Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj News Agency (MINA)
Banyak tokoh Islam yang mengambil peran penting dalam perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga kemudian dinobatkan Pemerintah RI sebagai Pahlawan Nasional.
Salah satunya adalah HOS Tjokroaminoto. Tokoh ini bukan hanya sebagai “Guru para Bapak Bangsa Indonesia”. Namun juga menginspirasi perjuangan kemerdekaan Indonesia, ulama yang memiliki Tauhid kuat, keturunan ningrat yang memiliki keteguhan dalam memegang prinsip-prisip perjuangan, dan memiliki komunikasi yang baik dengan berbagai kalangan. Berikut selengkapnya.
Baca Juga: Bashar Assad Akhir Rezim Suriah yang Berkuasa Separuh Abad
Silsilah
Nama kecilnya Raden Oemar Said, setelah haji selengkapnya menjadi Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau dikenal sebagai HOS Tjokroaminoto. Lahir di Ponorogo, Jatim, 16 Agustus 1882 dan wafat di Yogyakarta, 17 Desember 1934, dalam usia 52 tahun.
Tjokroaminoto bergelar Raden adalah anak kedua dari 12 bersaudara dari seorang ayah bernama Raden Mas Tjokroamiseno, seorang Wedana di kecamatan Kleco, Ngawi, Jawa Timur.
Kakeknya, Raden Mas Adipati Tjokronegoro, adalah Bupati Ponorogo, putra Kyai Muhammad Besari atau dikenal dengan Kyai Kasan Besari.
Baca Juga: Nama-nama Perempuan Pejuang Palestina
Kyai Kasan Besari dikenal seorang ulama yang memiliki pondok pesantren di daerah Besari, Tegal Sari, Kabupaten Ponorogo, Karesidenan Madiun Jawa Timur.
Kyai Kasan beristerikan Raden Ayu Moertosijah, putri dari Raja Soesoehoenan Pakoebuwono II (Kesultanan Surakarta).
Meski keturunan ningrat, Tjokroaminoto bukanlah seorang priyayi yang tunduk patuh pada penjajah, bukan pula penganut Islam abangan. Tapi ia lebih sebagai seorang ulama yang peka bahwa negerinya sedang dijajah.
Baca Juga: Sosok Abu Mohammed al-Jawlani, Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham
Dia pun meninggalkan pekerjaannya sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda. Lalu ia mulai mencoba berbagi pekerjaan, mulai sebagai karyawan di sebuah Firma di Surabaya, calon masinis, ahli kimia di pabrik gula, hingga menggeluti jurnalistik/kewartawanan.
Dia kemudian bergabung dengan Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan tahun 1905 oleh Kyai Hadji Samanhoedi.
SDI mempersatukan pedagang-pedagang dari Jawa dan Madura untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda melalui dunia perdagangan.
Karier Tjokro meningkat cepat mulai dari Ketua Cabang SDI Surabaya, hingga menjadi Waki Ketua di Pusat Surakarta.
Baca Juga: Abah Muhsin, Pendekar yang Bersumpah Jihad Melawan Komunis
Tjokro kemudian menggantikan Hadji Samanhoedi tahun 1913. Ia kemudian melakukan transformasi besar-besaran terhadap SDI.
Hingga kemudian SDI berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI). Bukan hanya bersinggungan dengan dunia dagang, tapi masuk ke kancah politik kebangsaan.
Ia mengubah yuridiksi SDI lebih luas dari sebelumnya yang hanya mencakupi permasalahan ekonomi dan sosial, ke arah politik dan keagamaan. Ia hendak mengobarkan semangat perjuangan Islam dalam semangat juang rakyat terhadap kolonialisme dan imperialisme.
Ia memimpin Pusat SI atau Centraal Sarekat Islam (CSI) dan memindahkan kantor pusatnya ke Surabaya. Kemudian ke Yogyakarta dan berafiliasi dengan Muhammadiyah pimpinan K.H. Ahmad Dahlan.
Baca Juga: Pangeran Diponegoro: Pemimpin Karismatik yang Menginspirasi Perjuangan Nusantara
“Sarekat Islam, yang pada mulanya seperti air mengalir, tidak lama lagi akan menjadi banjir yang deras. Mari kita bergerak. Mari kita melakukan perlawanan, agar semua rakyat Nusantara tidak lagi dipandang sebagai seperempat manusia,” orasi terkenalnya kepada massa.
SI adalah organisasi massa pertama di Hindia Belanda. Berdiri pada 16 Oktober 1905, tiga tahun lebih awal dari Boedi Oetomo, 20 Mei 1908.
Organisasi ini dibentuk oleh para pedagang Islam, terutama pedagang kain batik. Tujuannya untuk menentang politik Pemerintah Hindia Belanda yang saat itu memberikan keleluasaan atas masuknya para pedagang asing, terutama pedagang Tionghoa, untuk menguasai ekonomi Nusantara.
Saat itu, SI adalah organisasi dengan anggota terbesar, 80.000 orang dengan 15 afdeling (cabang). Bahkan kemudian terus berkembang, hanya dalam waktu tujuh tahun, mencapai 2,5 juta anggota. Hampir 10% dari total perkiraan populasi di Pulau Jawa waktu itu, 30 juta jiwa degan 181 cabang.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Jauh lebih besar dari Indische Partij (IP), partai politik pertama di Hindia Belanda yang berdiri sebulan sebelumnya, 25 Desember 1912.
Besaran keanggotaan SI itulah, sekaligus dengan kemunculan sosok Tjokroaminoto, yang memicu kekhawatiran. SI bisa kapan saja menjelma jadi organisasi politik yang menyerang pemerintah.
Perkembangan politik dan sosial SI bermetamorfosis menjadi organisasi pergerakan yang telah beberapa kali berganti nama. Mulai dari Central Sarekat Islam (disingkat CSI) tahun 1916, Partai Sarekat Islam (PSI) tahun 1920, Partai Sarekat Islam Hindia Timur (PSIHT) tahun 1923, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) tahun 1929.
Pada Majlis Tahkim (kongres nasional) ke-35 di Garut tahun 2003, namanya diganti menjadi Syarikat Islam (disingkat SI).
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Pada Kongre ke-40 di Bandung tahun 2015 SI mengukuhkan Dr. Hamdan Zoelva,SH.,MH. sebagai Ketua Umum Laznah Tanfidziyah. Melalui keputusan tertinggi organisasi tersebut, SI kembali ke khittahnya sebagai gerakan dakwah ekonomi.
Soekarno Sebagai Menantu
Saat itu, Soekarno dan rekan-rekannya dalam menimba ilmu dan berdiskusi, seringkali menginap di rumah gurunya, Tjokroaminoto.
Ayah Soekarno, R.M. Soekemi Sasrodihardjo mengirimkan anaknya untuk pendidikan di Surabaya, dengan ngekost di rumah Tjokro.
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Tjokro memiliki puteri sulung bernama Siti Oetari. Soekarno saat itu belum genap 20 tahun dan Siti Oetari baru 16 tahun. Soekarno yang saat itu sedang menempuh pendidikan di sekolah lanjutan atas menikahi Oetari pada tahun 1921.
Soekarno muda saat itu mendapat perhatian kusus di mata Tjokroaminto, terlihat saat ia menjodohkan puteri kandungnya tersebut.
Alasan pernikahannya bagi Soekarno, karena merasa simpati melihat ibunya Oetari, Suharsikin yang sakit parah. Akhirnya Soekarno menikahi Oetari, agar bisa juga ikut mengurus ibunya.
Namun tak lama setelah itu, Suharsikin meninggal. Setelah itu, Soekarno mulai merasa tidak cocok dengan Oetari yang memang masih kekanak-kanakan.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
Beberapa saat sesudah menikah, Soekarno meninggalkan Surabaya, pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di THS (sekarang ITB).
Pada tahun 1923, Soekarno mendatangi mertuanya, Oetari dan keluarga besarnya untuk menceraikan Oetari secara baik-baik.
Setelah bercerai di usia 18 tahun, setahun kemudian Oetari menikah pada tahun 1924, pada usia 19 tahun dengan seorang bernama Sigit Bachroensalam. Pernikahan ini menghasilkan seorang putra, bernama Harjono Sigit Bachroensalam.
Harjono Harjono Sigit menikah dengan Kusthini dan dikaruniai enam orang anak, salah satunya bernama Maia Estianty, artis terkenal yang pernah menjadi isteri Ahmad Dhani.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
Pemikiran Pergerakan Nasional
Di bawah naungan HOS Tjokroaminoto, SI menghimpun tokoh-tokoh penting bagi pergerakan nasional. Mulai dari KH Agus Salim, Ki Hadjar Dewantara (Soewardi Soerjaningrat), Abdoel Moeis, dll.
Rumah sederhananya di Kampung Peneleh, Suabaya, menjadi rumah belajar dan diskusi para tokoh muda perintis kemerdekaan. Rumahnya merupakan oase tokoh bangsa untuk menimba ilmu dan kebijaksanaan.
Bung Karno, Muso, Semaun, Alimin, Darsono, Tan Malaka dan Kartosuwiryo, merupakan murid-murid HOS Tjokroaminoto.
Buya Hamka. Agus Salim dan Wali Al-Fattah juga pernah berguru dan berdiksusi kepada Tjokroaminoto.
Setelah ratusan tahun perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah, baru pada masa HOS Tjokroaminoto inilah pemikiran pergerakan nasional secara politik dimunculkan. Dia menyebarkan semangat pergerakan nasional kepada murid-muridnya dan masyarakat, hingga benar-benar mengakar kuat di Indonesia.
Dia juga pernah memberikan mosi tidak percaya kepada Belanda yang ada di Indonesia.
Sebagai partai politik resmi di Sarikat Islam (SI), ia dan rekan-rekannya menuntut adanya parlemen yang isinya orang Indonesia, hingga segala kebijakan yang diambil bisa memberikan dampak baik bagi bangsa.
Namun tuntutan ini sama sekali tidak direspons oleh Belanda yang mulai merasa takut dengan adanya pergerakan masif di Indonesia.
Dialah tokoh pejuang Indonesia pertama yang menggagas tentang zelfbestuur atau pemerintahan sendiri (tahun 1916), sejak tiga dekade sebelum kemerdekaan RI tahun 1945.
Ya, HOS Tjokroaminoto adalah orang Indonesia pertama yang dengan berani mencetuskan ide kemerdekaan, atau setidaknya memunculkan wacana agar rakyat Indonesia sudah seharusnya memiliki pemerintahan sendiri, tidak lagi menjadi jajahan Belanda atau bangsa-bangsa asing lainnya.
HOS Tjokroaminoto sempat ditangkap oleh Belanda pada bulan Agustus 1921. Setahun dia tinggal di balik jeruji besi, kemudian dia dibebaskan di bulan April 1922.
Tjokroaminoto selaku wakil SI dalam Volksraad (Perwakilan Rakyat) bersama Abdul Moeis, mengajukan mosi yang kemudian dikenal dengan Mosi Tjokroaminoto pada tanggal 25 November 1918. Mereka menuntut: pembentukan Dewan Negara dengan perwakilan dari penduduk dan pertangggungjawaban pemerintah Hindia Belanda terhadap perwakilan rakyat.
Namun, oleh Ketua Parlemen Belanda, tuntutan tersebut dianggap hanya fantasi belaka. Sehingga, Central Sarekat Islam pada kongres nasionalnya di Yogyakarta tanggal 2-6 Maret 1921, memberikan reaksi atas sikap pemerintah Belanda tersebut dengan merumuskan tujuan perjuangan politik SI sebagai, “Untuk merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan Belanda”.
Mosi Tjokroaminoto ini tak ditanggapi. Ia lalu keluar dan memilih jalan nonkooperatif.
“Tanah ini sudah sepantasnya tidak lagi dipimpin Belanda. Kelak, Tanah Air kita akan menjadi negara dengan pemerintahan sendiri. Kita akan sama-sama memelihara kepentingan kita, tanpa memandang bahasa, bangsa, dan agama,” pidato Tjokro.
SI pun sontak menjadi ancaman. Pada saat yang sama, nama Tjokroaminoto kian populer. Kalau ia ke desa, rakyat jelata mencium kakinya. Ia seperti ditahbiskan untuk menjadi Ratu Adil (Ksatria Piningit), pemimpin yang membebaskan. Setelah hampir 90 tahun tidak ada pemimpin di Jawa sesudah Pangeran Diponegoro.
Oleh Belanda sendiri ia dijuluki dengan De Ongekroonde van Java atau “Raja Jawa Tanpa Mahkota.”
Pesannya kepada murid-muridnya yang terkenal adalah, “Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.”
Pejuang Islam
Ketokohan ulama pada diri HOS Tjokrominoto terlihat dari perhatiannya pada persoalan Islam dan keumatan.
Hal ini terlihat dari tujuan organisasi Sarekat Islam yang didirikannya, yaitu di samping untuk mengembangkan jiwa dagang dan membantu anggota-anggota yang mengalami kesulitan dalam bidang usaha. Juga untuk memajukan pengajaran dan semua usaha yang mempercepat naiknya derajat rakyat, memperbaiki pendapat-pendapat yang keliru mengenai agama Islam dan untuk hidup menurut perintah agama.
Hadji Oemar Said Tjokroaminoto hendak membangun kesadaran umat untuk melawan penjajahan Belanda. Tergambar dari seruannya, “Tidak bisa manusia menjadi utama yang sesungguh-sungguhnya, tidak bisa manusia menjadi besar dan mulia dalam arti kata yang sebenarnya, tidak bisa ia menjadi berani dengan keberanian yang suci dan utama, kalau ada banyak barang yang ditakuti dan disembahnya. Keutamaan, kebesaran, kemuliaan, dan keberanian yang sedemikian itu, hanyalah bisa tercapai karena Tauhid sahaja. Menetapkan lahir batin, bahwa Tidak ada sesembahan, melainkan Allah sahaja.”
Tjokro pun mengkristalisasi ajaran Rasulullah ke dalam paradigma Lima K yakni “Kemauan, Kekuatan, Kemenangan, Kekuasaan, dan Kemerdekaan.”
Adapun cita-cita persatuannya ialah “Innamal Mukminuna Ihwatun” dan motto juangnya adalah “Hijrah, Iqra’ dan Billahi fi Sabilil Haq.”
Tjokroaminoto memprioritaskan membangun kekuatan dari kemauan umat. Nusantara Indonesia boleh saja diduduki oleh penjajah, tetapi tidaklah berarti telah terkalahkan pula kemauan umat Islam sebagai mayoritas rakyat Indonesia. Apabila umat Islam telah bangkit kemauannya maka akan memiliki kekuatan yang tidak terhingga.
Dia sebagai Redaktur surat kabar resmi SI, Oetoesan Hindia, juga aktif menulis. Dari sekian banyak artikel yang pernah ditulisnya, berkaitan dengan sosialisme, yaitu “Apakah Sosialisme Itu” (1 Januari 1913) dan “Sosialisme Berdasar Islam” ( November 1924). Ia juga menulis buku dari hasil pemikirannya “Islam dan Sosialisme.” Dia banyak mengoleksi buku-buku baacan di rumahnya.
Ia pun membuat trilogi kehidupanya yang termasyhur yaitu, “Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.”
Semangat HOS Tjokroaminoto untuk menegakkan syariah Islam juga tampak dari perhatiannya pada tema persatuan umat Islam pasca kejatuhan Khilafah Turki Utsmani pada 3 Maret 1924.
Hal ini ia wujudkan dengan keikutsertaannya pada Kongres Khilafah di Mekkah pada 1 Juni 1926.
Saat itu Indonesia mengirimkan dua orang utusan, yaitu HOS Tjokroaminoto (Central Sjarikat Islam) dan KH Mas Mansur (Muhammadiyah).
Penunjukan mereka ditetapkan dalam Kongres Al Islam ke-4 di Yogyakarta (21-27 Agustus 1925) dan Kongres ke-5 di Bandung (6 Februari 1926).
Mereka berdua berangkat dari Tanjung Perak Surabaya dan singgah di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta. Banyak ulama Islam yang menyambut mereka, bahkan memerlukan diri datang ke pelabuhan.
Akhir Hayat
Pemimpin organisasi pertama di Indonesia, Sarekat Islam (SI), Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto (HOS Tjokraminoto) menghembuskan napas terakhirnya pada 17 Desember 1934 dalam usia 52 tahun.
Tjokro meninggal di Yogyakarta setelah sakit seusai mengikuti Kongres SI di Banjarmasin.
Tjokraminoto merupakan salah satu pelopor pergerakan di Indonesia. Ia dikenal sebagai guru para pemimpin-pemimpin besar di Indonesia.
Ia wafat tahun 11 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan tahun 1945. Hingga ada pendapat menyebutkan, seandainya dia masih hidup hingga tahun 1945, maka dia layak menjadi presiden RI pertama.
Soekarno, yang pernah menjadi muridnya dan kost di rumah Tjokro, yang kemudian menjadi Presiden RI (1945), menetapkan HOS Tjokroaminoto sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1961. Namanya juga dijadikan sebagai gambar pada perangko tahun 1962.
Rumahnyapun dijadikan sebagai Museum HOS Tjokroaminoto, berlokasi di Jalan Peneleh no 29 – 31 Surabaya.
Film Guru Bangsa
Tahun 2015, untuk mengenang dan menceritakan kehidupan Tjokro, Garin Nugroho menyutradarai film “Guru Bangsa: Tjokroaminoto”.
Tokoh Tjokro diperankan oleh artis Reza Rahadian dan Soeharsikin istri Tjokro diperankan oleh Putri Ayudya. Ikut sebagai peran lain adalah Maia Estyanti, cicit Tjokro.
“Saya berharap film ini bisa menjadi media pembelajaran sejarah dan politik berbangsa yang bisa meningkatkan kesadaran masyarakat akan kondisi Indonesia. Sekaligus untuk mengingat kontribusi pahlawan yang membawa Indonesia ke masa yang lebih mudah seperti sekarang ini,” jelas Garin.
“Tjokroaminoto pemimpin bangsa yang hebat, dan bapak bangsa. Perjuangan dia luar biasa, patut dijadikan teladan. Karena itu dengan film memberikan pandangan yang baik,” komentar Wapres Jusuf Kalla saat peluncuran film itu pada 31 Maret 2015.
Film bergenre drama biopic ini lahir berkat dukungan penuh Yayasan HOS Tjokroaminoto dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.
HOS Tjokroaminoto juga diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, dan di beberapa kota besar di Indonesia.
Rizky Ardiansyah, generasi kelima dari Tjokroaminoto, memberikan komentarnya, bahwa kakek buyutnya itu dikenal sebagai sosok yang tegas, berwibawa dan berpegang teguh pada prinsip. (A/RS2/P1)
Berbagai sumber.
Mi’raj News Agency (MINA)