Hentikan Penganiayaan Massal Muslim Uyghur


Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Kantor Berita MINA (Mi’raj News Agency)

Sebuah laporan terbaru dari Reuters, yang mengutip Human Rights Watch dan berdasarkan wawancara yang dikumpulkan Maya Wang di Hong Kong, menunjukkan adanya tanda-tanda serius dari besar-besaran pemerintah Cina terhadap .

Berdasarkan hadil wawancara terhadap 45 Muslim Uyghur yang telah melarikan diri dari Cina, mereka menyebutkan adanya pengawasan ketat terhadap semua Muslim di Cina, terutama di Xinjiang, atau dikenal sebagai Urumqi, di mana hampir satu juta orang hidup dalam kondisi seperti kamp konsentrasi.

Laporan ini kemudian diberitakan oleh media online Malaysia Kini pada edisi 11 September 2018.

Pada laporan itu juga dikatakan, warga Muslim Uyghur, Han, Kazakh, Hui dan Muslim lainnya di Cina dipaksa untuk mengulang slogan-slogan Partai Komunis, dimasukkan ke dalam sel isolasi, bahkan dipaksa untuk meninggalkan shalat.

Pemerintah Cina menyebutnya sebagai upaya membuat mereka menjadi warga Cina yang lebih baik. Program-program semacam itu juga disamarkan sebagai modul pelatihan untuk membuatnya dapat dipekerjakan.

Nyatanya, sebanyak satu juta Muslim Uyghur berada di bawah pengawasan sistematis di kamp-kamp tahanan, dan ditempatkan di belakang pintu-pintu elektronik, di mana mereka tidak dapat bergerak secara bebas tanpa dipanggil untuk menjelaskan setiap kegiatan mereka.

Pada tingkat ini, kemungkinan Uyghur dan Hui, bahkan Muslim Han, menjadi sasaran penganiayaan menyeluruh karena keyakinan Islam mereka.

Beberapa penulis berpendapat, bukan tanpa dasar, bahwa negara keamanan Cina cenderung menundukkan orang-orang Uyghur dan semua Muslim di Cina. Ini hampir sama dengan pengawasan yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan kaum kiri di Jerman secara kolektif selama Perang Dunia II.

Catatan antara lain menyebutkan, hampir enam juta orang Yahudi, Serbia, Kroasia, dan banyak lagi tewas.

Lunaknya Sikap Dunia

Seiring dengan meningkatnya seruan di AS dan Eropa untuk menekan Cina agar menghentikan dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap minoritas Muslim Uyghur, Beijing sejauh ini lolos dari kritik serius atau protes keras dari pemerintah di seluruh dunia.

Dalam laporan Bloomberg News, sebuah media multinasional terkemuka di AS, pada edisi 31 Agustus 2018 menyebutkan, hampir tiga pekan setelah seorang pejabat PBB mengutip “laporan yang dapat dipercaya” bahwa Cina menahan sebanyak satu juta warga berbahasa Turki di kamp-kamp “pendidikan ulang”. Pemerintah di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim tidak mengeluarkan pernyataan penting tentang masalah ini.

Keheningan menjadi lebih jelas setelah kelompok bipartisan anggota parlemen AS mendesak sanksi terhadap pejabat senior Cina.

“Kami berharap bahwa Departemen Luar Negeri akan mencari peluang tambahan untuk mengutuk pelanggaran ini. Sementara itu juga harus melakukan keterlibatan diplomatik yang kuat dengan pemerintah yang berpikiran sama untuk lebih meningkatkan perhatian terhadap krisis hak asasi manusia ini di forum internasional dan lembaga multilateral,” anggota parlemen yang dipimpin oleh Senator Marco Rubio dari Florida dan Perwakilan Chris Smith dari New Jersey menulis dalam sebuah surat kepada Menteri Luar Negeri Michael Pompeo dan Menteri Keuangan Steven Mnuchin.

Mereka bergabung dengan para pejabat Uni Eropa yang sebelumnya telah menyatakan keprihatinan tentang kamp-kamp di Xinjiang.

Analisis mengatakan, tidak terlalu kerasnya tanggapan negara-negara di dunia, menandakan bagaimana posisi Cina sebagai mitra dagang utama dan penyedia bantuan bagi banyak negara mayoritas Muslim, serta kebijakan jangka panjangnya untuk menghindari mengomentari urusan internal negara lain.

“Cina pada umumnya memiliki hubungan persahabatan dengan sebagian besar negara Muslim, kebanyakan di sektor perdagangan,” kata Hassan Hassan, dari Institut Tahrir untuk Kebijakan Timur Tengah, sebuah lembaga pemikir di Washington, AS, seperti disebutkan Bloomberg.

Omer Kanat, ketua komite eksekutif di Kongres Uyghur Dunia, kelompok advokasi Uighur di luar negeri, mengatakan, negara-negara Muslim “tidak ingin merusak hubungan mereka dengan Cina, dan menganggap Cina sebagai sekutu potensial melawan Barat dan AS, dan karena itu mereka berusaha untuk tetap diam,”

Negara-negara itu “tidak secara khusus menghormati hak asasi manusia itu sendiri, jadi sulit untuk membayangkan bahwa mereka akan melompat pada kesempatan untuk mengkritik Tiongkok,” kata David Brophy, Dosen Senior dalam Sejarah Tiongkok Modern di Universitas Sydney.

itu bisa membuktikan semakin sulit untuk menjaga diamnya mereka, karena kebijakan Cina telah melintasi pengaruhnya.

Cina sendiri secara resmi menyangkal masalah di Xinjiang, sebuah wilayah luas seukuran Alaska yang berbatasan dengan Pakistan dan Afghanistan yang menjadi tempat tinggal sekitar 10 juta warga Uighur. Beijing bahkan pernah memperingatkan anggota parlemen AS untuk tidak ikut campur dalam urusan internal Cina.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Hua Chunying pada suatu briefing di Beijing menekan, para pembuat undang-undang harus fokus pada isu-isu di negaranya masing-masing, “bukannya mengganggu politik internal negara-negara lain, bermain hakim tentang hak asasi manusia dan menyalahkan, atau bahkan mengancam akan menjatuhkan sanksi yang tidak masuk akal,” katanya.

Presiden Xi Jinping menyebut tindakannya adalah untuk melawan ekstremisme Islam menyusul serangan mematikan di wilayah yang melibatkan orang-orang Uyghur, dan melaporkan bahwa beberapa anggota minoritas berperang bersama kelompok-kelompok teror di Suriah.

Sebuah koran yang dikelola Partai Komunis menyebutkan, tindakan itu telah mencegah Xinjiang menjadi Suriah yang lain.

Padahal, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial mengatakan dalam sebuah laporan yang dirilis pada Kamis (30/8/2018) bahwa perkiraan jumlah penduduk Xinjiang yang ditahan di kamp berkisar dari puluhan ribu hingga lebih dari satu juta.

Panel menyerukan penghentian segera terhadap penahanan, pembebasan mereka yang sudah ditahan dan penyelidikan resmi atas dugaan deskriminiasi rasial dan agama.

Tuntutan Kemanusiaan dan Keagamaan

Aksi demo protes di depan Kedutaan Besar Cina di Jakarta, pada Jumat (21/12) menandakan bahwa umat Islam di Indonesia khususnya,tidak diam, bahkan mengecam keras tindakan penindasan Pemerintah Cina terhadap umat Islam Uyghur, di Provinsi Xinjiang, yang tergolong kejahatan berat kemanusiaan dan dapat menyulut kemarahan publik internasional.

Ada beberapa catatan sikap protes dari Jama’ah Muslimin (Hizbullah) atas nama umat Islam yang patut menjadi perhatian pemerintah Cina. Seperti disebutkan Minanews edisi Jumat (21/12).

Pertama, mengecam keras tindakan China yang memperlakukan umat Islam Uighur di luar batas perikemanusiaan, bertentangan dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM), melukai perasaan umat Islam dan dunia internasional serta mengancam stabilitas dan perdamaian dunia.

Kedua, mendesak Pemerintah Cina segera menghentikan penindasan terhadap etnis Uighur, memberikan jaminan hak hidup, kemerdekaan dan keamanan, diakui kepribadiannya dan jaminan untuk memeluk agama sesuai dengan prinsip-prinsip Universal Declaration of Human Rights yang dijunjung tinggi bangsa-bangsa beradab.

Ketiga, mendesak Pemerintah Republik Indonesia, negara-negara Islam, dan dunia internasional untuk melakukan aksi nyata menekan Cina dan membentuk tim pencari fakta independen guna menginvestigasi tindakan kejahatan kemanusiaan tersebut.

Keempat, mendesak publik internasional untuk menyeret Cina yang telah melakukan kejahatan internasional ke Pengadilan Kejahatan Internasional/ ICC (International Criminal Court).

Kelima, menyeru para pimpinan organisasi massa, Organisasi Politik, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan segenap umat Islam di seluruh dunia untuk merapatkan barisan dalam satu kesatuan Jama’ah Muslimin. Sehingga umat Islam memiliki kekuatan untuk melindungi setiap jiwa umat Islam dari segala bentuk kezaliman dan penindasan. Berlandaskan firman Allah, “Dan berpegang teguhlah kepada tali agama Allah seraya berjama’ah dan janganlah berpecah-belah”. (Al-Quran Surat Ali Imran ayat 103).

Semoga tuntutan ini dapat terpenuhi. Mengingat umat Islam sedunia hakikatnya adalah umat yang satu, yang tidak bisa dipecah-elah, diadu domba dan diganggu gugat keberadaan dan kehormatannya. (A/RS2//P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: Ali Farkhan Tsani

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.