Menikmati hidup yang tenang di usia senja tentu menjadi dambaan banyak orang. Demikian pula bagi Darusman, pria yang akrab disapa Abun. Lahir di sebuah desa kecil di Cilacap pada 19 Agustus 1960, perjalanan hidup Abun penuh liku sebelum ia menemukan ketenangan yang dirasakan saat ini.
Selama puluhan tahun, Abun mengabdikan diri di Pesantren Al Fatah, Cileungsi. Kini, ia dipercaya mengelola sebidang tanah milik pesantren yang terletak di pinggiran sawah. Abun mengurus tanah tersebut dengan penuh perhatian, menanami berbagai jenis pohon buah seperti durian, nangka, pisang, dan mangga yang tumbuh subur dan berbuah lebat. Jika Anda berkunjung ke rumah sederhananya yang terletak di tepi sawah, Anda akan melihat puluhan burung merpati beterbangan bebas, hinggap dari satu pohon ke pohon lain. Suasana ini melahirkan ketenangan tersendiri, jauh dari hiruk pikuk kota Cileungsi yang kini semakin padat oleh aktivitas pabrik.
“Saya diamanahi untuk mengelola tanah milik pesantren. Kehidupan saya sederhana, tapi saya sangat bersyukur,” tutur Abun dengan rendah hati. Ia merasa bahagia bisa hidup di tengah para ulama dan tokoh-tokoh pesantren, menjadikan setiap masalah yang dihadapi mudah diselesaikan dengan berkonsultasi. Bagi Abun, ini adalah kemewahan spiritual, seperti para sahabat yang dahulu hidup bersama Rasulullah.
Perjalanan Hidup yang Tidak Mudah
Baca Juga: Hiruk Pikuk Istana di Mata Butje, Kisah dari 1 Oktober 1965
Namun, ketenangan yang ia nikmati saat ini tidak datang begitu saja. Abun harus melalui perjalanan panjang dan berbagai keputusan berat yang harus ia ambil dalam hidupnya. Ketika muda, tinggal di desa kecil membuatnya merasa tidak berkembang. Keterbatasan ekonomi keluarganya makin memotivasi Abun untuk merantau ke Bandung, mencari penghidupan yang lebih baik.
“Saya tumbuh di keluarga sederhana. Kami tujuh bersaudara, ayah saya seorang tokoh Muhammadiyah, sementara ibu mencari daun pisang untuk dijual ke pasar demi memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kenang Abun.
Di masa mudanya, Abun sering diajak ayahnya menghadiri kajian dan tadrib di Masjid Syamsul Huda, Maos, tempat yang kini juga dibangun Pesantren Al Fatah Maos. Meski demikian, pendidikan formal Abun terhenti di tingkat Sekolah Pendidikan Guru (SPG), dan ia memutuskan merantau ke Bandung dengan bekal tekad dan nekat.
Tiba di Bandung, Abun sadar, ia perlu meningkatkan keterampilan untuk bertahan hidup. Ia lalu dapat peluang untuk mengikuti berbagai kursus seperti mengetik, montir, dan mengemudi. Dengan keterampilan tersebut, akhirnya ia bisa bekerja di beberapa pabrik tekstil di Bandung. Namun, keinginannya untuk memperbaiki hidup tak berhenti di situ. Ketika Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) membuka lowongan, Abun melihat peluang besar dan memutuskan untuk mencoba peruntungannya.
Baca Juga: Inspirasi Sukses, Kisah Dul dari Rimbo Bujang Merintis Bisnis Cincau
“Saya pikir, bekerja di industri pesawat terbang sangat keren. Saya dari kampung dan jika bisa bekerja di sana, tentu sangat membanggakan,” ujarnya dengan semangat. Setelah mengikuti serangkaian tes, Abun dinyatakan lulus. Namun, tantangan baru menanti. Sebelum menerima gaji, ia harus mengikuti pelatihan kedirgantaraan. Di tengah kondisi tanpa penghasilan, Abun menemukan cara unik untuk bertahan hidup: mengumpulkan box nasi bekas yang digunakan karyawan IPTN dan menjualnya ke pengepul. Kegigihannya berbuah hasil, dan ia pun bisa bertahan hingga mulai menerima gaji dari IPTN.
Meninggalkan Kenyamanan untuk Jalan Dakwah
Meski sudah mapan bekerja di IPTN, Abun merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Keresahan soal tanggung jawab spiritual terhadap istri dan anak-anaknya terus mengusik. Setelah 19 tahun 6 bulan bekerja, pada tahun 2008 Abun memutuskan untuk mengundurkan diri dari IPTN, keputusan yang mengejutkan rekan-rekannya.
“Saat itu saya merasa seperti burung dalam sangkar, terlalu nyaman dengan rutinitas. Padahal di luar sana, saya yakin ada kesempatan lebih luas untuk berkembang, terutama di jalan dakwah,” ungkapnya.
Baca Juga: Radin Inten II Sang Elang dari Lampung, Pejuang Tak Kenal Takut
Abun kemudian mengabdikan dirinya untuk dakwah dan bersama Jamaah Muslimin (Hizbullah) di Jawa Barat. Tak lama setelah itu, ia bertemu Haji Suma Praja yang mewakafkan tanahnya untuk didirikan pesantren. Di sinilah Abun mulai mengembangkan Pesantren di Tanjung Sari, sebuah wilayah dakwah yang kini dikenal luas.
Namun, ujian tak berhenti di situ. Ketika baru saja membangun rumah di Tanjung Sari, Abun mendapat amanah baru dari pemimpin Jama’ah untuk pindah ke Pesantren Al Fatah, Cileungsi. Meski awalnya ia merasa berat karena harus meninggalkan rumah yang baru dibangun, Abun akhirnya hijrah ke Cileungsi dengan penuh keyakinan bahwa ini adalah bagian dari perjalanan spiritualnya.
Keteguhan Hati di Jalan Allah
Setibanya di Pesantren Al Fatah, Abun memanfaatkan keterampilan mengemudi yang ia miliki untuk melayani para tokoh dan ustad pesantren dalam berbagai aktivitas dakwah. Selain itu, ia juga melatih sebagian warga pesantren untuk mengemudi. Meski merasa kontribusinya kecil, Abun bersyukur dapat hidup di tengah para ulama, sesuatu yang ia yakini sebagai jawaban dari doa ayahnya.
Baca Juga: Jejak Abah Qohar Pendekar Dari Pesantren Al-Fatah
“Dulu ayah saya berpesan, meski saya bukan santri, saya harus hidup di tengah para ulama. Saya yakin ini adalah doa ayah saya yang terkabul,” katanya dengan haru.
Dari berbagai perjalanan hidup yang penuh ujian, Abun menemukan, kunci ketenangan terletak pada keyakinan dan kepasrahan terhadap takdir Allah. Baginya, Allah yang Maha Kuasa selalu memberikan yang terbaik, seperti saat Maryam diberi kurma ketika dalam kelelahan atau Musa yang diselamatkan dari kejaran Firaun.
“Kenapa kita harus ragu? Semua ini kecil bagi Allah, termasuk soal rezeki,” ujarnya tegas. Keyakinan ini selalu menemani Abun dalam menjalani setiap tantangan, termasuk ketika ia mengikuti misi relawan ke Gaza dan mendapat kabar anaknya sakit. Dengan sepenuh hati, ia menyerahkan segalanya kepada Allah, dan keajaiban pun terjadi: anaknya sembuh tanpa ia harus memikirkan biaya berobat yang besar.
Begitulah, ketenangan yang Abun rasakan saat ini adalah hasil dari keyakinan dan kepasrahan penuh kepada Allah. Sebuah pelajaran hidup yang ia teruskan kepada siapa saja yang ingin mencari kedamaian sejati.[Sri Astuti]
Baca Juga: Siapa Umar Rafsanjani? Semua Terekam di Biografi Teungku Pelintas Batas
Mi’raj News Agency (MINA)