Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Helm dan Damai di Thailand Selatan

Rana Setiawan - Kamis, 16 Maret 2017 - 04:38 WIB

Kamis, 16 Maret 2017 - 04:38 WIB

462 Views

(Foto: Bangkok Post)

Yala-Thailand.jpg" alt="" width="620" height="413" /> (Foto: Bangkok Post)

 

Oleh : Gus Darmaji, Ketua Umum Aqsa Working Group (AWG)

Organ tubuh manusia paling populer adalah kepala. Apa saja yang dipakaikan di kepala bisa mencerminkan jati diri seseorang. Anda tidak bakal melihat seorang tentara menggunakan topi pemain biola. Atau dokter bedah memakai topi renang saat masuk ke ruang operasi meski motif, warna dan bahannya boleh serupa. Topi saja punya tertib ruang dan waktu apalagi dalam hal identitas, profesi atau jabatan pemakainya.

Para pengendara motor di Yala, Thailand Selatan, tidak harus memakai helm. Di Yala helm bukan sekedar urusan tertib lalu lintas atau keselamatan berkendaraan. Ia sudah masuk ranah sensitif yaitu keamanan teritorial bahkan kepentingan nasional. Kalau di akhir musim penghujan Anda berkeliling provinsi yang dikenal paling panas pada peta geopolitik Thailand maka sedikit sekali terlihat warganya yang memakai helm saat bersepeda motor.  Cobalah berdiri di depan Stasiun Kereta Api Yala, akan tampak dari sepuluh sepeda motor yang berhenti di lampu merahnya hanya satu, dua atau paling banyak tiga pengendara yang berhelm.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Ada ibu-ibu membonceng dua anak berseragam sekolah tanpa helm. Ada lelaki Melayu bersarung dan berbaju kokok tanpa helm namun berkopiah putih. Gadis berjilbab merah dengan wajah seperti memburu waktu tak berhelm. Seorang perempuan Thai berambut pendek dan bercelana pendek dengan tumpukan belanjaan di jok belakang dan beberapa ikat sayuran di bagian depan juga tanpa helm. Yang berhelm hanyalah seorang pria berjaket tak dikancingkan yang berselempang tas hitam di punggungnya. Semua tidak tampak khawatir diawasi polisi, meski juga jarang terlihat ada polisi di lampu-lampu merah.

Seseorang berbisik bahwa justru otoritas keamanan Thailand lebih senang melihat orang tak berhelm. Di pagi hari, petang hari apalagi saat malam semua bebas tanpa helm. Perempuan, remaja, orang tua dan terutama lelaki usia produktif bermotor tanpa helm dibiarkan melewati semua check point yang dijaga tentara bersenjata. Sejauh ini check point di Yala tampaknya tidak mungkin digantikan oleh CCTV, entah sampai kapan. Keberadaan check point bukan sekedar untuk memeriksa siapa dan apa yang ada di atas kendaraan. Lebih dari itu check point menjadi penanda wilayah itu betul-betul diawasi, dikendalikan, dipantau sepanjang waktu dan yang paling penting DIKUASAI. Kesan bahwa penguasa menggigit kawasan itu semakin terasa saat malam hari di sejumlah distrik yang diberlakukan jam malam dan penduduknya enggan keluar rumah sampai terbit matahari.

Yala masih diliputi ketegangan kawasan dan dalam dua tahun terakhir jumlah kejadian penyerangan terhadap tangsi militer atau check point terbilang tinggi. Kelompok-kelompok militan Muslim yang menyimpan mimpi merdekanya Thailand Selatan masih terus bekerja di bawah tanah. Mereka ada di hutan-hutan atau hidup di tengah warga masyarakat awam. Konon jumlahnya semakin meningkat dan demografi anggotanya bergeser ke usia belia.  Anak-anak muda yang gigih menyokong gerakan kemerdekaan Thailand Selatan tidak lagi dari kalangan santri semata melainkan dari keluarga middle class yang terpelajar, mapan ekonomi dan lulusan perguruan tinggi di luar negeri.

Penyerangan fasilitas militer atau polisi dilakukan dengan cepat dan efektif. Laksana nyamuk kebon yang senyap menyerang leher Anda, menancapkan jarum dan menghisap darah dalam hitungan detik lalu kabur di antara rasa sakit yang baru Anda sadari dan reflex tangan Anda menepuk pusat rasa sakit itu. Kendaraan yang diandalkan untuk misi hit and run semacam itu adalah sepeda motor. Meskipun selalu bersama senjata terhunus, tentara Siam sering gagap menghadapi gerilya anak-anak muda militan itu. Begitu misi tuntas mereka tancap gas menjauhi jarak tembak tanpa dikenali identitasnya karena memakai helm.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Inilah penjelasan warung kopi terhadap pembiaran orang bersepeda motor tanpa helm. Pihak keamanan Siam membiarkan orang tak berhelm agar dapat dibaca potensi datangnya bahaya. Sungguh ini early warning system paling murah di dunia. Meski tidak tertulis praktik ini berlangsung di semua tempat terutama yang menjadi langganan serangan cepat kilat dari pejuang kemerdekaan Yala.

Umat Islam di Thailand Selatan tersebar di kawasan Naratiwath, Patani, Satun, Songkla dan Yala. Meskipun masih menjadi minoritas bila dibandingkan dengan populasi total rakyat Thailand, mereka mendominasi kehidupan sosio-kultural di Thailand Selatan. Mereka masih memelihara budaya dan identitas sebagai Muslim dan ras melayu. Kurang lebih mirip dengan sentimen kultural Muslim di Selatan Filipina yang lebih memilih dipanggil Bangsa Moro daripada Filipino. Sebutan Filipino dilekatkan oleh kaum penjajah Spanyol terhadap bangsa yang dijajah dan dipaksa menerima agama, budaya dan ideologi sang penjajah. Sementara Bangsa Moro adalah sebutan buat para pejuang yang gagah berani dan tak kenal kompromi dengan bangsa Kape (baca Kafir) serta rela mati membela agama dan kehormatan sebagai Muslim.

Apa yang terjadi di Tanah Fathoni (sebutan yang lebih damai di telinga Muslimin Thailand Selatan, bukan Patani) memang tidak mudah untuk didefinisikan. Istilah penjajahan mungkin tidak tepat, karena realitanya Pemerintah Siam cukup memanjakan wilayah ini. Infrastruktur dan fasilitas publik dibangun dengan baik. Kerajaan menanggung biaya pendidikan setiap kepala anak sampai selesai usia wajib belajar bahkan untuk sekolah-sekolah Islam swasta. Dakwah Islam pun tidak dihambat perkembangannya. Berbagai program dakwah yang diprakarsai Majelis Islam di semua provinsi dipermudah penyelenggaraannya dan dihadiri para pejabat kerajaan setempat.

Bisa dipahami bila pemandangan check point berikut serdadu siap perang, tumpukan karung pasir, ban bekas dan kawat barikade dipertahankan karena perspektif pertahanan militer tidak mentoleransi sekecil apapun ancaman. Yang terpenting saat ini adalah Pemerintah Siam perlu lebih persuasif dan membuka dialog lebih substantif dengan umat Islam Fathoni. Bahwa kelompok-kelompok militan tidak serta merta mewakili mayoritas umat Islam yang cinta damai dan mau hidup harmonis dengan siapa pun. Puluhan tahun kampung-kampung mereka dihiasi aksesoris perang membuat mereka lelah. Suasana siaga satu itu betul-betul menguras energi lahir batin dan menyisakan sekelumit cemas di penghujung mimpi  mereka.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Tahukah Anda siapa yang berhak menikmati malam yang damai tanpa rasa takut pulang ke rumah jam berapa pun? Juga tidur pulas tuntas yang nyaris tanpa jeda? Atau perasaan tidak diawasi dan dibatasi saat berbicara? Jawabannya adalah siapa saja yang berada di tanah Fathoni (Patthani): warga masyarakat biasa, Muslim dan non Muslim, guru-guru agama, pejabat kerajaan dan tentu saja para tentara itu.

Damai tidak mungkin diwujudkan kecuali dengan cara yang damai. Islam menawarkan solusi damai untuk semua persoalan dengan cara yang terbaik.  Untuk itulah Rasulullah Shalallahu ‘alayhi wassalam diutus ke dunia. Muslim yang terbaik adalah yang berjaya menjelma menjadi orang damai yang selesai berdamai dengan dirinya, hidupnya dan orang lain.

 

Yala, Selasa, 15 Jumadil Akhir 1438H/14 Maret 2017

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

(R01/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

*Bagian Pertama Catatan Perjalanan ke Provinsi YalaThailand Selatan.

**Tulisan ini adalah catatan penulis saat mendampingi Imaamul Muslimin Yakhsyallah Mansur dan Tim Motivator Majelis Dakwah Pusat Jamaah Muslimin (Hizbullah) dalam misi Safari Dakwah Nusantara ke Thailand Selatan dan Malaysia 12-17 Jumadil Akhir1438/11-16 Maret 2017.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Rekomendasi untuk Anda

MINA Preneur
Indonesia
Indonesia
Asia
Palestina