IDEAS: Impor Pangan Strategis Masih dikuasai Segelintir Negara

Jakarta, MINA – Lembaga Riset Institute For Demographic and Poverty Studies () menyoroti besarnya resiko yang akan dihadapi pemerintah karena ketergantungannya kepada pasar global, yaitu ketika sumber strategis hanya bergantung pada segelintir negara saja.

Dengan kata lain, ketahanan pangan nasional bersandar pada pijakan rapuh politik pangan beberapa negara.

“Sebagai contoh, pada 2021, dari 2,5 juta ton kedelai impor, 87 persen-nya hanya berasal dari Amerika Serikat saja. Padahal lebih dari 91 persen kebutuhan kedelai nasional harus dipenuhi oleh impor. Di tahun yang sama, dari 11,2 juta ton gandum impor, 84 persen-nya berasal dari tiga negara saja,” kata Yusuf Wibisono, Direktur IDEAS dalam keterangan tertulisnya yang diterima MINA, Kamis (21/7).

Yusuf mengatakan, di tahun yang sama, dari 11,2 juta ton gandum impor, 84 persen-nya berasal dari tiga negara saja, yaitu Australia, Ukraina dan Kanada. Padahal kebutuhan gandum nasional sepenuhnya bergantung pada impor karena Indonesia tidak memproduksi gandum sama sekali.

“Kasus lebih ekstrim terjadi pada bawang putih, di mana lebih dari 93 persen kebutuhan nasional harus dipenuhi oleh impor namun seluruh impor hanya bersumber dari satu negara, yaitu Tiongkok,” ungkapnya.

Selain sumbernya yang bergantung kepada bebeapa negara saja, resiko besar juga datang dari fluktuasi harga dan ketersediaan pasokannya. Hal tersebut diperparah oleh politik proteksionisme pangan yang diterapkan puluhan negara sebagai respon dari krisis pangan global yang disebabkan oleh perubahan iklim dan konfilk Rusia-Ukraina.

“Demi mengamankan pasokan pangan domestik, puluhan negara telah melakukan kebijakan ekstrim dengan melarang ekspor pangan. Bila diawal tahun hanya tiga negara yang melakukan politik proteksionisme pangan, jumlah itu kini melonjak mencapai 24 negara,” tutur Yusuf.

Politik proteksionisme pangan internasional ini tidak hanya mengambil bentuk pelarangan ekspor pangan saja namun juga pengetatan perizinan ekspor pangan dan pajak atas ekspor pangan sehinga harga pangan di pasar global-pun kian melonjak.

“Sejumlah komoditas pangan strategis mengalami kenaikan harga yang drastis dalam 6 bulan terakhir. Jagung dan Kedelai mengalami kenaikan harga hingga 30 persen, berturut-turut dari kisaran $ 265 dan $ 554 per ton pada Desember 2021, menjadi kisaran $ 345 dan $ 724 per ton pada Mei 2022,” papar Yusuf.

Gandum bahkan mengalami kenaikan harga hingga kisaran 40 persen, dari $ 377 per ton menjadi $ 522 per ton. Sedangkan beras mengalami kenaikan harga di kisaran 15 persen, dari $ 400 per ton menjadi $ 464 per ton.

“Dihadapkan pada lonjakan harga pangan global dan politik proteksionisme pangan internasional, Pada 2021, Indonesia masih mengimpor sejumlah komoditas pangan strategis dalam jumlah signifikan bernilai puluhan US$ miliar antara lain beras 400 ribu ton, garam 2,8 juta ton, gula 5,5 juta ton, kedelai 2,5 juta ton, gandum 11,2 juta ton dan daging sapi 273 ribu ton,” ujar Yusuf.

Hingga kini impor pangan masih membanjiri negeri, bahkan semakin deras. Total impor untuk sembilan komoditas pangan utama pada tahun 2021, mencapai 24,5 juta ton senilai US$ 10,4 miliar. Angka ini meningkat dari kondisi 2014, dimana impor untuk 9 komoditas pangan utama saat itu 19,7 juta ton senilai US$ 8,5 miliar.

“Banjir impor pangan adalah ironi besar bagi negeri agraris seperti Indonesia. Dengan bentang alam yang sangat luas hingga 191 juta hektar, tanah yang subur, iklim yang relatif terduga dengan sinar matahari yang berlimpah dan curah hujan yang tinggi, seharusnya kedaulatan dan kemandirian pangan bukanlah mimpi bagi ini,” tutup Yusuf.(R/R1/B04)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.