Jakarta, MINA – Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Episentrum bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Studi Agama-Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar diskusi publik pada Ahad (14/3).
Diskusi dengan tema “Dunia ‘Pasca-Manusia’; Antara Teknologi dan Otoritas Manusia” ini menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama Franz Magnis Suseno dan tokoh HMI Firman Kurniawan Said.
Jalannya diskusi yang digelar secara daring. berlangsung hangat walaupun perbincangan dalam diskusi terbilang alot akibat sukarnya mencari titik kesimpulan.
Firman yang memang belum lama ini melahirkan karya berupa buku bertajuk “Episentrum Intelektual; Meretas Zaman Menuju Indonesia Emas” menjabarkan bagaimana proses sejarah umat manusia hingga sampai pada titik sains dan teknologi ini.
Baca Juga: Jawa Tengah Raih Penghargaan Kinerja Pemerintah Daerah 2024 untuk Pelayanan Publik
Banyak ahli yang dia kutip dalam memaparkan penjelasannya. Salah satunya adalah Yuval Noah Harari, seorang sejarawan yang menjadi tokoh senter pembahasan sepanjang diskusi publik ini berlangsung.
Dalam pemaparannya, Firman menyebut bahwa manusia sudah mulai terasing dengan dirinya sendiri sejatinya bukan dalam waktu yang sebentar.
Revolusi Industri yang ditandai dengan revolusi di Perancis adalah cikal bakal alienasi manusia hingga hari ini, di mana era teknologi dan sains mulai menunjukkan wajahnya yang penuh dengan perkembangan, menambah keterasingan manusia tersebut.
“Yuval Noah Harari menyebut suatu revolusi paling purba dari sejarah umat manusia, yaitu revolusi kognitif. Dari sejak revolusi inilah manusia berkembang hingga pada Revolusi Industri dan sampailah pada era dewasa ini yakni era teknologi dan sains yang menyisakan banyak krisis eksistensial bagi umat manusia,” pungkasnya.
Baca Juga: Cuaca Jabodetabek Berawan Jumat Ini, Hujan Sebagian Wilayah
Senada dengan Firman, Romo Magnis, sapaan akrab Franz Magnis Suseno, tokoh Katolik, mencoba melihat bagaimana celah-celah sains dan teknologi yang dalam proses perkembangannya menyisakan banyak ruang yang harus kita sikapi dengan bijak. Misalnya bom atom atau sejenisnya.
Sehingga menurut Romo Magnis yang dosen di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkaya, nilai-nilai etis dalam mengembangkan teknologi dan sains tak boleh ditinggalkan.
“Teknologi dan sains memang berkembang. Tetapi para filsuf sepakat, bahwa sampai kapanpun Artificial Intelligence (kecerdasan artifisial) tidak akan mampu memiliki apa yang kita sebut dengan counsciousness (kesadaran). Dia hanya mengikuti algoritma Si Pembuat (manusia). Oleh karena itu, nilai-nilai etis atau humanisme dalam setiap manusia tak boleh tanggal,” tegasnya.
Diskusi yang dimoderatori oleh Sultan Rivandi ini, hingga bagian penutup tidak memberikan kesimpulan yang rigid.
Baca Juga: Bedah Berita MINA, Peralihan Kekuasaan di Suriah, Apa pengaruhnya bagi Palestina?
Tetapi sesuai dengan pendapat Firman dan Romo Magnis, perdebatan ini memang tak seharunya selesai dalam satu kali tatap muka.
Perdebatan antara sisi sains atau teknologi serta filsafat dan teologi di sisi yang lain, sangat menarik untuk sekedar disimpulkan dalam satu kali forum diskusi.
Belum lagi di bagian akhir Romo Magnis juga mau tidak mau akhirnya membahas perihal fenomenologi vs neurosains yang akhirnya membuat pembicaraan dalam diskusi tak bisa disimpulkan dengan terburu-buru.
Tetapi kalaupun demikian, Sultan Rivandi akhirnya memungkas diskusi dengan mencoba mencari titik temu di antara pendapat kedua tokoh yang menjadi pemateri dalam diskusi ini.
Baca Juga: Jurnalis Antara Sampaikan Prospek Pembebasan Palestina di Tengah Konflik di Suriah
Dia menilai, dua tokoh tersebut setidaknya setuju dalam satu hal. Yaitu, mereka sepakat bahwa kalaupun manusia saat ini mustahil menolak perkembangan dan kemajuan sains atau teknologi, tetapi perkembangan dan kemajuan sains atau teknologi tersebut tidak bisa dibiarkan begitu saja.
“Harus ada border. Harus ada nilai-nilai yang memagari perkembangannya,” tambah Sultan.(R/R1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Tumbangnya Rezim Asaad, Afta: Rakyat Ingin Perubahan