Harmoni Bersama Tionghoa

Ilustrasi: perayaan .

 

Oleh Rudi Hendrik, jurnalis MINA

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَسۡخَرۡ قَوۡمٌ۬ مِّن قَوۡمٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُونُواْ خَيۡرً۬ا مِّنۡہُمۡ وَلَا نِسَآءٌ۬ مِّن نِّسَآءٍ عَسَىٰٓ أَن يَكُنَّ خَيۡرً۬ا مِّنۡہُنَّ‌ۖ وَلَا تَلۡمِزُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَلَا تَنَابَزُواْ بِٱلۡأَلۡقَـٰبِ‌ۖ بِئۡسَ ٱلِٱسۡمُ ٱلۡفُسُوقُ بَعۡدَ ٱلۡإِيمَـٰنِ‌ۚ وَمَن لَّمۡ يَتُبۡ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ

Artinya, “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Hujurat [49] ayat 11).

Kelompok kerapkali distigmakan dengan hal negatif, seperti pelit, kaya dengan cara culas, menindas pribumi, dan ekslusif dengan rumah-rumah berpagar tertutup. Padahal etnis Tionghoa merupakan bagian dari bangsa Indonesia dan sudah turun temurun hidup di negeri ini selama ratusan tahun.

Kebencian terhadap kelompok Tionghoa bisa dilacak hingga empat ratus tahun yang lalu. Dalam buku “Jakarta: Sejarah 400 Tahun” karya Susan Blackburn dituliskan, masyarakat Tionghoa sudah ada sebelum kedatangan Belanda. Relasi antara masyarakat Tionghoa dan penduduk setempat saat itu setara sebagai rekan pedagang. Ketika VOC masuk, kondisi berubah. Masyarakat Tionghoa dimanfaatkan VOC sebagai rekan bisnis dan mendapatkan perlakuan istimewa ketimbang kebanyakan masyarakat setempat.

Hubungan mesra antara masyarakat Tionghoa dan VOC tidak berlangsung lama. Pada Oktober 1740 seperti yang ditulis Blackburn, wilayah sekitar Batavia menjadi saksi pemberontakan petani Cina.

Kecurigaan dan paranoia orang Eropa serta pribumi membuat kondisi memburuk. Mereka secara spontan menyerang balik para Tionghoa ini. Tidak hanya membunuh mereka, juga menjarah dan membakar sekitar 6.000-7.000 rumah orang Tionghoa.

Adrian Volckanier, Gubenur Jenderal saat itu mengeluarkan surat perintah: bunuh dan bantai orang-orang Tionghoa. Sebanyak 500 orang Cina yang dipenjara di Balai Kota satu per satu dikeluarkan lalu dibunuh dengan keji. Selama sepekan, kota terbakar hebat dan kanal-kanal menjadi merah karena darah dan korban mencapai 10.000 orang. Peristiwa pembantaian orang-orang Cina di Batavia ini dikenal dengan nama Geger Pecinan.

Tapi Geger Pecinan bukan satu-satunya momen berdarah bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dalam buku “Tionghoa dalam Pusaran Politik” karya Benny G Setiono disebutkan, pembantaian etnis Tionghoa juga terjadi pada masa Perang Jawa (1825-1830).

September 1825, pasukan berkuda yang dipimpin putri Sultan Hamengku Buwono I, Raden Ayu Yudakusuma, menyerbu Ngawi, kota kecil di perbatasan Jawa Tengah-Jawa Timur yang terletak di tepi Bengawan Solo. Dalam perjalanan itu banyak orang Tionghoa yang dibunuh.

Menurut Hendri F. Isnaeni dalam artikel “Duka Warga Tionghoa” di majalah Historia, kebencian terhadap etnis Tionghoa sebenarnya merupakan konstruksi sosial yang dibuat oleh penguasa, baik Belanda maupun Jawa. Dalam sejarah, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran amuk massa, mulai peristiwa Chinezenmoord 1740 sampai Mei 1998.

Penelitian Amy Freedman dari Franklin and Marshall College, Amerika Serikat, menyebutkan bahwa kebencian terhadap etnis Tionghoa merupakan hasil dari politik pecah belah Soeharto. Dalam jurnal penelitian berjudul Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia, Freedman menyebut Soeharto memaksa masyarakat Tionghoa untuk melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka sebagai bukan pribumi.

Terlepas dari citra negatif yang melekat pada komunitas Tionghoa, pada faktanya, sejarah juga menunjukkan bahwa mereka hidup berdampingan dengan masyarakat lokal, hidup harmonis dengan etnis Jawa, Betawi, Melayu, Batak dan lainnya.

Keberadaan organisasi “Tiong Hwa Hoe Lie Hwee” atau Asosiasi Perempuan China Indonesia yang mengajarkan cara memasak untuk perempuan Yogyakarta, di tahun 1930-an, menunjukkan keharmonisan itu.

Bukan hanya kelas memasak yang diajarkan kepada ibu-ibu asli Jawa, tapi juga kelas mengasuh dan merawat bayi, kelas menjadi ibu rumah tangga yang teladan, menjahit, berpakaian yang anggun dan menarik ala Shang-hai.

Organisasi “Chie Mey Hui” atau Assosiasi Wanita China Indonesia di Bandung juga eksis dalam bidang  sosial dan pendidikan.

Bahkan hiburan opera wayang orang China Peking di Bandung menjadi salah satu hiburan rakyat.

Di saat sekarang mustahil menemukan seorang pedagang keliling dilakoni oleh seorang Tionghoa, di masa lalu, banyak etnis ini berdagang kelililng kampung dengan memikul dagangan dan berisiko tidak laku.

Sejarah pun mencatat lekat, kejayaan putra/putri Tionghoa dalam sejarah perbulutangkisan Indonesia. Ketika mereka bertanding mewakili Indonesia, bangsa ini tidak pernah melirik atau mempermasalahkan etnis mereka sejak lahir.

Terlebih, jika bicara ekonomi dan pembangunan di Indoneisa, maka para pengusaha Tionghoa tidak bisa diabaikan.

Pada faktanya, masyarakat Tionghoa pun adalah bagian dari tubuh Indonesia yang terkenal memiliki budaya kerukunan yang harmonis dengan berbagai etnis dan suku. Terlebih di dalam Islam pun sangat menjunjung tinggi perbedaan  dan toleransi antaragama.

Menjelang Tahun Baru Imlek ke-2569 pada tanggal 16 Februari 2018, semangat persaudaran sebangsa seharusnya kita berikan kepada saudara-saudara Tionghoa kita. Keharmonisan dalam hidup berwarganegara akan menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa majemuk yang tidak mudah diadu domba dengan isu-isu sentimen agama dan etnis.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,

وَإِنۡ أَحَدٌ۬ مِّنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ٱسۡتَجَارَكَ فَأَجِرۡهُ حَتَّىٰ يَسۡمَعَ كَلَـٰمَ ٱللَّهِ ثُمَّ أَبۡلِغۡهُ مَأۡمَنَهُ ۥ‌ۚ ذَٲلِكَ بِأَنَّہُمۡ قَوۡمٌ۬ لَّا يَعۡلَمُونَ

Artinya, “Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At-Taubah [9] ayat 6).

(A/RI-1/P1)

 

Mi’raj News Agency (MINA)