Yangon, 12 Sya’ban 1428/9 Mei 2017 (MINA) – Pemerintah Myanmar harus segera membuka kembali dua madrasah (sekolah agama Islam) yang ditutup oleh pemerintah daerah di Yangon pada 28 April 2017 menyusul tekanan yang dilakukan kelompok ultranasionalis Buddha, Human Rights Watch (HRW) menegaskan.
“Pemerintah harus secara terbuka berkomitmen melindungi hak kebebasan beragama bagi semua komunitas agama di Burma (Myanmar), termasuk dalam ibadah, ketaatan, praktik, dan pengajaran,” ujar HRW seperti dalam keterangan resmi yang diterima MINA, Senin (8/5) waktu setempat.
Pada akhir April, sekelompok sekitar 50 sampai 100 ultranasionalis Buddha menekan pejabat lokal dan polisi di Kota Thaketa, Yangon, untuk menutup dua madrasah tersebut.
Para ultranasionalis menuduh anggota komunitas Muslim menggunakan sekolah tersebut untuk melakukan salat, yang menurut mereka melanggar sebuah kesepakatan yang ditandatangani oleh para pemimpin sekolah tahun lalu.
Baca Juga: DPR AS Keluarkan RUU yang Mengancam Organisasi Pro-Palestina
Pihak berwenang malah mengikuti permintaan massa dan belum membuka kembali sekolah-sekolah tersebut.
“Pejabat pemerintah Myanmar yang mengikuti keinginan tuntutan massa untuk menutup dua sekolah Muslim adalah kegagalan pemerintah terbaru dalam melindungi agama minoritas di Myanmar,” kata Phil Robertson, Wakil Direktur Asia HRW.
“Pemerintah harus segera membuka kembali madrasah yang ditutup, mengakhiri pembatasan praktik agama minoritas, dan menindak ultranasionalis Buddha yang melanggar hukum atas nama agama,” ujarnya.
HRW menegaskan, klaim kelompok ultranasionalis Buddha bahwa penutupan itu sah karena pemimpin madrasah telah menandatangani sebuah dokumen pada Oktober 2015 yang setuju untuk tidak menggunakan sekolah untuk salat tidak berarti memberikan pembenaran atas penutupan dua sekolah tadi.
Baca Juga: Lima Paramedis Tewas oleh Serangan Israel di Lebanon Selatan
Bahkan, lanjut HRW, jika kesepakatan tersebut tidak ditandatangani di bawah tekanan, seperti yang ditunjukkan oleh bukti, itu akan menjadi pelanggaran hak dasar masyarakat Muslim atas kebebasan beragama.
Media melaporkan bahwa para ultranasionalis Buddha sebelumnya telah menekan pejabat setempat tentang apakah kegiatan salat dikatakan di dua madrasah tersebut.
Tin Myo Aung (45), seorang petugas keamanan di salah satu sekolah, mengatakan kepada HRW bahwa sekelompok ultranasionalis Buddha datang sekitar pukul 16.00 di luar sekolah yang dijaganya. Sekitar pukul 18.00 polisi yang datang mengunci sekolah agar massa tidak masuk.
Pertengkaran
Baca Juga: Joe Biden Marah, AS Tolak Surat Penangkapan Netanyahu
Terjadi pertengkaran antara beberapa ultranasionalis Buddha dan seorang reporter dari Associated Press tapi tidak bereskalasi.
Seorang anggota komite sekolah mengatakan kepada HRW bahwa pihak berwenang mengatakan penutupan tersebut bersifat sementara namun tidak memberi batas waktu kapan akan dibuka kembali.
HRW mengunjungi Kota Thaketa pada 29 April dan menyaksikan puluhan polisi di luar kedua sekolah tersebut.
Baru setelah pukul 11.00, otoritas lokal dan perwakilan sekolah, bersama dengan individu-individu yang diidentifikasi oleh penduduk setempat sebagai ultranasionalis Buddha, memasuki sekolah untuk memeriksanya.
Baca Juga: Inggris Hormati Putusan ICC, Belanda Siap Tangkap Netanyahu
Setelah itu, para pejabat mengganti gembok dan meletakkan garis kuning dan barikade di sekitar pintu masuk.
“Polisi di luar sekolah sejak itu menolak mengizinkan anggota masyarakat Muslim, termasuk mereka yang anak-anaknya bersekolah di sana, untuk masuk,” kata HRW.
Tidak Ditanggapi
Anggota komite sekolah mengatakan kepada HRW bahwa sekolah langsung mengirim surat ke kantor menteri daerah Yangon yang meminta agar sekolah dibuka kembali.
Baca Juga: Guido Crosseto: Kami akan Tangkap Netanyahu Jika Berkunjung ke Italia
Namun, sejauh ini mereka belum mendapat tanggapan.
Tin Myo Aung mengatakan bahwa beberapa ratus anak berusia antara 5 dan 12 tahun menimba ilmu di sekolah tersebut.
Human Rights Watch menyayangkan aksi penutupan tersebut karena telah memberangus hak anak-anak untuk mendapatkan pendidikan.
Wunna Shwe (54), sekretaris jenderal gabungan Dewan Urusan Agama Islam, mengatakan penutupan seperti ini sudah umum terjadi di Myanmar, dan juga memengaruhi kelompok agama minoritas lainnya, seperti orang Kristen.
Baca Juga: Militer Israel Akui Kekurangan Tentara dan Kewalahan Hadapi Gaza
“Menurut pengalaman kami, madrasah yang disegel atau ditutup hampir tidak pernah dibuka kembali,” kata Wunna Shwe.
Dia menambahkan sejak kekerasan di Taungoo, Daerah Bago, pada 2001 menyebabkan pemerintah menyegel sepuluh masjid, baru empat yang telah dibuka kembali. Human Rights Watch berulang kali mencoba menelepon komite informasi polisi Yangon, namun tidak ada yang bersedia mengomentari kejadian tersebut.(T/R11/RS3)
Baca Juga: ICC Keluarkan Surat Perintah Penangkapan Netanyahu dan Gallant