Hisablah Diri Sebelum Dihisab

Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA

Sudah berapa lama kita hidup di dunia ini? Selama hidup, sudahkah kita benar-benar mempersiapkan dengan sebanyak dan sebaik-baik amal?

Atau jangan-jangan sebaliknya justru separuh dari usia kehidupan kita terisi dengan tumpukan noda dosa dan maksiat? Perjalanan ini masih sangat panjang, maka berhentilah sejenak untuk bermuhasabah (menghisab diri) tentang amal dan impian-impian kita selama ini.

Bisa jadi, selama ini mungkin kita mengira sudah beramal sebanyak-banyaknya. Bisa jadi, kita merasa sudah menjalankan semua perintah Allah dengan segenap tenaga dan pikiran serta meninggalkan setiap apa yang dilarang-Nya. Tapi, sadarkah kita jika di tengah amal ibadah yang dilakukan itu terselip rasa riya’ (bukan karena Allah)? Bukankah kita tahu setiap amal ibadah yang didalamnya terselip riya’ akan sia-sia?

Disadari atau tidak kita lebih senang tampil dengan ‘cover-cover’ kehidupan yang megah tapi rapuh dan kosong dari nuansa ketaatan. Kita tak menyadari sudah tertipu dengan tampilan fisik tapi lupa dengan makna yang tersimpan didalamnya.

Kita masih lebih senang memuliakan orang lain karena harta dan jabatan yang dimilikinya atau karena ilmu dunianya yang aduhai, sementara pemahaman agamanya masih jauh dari standar. Sebaliknya, kita seringkali meremehkan orang-orang yang secara materi tak berpunya, secara ilmu pun tak mumpuni apalagi jabatan yang juga tak ada.

Kita masih senang berbangga dengan tampilan kulit yang mampu memukau dan membuat setiap orang yang melihatnya. Tapi, kita lupa apalah artinya tampilan kulit bila isi di dalamnya berulat dan kosong tanpa makna? Kita lebih senang melahirkan  kegiatan seremonial yang mengundang decak kagum khalayak, tapi lupa apakah ridha manusia yang kita cari atau ridha Allah?

Berhentilah sejenak. Berhentilah sejenak untuk melihat jauh kedalam diri ini. Lihatlah disana, apakah masih ada benih-benih dosa yang akan menjadi tabir penghalang doa-doa yang kita panjatkan. Hisablah diri dengan banyak menangisi amal ibadah yang sudah dilakukan.

Sadarilah, betapa kita ini hanya makhluk teramat lemah dengan segala kebodohan dan kefakiran. Lalu mengapa kita masih enggan patuh dan taat kepada Allah? Bukankah, seluruh alam semesta ini pun menghadap kepada-Nya dengan segala kepatuhan. “Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya.” (Qs. Al Isra: 44).

Apakah kita merasa sudah memiliki segalanya di bumi fana ini? Apakah karena sedikit harta yang Allah titipkan pada kita lantas membuat kita merasa bangga dan merendahkan orang lain? Ketahuilah, harta itu halalnya pasti di hisab dan haramnya pasti di azab.

Atau kita merasa angkuh karena sedikit ilmu yang Allah titipkan pada kita, sehingga dengan mudah terkadang kita menuding orang lain salah lalu kita merasa paling benar? Apakah kita juga sudah merasa menjadi orang yang lebih mulia dan dijamin akan masuk surga dengan amal ibadah yang dilakukan?

Bagaimana mungkin kita menjadi sombong dengan semua titipan itu saudaraku. Jika kita sudah mengaku menjadi orang yang beriman, maka perhatikanlah keimanan kita, apakah aplikasi dari keimanan itu sudah terwujud nyata dalam kehidupan fana ini.

Jika benar hanya kepada Allah saja kita bertawakal, tapi mengapa kita masih sering ragu menatap masa depan. Kita seolah takut jika hari esok kekurangan makan atau tak mempunyai uang untuk mencukupi segala kebutuhan hidup.

Jika benar kita sudah menjadi orang beriman, lalu bagaimana dengan panca indera kita? Sudahkah lisan kita terjaga dari ghibah dan banyak bicara sehingga bisa membuat orang lain tersakiti dengan kata-kata yang kita ucapkan?

Atau sebaliknya kita lebih senang dan sering mengumbar kata-kata yang tak bermanfaat serta menyakiti orang lain? Berhentilah sejenak saudaraku, lakukanlah muhasabah atas dosa-dosa yang sudah dilakukan oleh lisan ini.

Tanyakan pula diri ini, apakah sudah benar-benar menjadi pengamal Al Quran dan As Sunnah? Apakah kita sudah benar-benar menjadi ahlul haq sementara kita masih saling berpecah-belah dan berselisih satu dengan yang lain?

Apakah kita bangga dengan label ahlul haq, tapi kita lupa untuk istiqomah mengamalkan apa yang sudah Allah dan Rasul-Nya perintahkan. Apakah kita juga bangga berkata sebagai pengamal sunnah, sementara untuk mengamalkan sunnah dalam keseharian saja kita masih sering lalai?

Berhentilah sejenak saudaraku, hisablah diri tiba masanya Allah menghisab, wallahua’lam. (R02/P001)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Rudi Hendrik

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.