Hukum “Kejam” India “Permalukan” Kashmir

Mantan Ketua Menteri Kashmir Omar Abdullah (kiri) dan Mehbooba Mufti (kanan). (Foto: dok. The Hindu)

Dua mantan Ketua Menteri yang dikelola India telah didakwa di bawah Undang-Undang Keamanan Publik (PSA) yang ketat, enam bulan setelah mereka ditahan.

Pihak berwenang pada Kamis, 6 Februari 2020, mendakwa Omar Abdullah dan Mehbooba Mufti di bawah PSA – hukum yang memungkinkan penahanan tanpa pengadilan hingga dua tahun – sebagai bagian dari tindakan keras untuk mencegah protes terhadap keputusan Pemerintah New Delhi yang menghapus otonomi daerah mayoritas Muslim itu.

Namun, seorang pejabat senior kepolisian di wilayah itu mengatakan kepada Al Jazeera bahwa PSA “ditampar” oleh dua mantan ketua menteri karena penahanan berdasarkan dakwaan yang diajukan saat ini, tidak dapat diperpanjang lebih dari enam bulan.

“Karena pemerintah kehabisan pilihan, PSA ditampar oleh mereka,” kata pejabat yang tidak mau disebutkan namanya itu.

Selain dua mantan ketua menteri, beberapa politisi arus utama telah ditahan di bawah hukum yang sama yang telah digambarkan “kejam” oleh lembaga HAM Amnesty International.

Pemerintah nasionalis Hindu India memberlakukan penguncian keamanan di Kashmir beberapa jam sebelum membatalkan Pasal 370 konstitusi yang memberikan status khusus Kashmir dan melindungi demografinya.

Mantan Ketua Menteri Kashmir Farooq Abdullah. (Foto: The Kashmir Window)

Tindakan keras besar-besaran

Ribuan orang telah ditangkap, termasuk politisi pro-India dan separatis, sebagai bagian dari tindakan keras besar-besaran India yang telah dikritik oleh badan hak asasi manusia PBB.

Sebelumnya, pemerintah India yang dipimpin oleh partai sayap kanan Bharatiya Janata (BJP), juga menahan Farooq Abdullah, seorang ketua menteri tiga kali dan anggota parlemen, di bawah hukum yang sama. Farooq telah menyelesaikan setengah tahun masa tahanannya.

Anggota keluarga Abdullah telah memerintah wilayah mayoritas Muslim itu selama hampir 70 tahun terakhir.

Langkah-langkah tegas terhadap politisi arus utama diambil India setelah mereka sangat menentang langkah pemerintah yang membatalkan undang-undang khusus yang telah memberikan wilayah tersebut konstitusi yang terpisah, bendera dan melarang orang luar memiliki permukiman permanen.

Di saat Pemerintah India mengklaim bahwa keadaan di Kashmir normal, ketegangan terus berlanjut karena sebagian layanan internet terus diputus di wilayah tersebut dengan pembatasan ketat terhadap perbedaan pendapat.

Iltija Mufti, putri mantan Ketua Menteri Mehbooba Mufti, yang Partai Rakyat Demokratik (PDP) pimpinannya menjalankan pemerintahan daerah dalam aliansi dengan BJP, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa pemerintah “sedang berusaha untuk menjadi republik pisang.”

Republik Pisang (Banana Republic) adalah sebutan yang pertama diberikan tahun 1950-an kepada republik-republik penghasil pisang di Amerika Latin yang diperintah secara sewenang-wenang (otoriter)  oleh diktator.

“Bagi mereka pernyataan yang diletakkan dengan perpecahan dan kefanatikan dapat diterima. Tetapi jika kita membela rakyat kita, karena Jammu dan Kashmir adalah satu-satunya negara bagian mayoritas Muslim di India, mereka memberi kita hukuman kolektif yang dimulai dengan melumpuhkan orang-orang utama dan kemudian menciptakan psikosis rasa takut,” katanya.

“Farooq Abdullah adalah anggota parlemen dan Anda tidak dapat menghukum seseorang yang merupakan wakil terpilih. Adalah hak fundamentalnya untuk mengatakan apa yang dirasakannya dan memiliki hak untuk menghadiri parlemen. Tetapi tidak ada rasa hormat terhadap supremasi hukum. India tidak bisa berperilaku seperti otokrat,” katanya.

 

“Kashmir dipermalukan”

Imran Nabi Dar, seorang politisi dari Konferensi Nasional (NC), menyebut “tamparan” PSA pada kedua pemimpin itu “mengejutkan”.

“Tidak pernah disangka bahwa hal-hal akan datang ke titik ini,” katanya.

Menurutnya, tokoh-tokoh utama yang berpartisipasi dalam arus utama politik penguasa sebagai pekerja partai, “dibunuh” demi menyelaraskan dengan politik pemilu.

“Saya tidak tahu ke mana kita menuju, itu adalah terowongan gelap,” katanya. “Tidak ada turis di sini, ekonomi di ujung tanduk, dan tidak ada kegiatan politik. Dengan membuka toko dan mobil bergerak bukan berarti normal. Orang Kashmir dipermalukan lagi dan lagi.”

Seorang pengamat politik yang tinggal di Kashmir mengatakan, tindakan itu menunjukkan “rasa tidak aman” pemerintah.

“Itu berarti bahwa pemerintah cukup tidak aman untuk memungkinkan politisi terpilih dengan hukum mereka sendiri untuk masuk ke dalam gambar. Hal lain adalah tidak mengizinkan kebebasan berekspresi, tidak peduli apa yang dikatakan Mehbooba dan Omar,” kata Siddiq Wahid, yang tinggal di Srinagar, kota utama di wilayah yang disengketakan.

India dan Pakistan yang telah berperang dua dari tiga perang mereka atas Kashmir, mengklaim wilayah itu secara penuh, tetapi hanya mengendalikan sebagian saja. (AT/RI-1/P1)

Sumber: Al Jazeera

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.