Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

HAJI ANTARA IBADAH RITUAL DAN IBADAH SOSIAL

Rana Setiawan - Rabu, 26 Agustus 2015 - 23:46 WIB

Rabu, 26 Agustus 2015 - 23:46 WIB

742 Views

Imam Syamsi Ali. (Foto: Arsip)
Imam Syamsi Ali. (Foto: Arsip)

Imam Syamsi Ali. (Foto: Arsip)

Oleh: Imam Shamsi Ali, Imam di Kota New York dan Presiden Nusantara Foundation*

Sekarang jutaan manusia sedang atau akan melakukan perjalanan menuju tanah haram, Makkah Al-Mukarramah. Dari sekitar dua juta manusia itu banyak di antaranya yang melakukan ini untuk kedua, ketiga, bahkan berkali-kali. Padahal kewajiban haji itu hanya sekali dalam hidup seorang Muslim.

Di satu sisi betapa banyak manusia di sekeliling kita yang merintih dalam kemiskinan dan kelaparan. Betapa banyak saudara-saudara kita yang terpaksa menjual kehormatan karena desakan hidup. Menyelamatkan mereka adalah kewajiban yang besar.

Pantaskah berhaji sunnah, di saat masih terlalu banyak saudara-saudara kita yang wajib ditolong? Mungkin cerita berikut bisa memberikan pencerahan. Semoga!

Baca Juga: Ternyata Aku Kuat

Riwayat ini diceritakan oleh seorang ulama, Abu Abdurrahman Abdullah bin al-Mubarak al-Hanzhali al Marwazi, ulama terkenal di Makkah.

Suatu ketika, setelah selesai menjalani salah satu ritual haji, ia beristirahat dan tertidur. Dalam tidurnya ia bermimpi melihat dua malaikat yang turun dari langit, ia mendengar percakapan mereka,

“Berapa banyak yang datang tahun ini?” tanya malaikat kepada malaikat lainnya.

“Tujuh ratus ribu,” jawab malaikat lainnya.

Baca Juga: Amalan Pengundang Rezki Berkah lagi Melimpah

“Berapa banyak mereka yang ibadah hajinya diterima?”

“Tidak satu pun”

Percakapan ini membuat Abdullah gemetar, “Apa?” ia menangis dalam mimpinya.

“Semua orang-orang ini telah datang dari belahan bumi yang jauh, dengan kesulitan yang besar dan keletihan di sepanjang perjalanan, berkelana menyusuri padang pasir yang luas, dan semua usaha mereka menjadi sia-sia?”

Baca Juga: Mendidik dengan Kasih Sayang

Sambil gemetar, ia melanjutkan mendengar cerita kedua malaikat itu.

“Namun ada seseorang, yang meskipun tidak datang menunaikan ibadah haji, tetapi ibadah hajinya diterima dan seluruh dosanya telah diampuni. Berkat dia seluruh haji mereka diterima oleh Allah.”

“Kok bisa”

“Itu Kehendak Allah.”

Baca Juga: Tadabur Surah Al-Baqarah 168, Makanan Halal dan Thayyib Kunci Kesehatan

“Siapa orang tersebut?”

“Sa’id bin Muhafah, tukang sol sepatu di Kota Damsyiq (damaskus sekarang)”

Mendengar ucapan tersebut, ulama itu langsung terbangun. Sepulang haji, ia tidak langsung pulang ke rumah, tapi langsung menuju Kota Damaskus, Suriah.

Sampai di sana ia langsung mencari tukang sol sepatu yang disebut Malaikat dalam mimpinya. Hampir semua tukang sol sepatu ditanya, apa memang ada tukang sol sepatu yang namanya Sa’id bin Muhafah.

Baca Juga: Menggali Makna Tauhid, Fondasi Keimanan Sejati

“Ada, di tepi kota,” jawab salah seorang tukang sol sepatu sambil menunjukkan arahnya. Sesampai di sana ulama itu menemukan tukang sepatu yang berpakaian lusuh.

“Benarkah Anda bernama Sa’id bin Muhafah?” tanya Ulama itu.

“Betul, siapa tuan?”

“Aku Abdullah bin Mubarak.”

Baca Juga: Amalan yang Paling Banyak Membuat Masuk Surga

Said pun terharu, “Bapak adalah ulama terkenal, ada apa mendatangi saya?”

Sejenak Ulama itu kebingungan, dari mana ia memulai pertanyaanya, akhirnya ia pun menceritakan perihal mimpinya.

“Saya ingin tahu, adakah sesuatu yang telah anda perbuat, sehingga anda berhak mendapatkan pahala haji mabrur?”

“Wah saya sendiri tidak tahu!”

Baca Juga: Meraih Syafaat Melalui Shalawat

“Coba ceritakan bagaimana kehidupan anda selama ini.”

Maka Sa’id bin Muhafah bercerita, “Setiap tahun, setiap musim haji, aku selalu mendengar : Labbaika Allahumma labbaikaLabbaika la syarika laka labbaikaInnal hamdaWanni’mataLaka wal mulkaLaa syarika laka

Ya Allah, aku datang karena panggilan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu. Segala ni’mat dan puji adalah kepunyan-Mu dan kekuasaan-Mu. Tiada sekutu bagi-Mu.

Setiap kali aku mendengar itu, aku selalu menangis “Ya Allah aku rindu Makkah… Ya Allah aku rindu melihat kabah… Ijinkan aku datang… Ijinkan aku datang ya Allah…”

Baca Juga: Kekuatan Sabar dalam Menghadapi Ujian Hidup

Oleh karena itu, sejak puluhan tahun yang lalu setiap hari saya menyisihkan uang dari hasil kerja saya, sebagai tukang sol sepatu. Sedikit demi sedikit saya kumpulkan. Akhirnya pada tahun ini, saya punya 350 dirham, cukup untuk saya berhaji.

“Saya sudah siap berhaji”

“Tapi anda batal berangkat haji?”

“Benar”

Baca Juga: Lima Kelemahan Manusia di Dalam Al-Quran

“Apa yang terjadi?”

“Istri saya hamil, dan sering ngidam. Waktu saya hendak berangkat saat itu dia ngidam berat”

“Suami ku, engkau mencium bau masakan yang nikmat ini?”

“Ya sayang”

Baca Juga: Komunisme, Ancaman bagi Peradaban

“Cobalah kau cari, siapa yang masak sehingga baunya nikmat begini. Mintalah sedikit untukku”

“Saya pun mencari sumber bau masakan itu, ternyata berasal dari gubug yang hampir runtuh. Di situ ada seorang janda dan enam anaknya”.

Saya bilang padanya bahwa istri saya ingin masakan yang ia masak, meskipun sedikit. Janda itu diam saja memandang saya, sehingga saya mengulangi perkataan saya.

Akhirnya dengan perlahan ia mengatakan, “Tidak boleh tuan”

“Dijual berapa pun akan saya beli,” kataku mantap.

“Makanan itu tidak dijual, tuan,” katanya sambil berlinang mata.

Akhirnya saya tanya kenapa?

Sambil menangis, janda itu berkata “Daging ini halal untuk kami dan haram untuk tuan,” katanya.

Dalam hati saya, “Bagaimana ada makanan yang halal untuk dia, tetapi haram untuk saya, padahal kita sama-sama Muslim? Karena itu saya mendesaknya lagi, “Kenapa?”

“Sudah beberapa hari ini kami tidak makan. Di rumah tidak ada makanan. Hari ini kami melihat Keledai mati, lalu kami ambil sebagian dagingnya untuk dimasak”

“Bagi kami daging ini adalah halal, karena andai kami tak memakannya kami akan mati kelaparan. Namun bagi Tuan, daging ini haram”.

Mendengar ucapan tersebut spontan saya menangis, lalu saya pulang.

Saya ceritakan kejadian itu pada istriku, dia pun menangis, kami akhirnya memasak makanan dan mendatangi rumah janda itu.

“Ini masakan untuk mu.”

Uang peruntukan Haji sebesar 350 dirham pun saya berikan pada mereka.

“Pakailah uang ini untukmu sekeluarga. Gunakan untuk usaha, agar engkau tidak kelaparan lagi”

Ya Allah… di sinilah Hajiku…
Ya Allah… di sinilah Makkahku…

Mendengar cerita tersebut Abdullah bin Mubarak tak bisa menahan air mata!

(R05/R03)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

** Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation & Direktur Jamaica Muslim Center, Queens-NYC, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur Kota  New York, Amerika Serikat yang dikelola komunitas muslim asal Asia Selatan. Beliau juga aktif dalam kegiatan dakwah Islam dan komunikasi antar-agama di Amerika Serikat terutama di kawasan pantai timur Amerika. 

Rekomendasi untuk Anda

MINA Health
Indonesia
Indonesia
Dunia Islam
Dunia Islam
Indonesia