Nairobi, MINA – Di tengah meningkatnya ancaman krisis plastik global, sebuah gerakan lintas iman menunjukkan bahwa tempat ibadah tak hanya berfungsi sebagai ruang spiritual, tetapi juga bisa menjadi panggung perubahan ekologi yang konkret.
Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025 yang mengangkat tema “Hentikan Polusi Plastik,” United Nations Environment Programme (UNEP) bersama Faith for Earth Coalition dan Interfaith Working Group on Pollution menggelar forum internasional bertajuk “Solusi Multi-Level oleh Agama untuk Mengakhiri Polusi Plastik Global” pada Selasa (3/6).
Forum tersebut mempertemukan pemimpin agama, ilmuwan lingkungan, dan pegiat komunitas dari berbagai belahan dunia untuk menggali peran nilai-nilai keimanan dalam menghadapi darurat plastik.
Salah satu pembicara utama, Dr. Hayu Prabowo, penggagas gerakan EcoMasjid di Indonesia, menyerukan agar rumah ibadah menjadi titik tolak revolusi gaya hidup umat yang lebih berkelanjutan.
Baca Juga: Forum Dakwah Perbatasan Salurkan 50 Ekor Hewan Kurban Ke Perbatasan Aceh dan Sumut
“Masjid, gereja, vihara, dan kuil memiliki kekuatan moral yang luar biasa untuk membentuk ulang kesadaran kolektif. Dari mimbar, kita bisa menggugah umat untuk mencintai bumi dan bertanggung jawab atas sampah yang mereka hasilkan,” ujar Hayu, yang juga Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan SDA MUI.
Data UNEP menyebut Indonesia sebagai negara penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia. Dari total 13,6 juta ton sampah per tahun, lebih dari 40% tidak terkelola dengan baik. Ironisnya, Indonesia justru masih mengimpor plastik bekas untuk kebutuhan industri, menandakan paradoks antara produksi dan pengelolaan.
Menurut Hayu, akar persoalan ini tidak semata teknis, melainkan juga menyangkut dimensi spiritual dan etika publik.
“Kita menghadapi krisis yang lebih dalam: krisis moral dan spiritual. Ketika sampah tak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama, maka kita butuh pendekatan iman untuk menggerakkan hati manusia,” tegasnya.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Rabu Ini Cerah Berawan Hingga Hujan Ringan
Sebagai bentuk aksi nyata, gerakan Sedekah Sampah Indonesia yang diinisiasi EcoMasjid mengajak umat untuk menyumbangkan sampah daur ulang bernilai ekonomis guna mendanai pembangunan masjid dan kegiatan sosial.
Di Masjid Raya Bintaro Jaya, skema ini berhasil mengumpulkan puluhan ton sampah tiap bulan, dan hasilnya digunakan untuk beasiswa serta penyediaan fasilitas ibadah.
Forum yang difasilitasi UNEP ini juga menghadirkan tokoh-tokoh inspiratif seperti Prof. Patricia Kameri Mbote (Direktur Divisi Hukum UNEP), Azmaira Alibhai dan Marit Van Den Wittenboer dari Faith for Earth Coalition, Emma Cooper dari Islamic Help UK, dan Zahra Ahmad dari Bahu Trust UK.
Mereka bersama-sama menekankan bahwa pendekatan religius dapat menjadi sarana efektif untuk mengubah pola konsumsi dan membangun solidaritas ekologis.
Baca Juga: Kualitas Udara Jakarta Memburuk, Warga Rentan Diimbau Tetap di Rumah
Salah satu tujuan utama forum ini adalah menyusun kontribusi komunitas agama dalam negosiasi INC-5.2, bagian penting dari perundingan perjanjian internasional tentang pengendalian plastik.
Selain itu, forum ini mendorong integrasi pesan lingkungan dalam praktik ibadah, edukasi tentang siklus hidup plastik, dan pembentukan jaringan global lintas agama untuk mengakhiri polusi plastik.
Polusi plastik tidak lagi hanya merusak ekosistem, tapi juga tubuh manusia. Riset terbaru menunjukkan rata-rata orang kini menelan sekitar 5 gram mikroplastik per pekan, setara dengan satu kartu kredit.
Partikel nano plastik bahkan telah ditemukan dapat menembus sawar darah-otak, memicu potensi gangguan hormonal hingga kanker.
Baca Juga: PBB: Merampas Makanan Warga Sipil di Gaza Termasuk Kejahatan Perang
Merespons ini, Hayu mengingatkan pentingnya fondasi keagamaan sebagai pijakan. Ia merujuk pada Fatwa MUI No. 47 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa membuang sampah sembarangan dan menyia-nyiakan sumber daya adalah tindakan haram.
“Merawat bumi adalah bagian dari ibadah. Pahalanya tidak terputus, karena menyentuh masa depan generasi,” pungkasnya.
Hari Lingkungan Hidup 2025 bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan momentum strategis untuk membangun kembali hubungan manusia dengan bumi.
Di tengah krisis iklim dan tumpukan plastik yang membanjiri daratan dan lautan, rumah ibadah tampil sebagai cahaya harapan, menyatukan iman, ilmu, dan aksi demi planet yang lebih layak huni.
Baca Juga: 50 Tahun Konsumen Tertipu, Restoran Legendaris Ini Diam-Diam Jual Makanan Non-Halal, DPR Geram!
Forum tersebut menjadi sinyal kuat bahwa jawaban atas krisis global tak selalu datang dari ruang konferensi elite, tapi juga dari suara yang bergema di ruang-ruang ibadah, doa, dan kepedulian lintas generasi.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Kualitas Udara Jakarta Hari Ini Tidak Sehat