupakan pokok agama sehingga tidak diatur dalam sunnah, maka tidak tercakup dalam larangan ini, seperti menulis Al-Qur’an dalam Mushaf dan pembukuan pendapat para ahli fiqih yang bertaraf mujtahid yang menerangkan permasalahan-permasalahan furu’ dari pokoknya, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Tercelanya bid’ah
Tidak diragukan lagi, orang yang berakal akan mengakui betapa tercelanya perbuatan bid’ah. Hal itu karena orang yang melakukan bid’ah berarti telah keluar dari jalan yang lurus dan terjerumus ke dalam lembah kesesatan.
Bid’ah itu tercela, baik ditinjau secara akal (dalil aqli) maupun secara syar’i (dalil naqli). Menurut akal, tercelanya bid’ah bisa ditinjau dari beberapa sisi antara lain sebagai berikut.
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Pertama, sudah dimaklumi, menurut pengalaman, seseorang tidak mampu bila hanya mengandalkan akalnya dalam mencari kemaslahatan atau menghindari mudharat, baik maslahat dan mafsadat yang menyangkut urusan duniawi maupun ukhrawi.
Demikian juga mengarang kitab-kitab nahwu, ilmu hitung, faraid dan sebagainya yang semuanya bersandar kepada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan perintahnya. Kesemua usaha ini tidak termasuk dalam ancaman hadits di atas.
Dalam urusan yang bersifat duniawi, dengan akal semata seseorang tidak bisa mengetahui (mana yang akan membawa maslahat dan mana yang akan menimbulkan mudharat), baik di awal kemunculan perkara tersebut maupun di saat sedang berlangsung, baik di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Karena untuk menangani urusan-urusan tersebut pada kodratnya harus dengan pengajaran dari Allah
Kedua, syari’at ini datang dalam keadaan sempurna yang tidak mungkin lagi ditambah ataupun dikurangi, karena Allah Ta’ala telah berfirman,
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
ٱلْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِى وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلْإِسْلَٰمَ دِينًا ۚ فَمَنِ ٱضْطُرَّ فِى مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku kepada kalian, dan Kuridhai Islam sebagai agama kalian.” (Qs. Al-Maidah: 3).
Dalam hadits Al-‘Irbadh bin Sariyah, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah suatu ketika menyampaikan kepada kami sebuah nasihat yang membuat air mata berlinang dan hati bergetar. Kami berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh ini adalah nasihat seorang yang akan berpisah, maka apakah yang hendak engkau wasiatkan kepada kami?” Beliau berkata, “Aku tinggalkan kalian di atas jalan yang terang, yang malamnya bagaikan siang; dan seseorang yang menyimpang dari jalan tersebut setelah (aku meninggal nanti) pasti akan binasa. Siapa di antara kalian mengalami hidup lama setelah (aku meninggal) maka dia akan melihat banyak perselisihan. Maka, setelah aku meninggal nanti, hendaklah kalian berpegang teguh dengan Sunnah-ku dan Sunnah al-khulafa’ ar-rasyidin.” (Hadits di atas shahih; diriwayatkan oleh Abu Dawud (hadits no. 4607), At-Tirmidzi (hadits no. 2676), Ibnu Majah (hadits no. 42, 43, dan 44).
Ibnul Majisyun berkata, “Aku mendengar Imam Malik mengatakan: ‘Barang siapa membuat perkara bid’ah dalam Islam yang dianggapnya baik, berarti dia telah mengatakan bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak amanah dalam menyampaikan risalah. Hal itu karena Allah telah berfirman yang artinya,
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian.”
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Jadi, segala perkara yang pada saat itu tidak menjadi bagian dari agama, maka tidak akan menjadi bagian dari agama pula sekarang.”
Ketiga. Pelaku bid’ah menentang dan menyelisihi syari’at. Padahal, dalam syari’at tersebut Allah telah menetapkan jalan- jalan atau cara-cara tertentu yang dibutuhkan oleh manusia, dan memberi batasan terhadap jalan-jalan atau cara-cara tersebut dengan perintah, larangan, janji dan ancaman, serta mengabarkan bahwa semua kebaikan akan terwujud bila mematuhi batasan-batasan tersebut dan kejelekan akan timbul bila batasan- batasan tersebut dilanggarnya. Karena, Allah Maha Mengetahui, sementara kita sama sekali tidak mengetahui (apa yang terbaik untuk umat manusia).
Di samping itu, kita tahu, Allah mengutus Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam. Dari situ bisa kita simpulkan bahwa dengan perbuatan bid’ahnya, seorang pelaku bid’ah menolak hal-hal di atas.
Dia menganggap bahwa masih ada jalan-jalan atau cara-cara lain (yang perlu ditambahkan ke dalam syari’at); tidak terbatas pada apa yang telah ditetapkan oleh Allah. Seolah-olah (dia mengatakan bahwa) Allah mengetahui dan kita pun mengetahui.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
Keempat. Pelaku bid’ah menempatkan dirinya sebagai pesaing Allah Sang Pembuat Syari’at. Allah telah membuat syari’at dan mengharuskan manusia berjalan di atas ketentuan-ketentuan yang telah Dia buat itu. Dia sajalah yang berwenang terhadap hal itu; dan Dialah yang menjadi Hakim ketika manusia berselisih dalam suatu perkara kehidupannya. Karena, kalau pembuatan syari’at itu bisa dilakukan oleh manusia sendiri, tidak ada perlunya Allah menurunkan syari’at dan tidak perlu ada rasul yang diutus.
Jadi, orang yang membuat bid’ah telah menyamai dan menandingi Allah, karena dia telah ikut serta dalam membuat syari’at. Dengan tindakannya itu berarti dia telah membuka pintu perselisihan di kalangan manusia dan tidak mengakui hak prerogratif Allah sebagai satu-satunya pembuat syari’at.
Kelima. Pelaku bid’ah hanyalah mengikuti hawa nafsu. Jika akal dan pikiran manusia tidak mengikuti syari’at, maka dia pasti akan mengikuti hawa nafsunya; tidak ada pilihan lain. Kita tahu apa akibat yang akan didapat oleh seseorang bila mengikuti hawa nafsu; dan kita juga tentu tahu bahwa hal itu merupakan langkah yang sesat.
Allah berfirman yang artinya, “Hai Dawud, sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (terhadap perkara yang muncul) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Qs. Shad: 26). Dalam ayat di atas, Allah menetapkan adanya dua hal saja; tidak ada yang ketiganya, yaitu: kebenaran atau hawa nafsu.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Demikian di antara dalil aqli tercelanya bid’ah. Semoga Allah Ta’ala senantiasa membimbing setiap langkah seorang muslim untuk menjauhi segala bentuk bid’ah, Wallahu a’lam. (A/RS3/RS2)
(Sumber: Hadits Arbain An-Nawawi. Penerbit: Darul Haq)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam