Hukum Bersuci Dengan Air Musta’mal

Oleh: Ust. ,Lc., Ustadz di Ma’had Al-Fatah Cilungsi, Bogor, Jawa Barat

Air musta’mal adalah air yang menetes dari anggota atau anggota tubuh saat mandi besar. Dan tidak termasuk air musta’mal dalam terminologi fikih, air bekas berendam.1

Apakah air musta’mal boleh kita gunakan untuk dari hadats? Para ulama berbeda pendapat dalam menghukuminya. Sebagian dari mereka membolehkan bersuci dengan air musta’mal. Pendapat ini dipegang oleh ulama madzhab Malikiyah. Hanya saja mereka memakruhkannya bila air tersebut hanya sedikit atau didapati jenis air lainnya yang suci dan mensucikan.2 Selain itu juga dipegang oleh ulama Al Dzahiriyah3, menjadi salah satu pendapat di kalangan Hanafiyah4 dan Syafi’iyah5 serta ada riwayat menyebut Imam Ahmad6 berpendapat demikian. Pandangan ini juga dipegang oleh Ibnu Taimiyah7, Syeikh Ibn Baaz8, Syeikh Al Albani9 dan Syeikh Ibnu Utsaimin.10

Sebagian ulama lainnya, diantaranya Al Laits dan Al Auza’i, berpendapat air musta’mal tidak boleh digunakan bersuci. Pandangan ini masyhur dinisbatkan kepada Imam Abu Hanifah11. Salah satu riwayat menyebut Imam Malik berpendapat demikian. Dan riwayat yang dzahir menyebut Imam Syafi’i juga berpendapat sama. 12

Dalil larangan bersuci dengan air musta’mal diantaranya hadits yang disebutkan dalam Sunan Abi Daud di mana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam melarang seseorang berwudhu dengan fadhl thahuur al mar’ah (sisa air bersuci wanita).13 Hadits ini dinilai hasan oleh sebagian ulama. Dan sebagian lainnya mendha’ifkannya.14

Lafadzh fadhl thahuur al mar’ah dalam Hadits itu, oleh mereka yang tidak membolehkan bersuci dengan air musta’mal, dibawa maknanya pada air musta’mal. Sebab makna fadhl adalah sisa air yang jatuh dari anggota tubuhnya. Adapun sisa air di bejana atau bak yang dipakai wanita tetap thahuur berdasarkan kesepakatan ulama.15

Selain itu ada juga Hadits Shahih yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abi Hurairah radliallahu’anhu di mana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang diantara kalian mandi di air yang menggenang sedang dia dalam keadaan junub!”16

Larangan tersebut dipahami oleh kelompok ini bahwa kesucian air tersebut telah hilang usai digunakan bersuci.

Adapun mereka yang membolehkan bersuci dengan air musta’mal mendasari pendapat pada firman Allah Ta’ala pada Surat Al-Furqan ayat 48,

 وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا

Lafadzh thahuur pada ayat tersebut ditafsirkan oleh Hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, dari Abi Umamah Al Bahily berikut,

“المَاءُ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهً شَيءٌ إِلَّا مَا غَيَّرَ طَعمَهُ أو لَونَهُ أو رِيحَهُ”

“Sesungguhnya air itu suci, tidak ada sesuatupun yang menajiskannya kecuali yang dapat merubah bau, rasa atau warnanya.” (HR Ibnu Majah)17

Hanya saja hadits tersebut didhaifkan oleh sejumlah ulama diantaranya Ibnu Majah, Al Baihaqi, Imam Syafi’I dan Imam Al Nawawi.18

Air musta’mal tidak mengalami perubahan pada tiga sifat tersebut. Sehingga berdasarkan Hadits itu air itu tetap dihukumi suci dan mensucikan.19

Selain itu ada juga Hadits yang menyebut saat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam hendak bersuci dengan air bekas bersuci Maimunah, ia berkata, “Yaa Rasulullah sungguh aku tadi dalam keadaan junub.” Maksudnya mandi dengan air tersebut dalam keadaan junub. Lalu beliau shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan,

“سُبحَانَ اللهِ! إِنَّ المَاءَ لَا يَجنُبُ”

“Subhanallah, sesungguhnya air itu tidak menjadi junub.” (HR Abu Daud)20

Hadits itu menunjukan bahwa air bekas mandi junub Maimunah tetap berada pada sifat asalnya, suci mensucikan. Selain itu air suci yang mengenai badan yang suci tidak menyebabkan hilangnya kesucian air tersebut.21

Lafadzh thahuur secara bahasa menunjukkan adanya sifat yang berulang-ulang atau sering. Seperti kata syakur yang artinya selalu bersyukur. Makna bahasa ini menunjukan air musta’mal bisa digunakan kembali untuk bersuci karena ia tetap thahuur, alias suci mensucikan.22

Ikhtisar dari pandangan dua kelompok tersebut adalah perbedaan dalam mengkategorikan air musta’mal, apakah termasuk air suci yang mensucikan atau air suci yang tidak mensucikan. Bagi kelompok pertama, air musta’mal tergolong suci dan mensucikan. Sedangkan kelompok kedua memasukkannya ke dalam jenis suci yang tidak mensucikan.

Selain dua pandangan yang saling berbeda di atas, muncul juga pandangan lain oleh Abu Yusuf yang menyebut air musta’mal merupakan air najis. Hanya saja Ibnu Rusyd menilai pendapat tersebut syadz (cacat)23

  1. Syeikh Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan makna isti’mal adalah mengalirkan air ke anggota wudhu, lalu air itu menetes darinya. Dan bukan termasuk air musta’mal, air bekas berendam. Melainkan yang menetes sisa mandi dengannya. (Asy Syarh Al Mumti’, 1/36).
  2. Mawahib Al Jalil karya Al Hathab 1/92 dan Syarh Muhtashar Khalil karya Al Kharasyi 1/74.
  3. Al Muhalla karya Ibnu Hazm (1/182), Al Istidzkar karya Ibnu Abdi Al Barr (1/201).
  4. Hasyiyah Ibnu ‘Abidin (1/181)
  5. Al Hawi Al Kabir karya Al Mawardi (1/296)
  6. Al Inshaf karya Al Mawardi (1/40)
  7. Majmu’ Fatawa (20/519)
  8. Majmu’ Fatawa Ibn Baaz (10/18)
  9. Al Tsmar Al Mustathab (5)
  10. Al Syarh Al Mumti’ (1/49)
  11. Badai’ Al Shonai’ (1/244/24), Hasiyah Ibnu ‘Abidin, (1/348/353), Mukhtashor Al Qaduri (13)
  12. Fatawa al Syabakah al Islamiyah, https://al-maktaba.org/book/27107/29045#p5 hal 75 dan https://www.islamweb.net/ar/fatwa/61710
  13. HR Abu Daud (82), At Tirmidzi (64), An Nasai (343), Al Baihaqi (915), Ibnu Majah (373), Ibnu Hibban (1260), Ahmad (20657) (3154), Ibnu Abi Syaibah (354), dan dishahihkan oleh Al Albani di Shahih Abu Daud (75).
  14. Syarh Matan Abi Syuja’ karya Muhammad Hasan Abdul Ghofar, 9 https://al-maktaba.org/book/32387/45
  15. https://www.alukah.net/sharia/0/118846
  16. HR Muslim, 684
  17. Juga Ath Thabrani dalam al Kabir (8/104), Al Daruquthni dalam Sunannya (1/28).
  18. Imam Al Nawawi mengatakan hadits ini dhaif dan tidak sah dijadikan hujjah (Al Majmu’, 2/69) https://ibnalnajjar.com
  19. Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz (18/10)
  20. Hadits tersebut dinilai Hasan Shahih oleh At Tirmidzi serta dishahihkan oleh sejumlah ulama diantaranya Ibnul ‘Arabi (‘Aridzat Al Ahwadzi 1/87), Ibnu Daqiq Al ‘Id (Al Iqtirah 124), Ibnul Qoyyim Al Jauziyah (A’laam Al Muwaqi’in, 1/334), Ibnu Rojab (Fath Al Bari, 1/284) dan Al Albani (Shahih Sunan Abi Daud (68) https://dorar.net/feqhia/18
  21. Majalah al Buhuts Al Islamiyah (64/26)
  22. Ahkaam Al Qur’an karya Al Jashash (5/211) dan Al Majmu’ karya An Nawawi (1/153) https://dorar.net/feqhia/18
  23. Bidayatul Mujtahid (66).

(A/RA2/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Wartawan: توفيق

Editor: Ali Farkhan Tsani

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.