Jakarta, MINA – Lembaga Advokasi Halal, Indonesia Halal Watch (IHW), mendorong agar Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam sektor industri halal dunia.
Hal tersebut sejalan dengan perkembangan industri halal di seluruh dunia yang terus meningkat dalam beberapa tahun ini, khususnya untuk produk makanan, keuangan, fashion, kosmetik dan obat-obatan, media, serta pariwisata.
“Indonesia harus maksimal mengambil keuntungan dari bisnis produk halal yang sangat potensial dan market size-nya yang sangat besar, karena meliputi makanan, minuman, kosmetika, obat-obatan, fashion dan halal tourism,” kata Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah saat temu media sebagai bentuk refleksi akhir tahun dengan mengusung tema “Posisi Indonesia dalam Industri Halal Dunia dan Kondisi Sertifikasi Halal Saat ini” di Jakarta, Senin (23/12).
Menurutnya, saat ini Indonesia masih menempati posisi utama sebagai negara konsumen terbesar yang membelanjakan hampir USD170 miliar dolar AS per tahun untuk produk halal, berdasarkan data Global Islamic Economy indicator 2018/2019.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Dalam laporan tersebut, Indonesia merupakan konsumen makanan halal terbesar dunia. Begitu juga dengan pasar busana muslim, di mana warga Tanah Air merupakan konsumen terbesar ketiga dunia, serta pariwisata halal yang menjadi konsumen terbesar kelima secara global.
“Artinya bila kita dapat memasok kebutuhan sendiri, maka kita akan menghemat devisa sebesar Rp. 2.465 Triliun Rupiah per tahun,” ujar Ikhsan.
Sektor terbesar kedua yang harus dikejar, lanjut dia, adalah kosmetika halal yang potensial menyumbangkan pendapatan bagi negara. “Karena di sektor ini bukan hanya kebutuhan wanita saja untuk kosmetika. Pria juga sebagian besar menggunakan kosmetika, bahkan sekarang sudah bermunculan produk kosmetika yang dapat dipergunakan untuk pria dan wanita (unisex),” imbuh Ikhsan.
Selanjutnya, menurutnya, Pemerintah lndonesia harus dapat memacu riset agar dapat menghasilkan berbagai obat dan vaksin halal yang sampai saat ini masih didominasi oleh obat dan vaksin yang masih berbahan baku nonhalal.
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
“Universitas di Indonesia agar fokus melakukan penelitian untuk dapat menghasilkan bahan pengganti obat dan vaksin yang tidak halal dengan bahan substitusi yang halal. Ini wajib dilakukan dalam lima tahun ini,” kata Ikhsan.
Dia menyatakan, Indonesia harus dapat mengambil hikmah dari Negara Senegal yang beberapa waktu lalu telah berhasil menemukan bahan Vaksin Yellow Fever dari bahan substitusi yang halal, dan kini negara tersebut mendulang devisa dari perdagangan vaksin di kawasan Afrika Barat.
“Bila Indonesia dapat mencontoh Senegal, maka kita tidak perlu membelanjakan triliunan rupiah untuk pengadaan Vaksin BCG, Dipteri, campak, cacar, meningitis, serviks dan lainnya. Ini sekaligus tantangan Biofarma sebagai industri vaksin terbesar untuk mampu berkolaborasi dengan universitas untuk memperkuat riset, untuk jenis Vaksin MR,” pungkasnya.
Segera Berbenah
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?
Ikhsan menyayangkan kondisi negara ini saat ini masih terus berputar-putar pada persoalan sertifikasi halal, bahkan sampai pada stagnasi proses pendaftaran sertifikasi halal, dikarenakan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang bersikeras tetap mengambil alih pendaftaran sertifikasi halal, nyatanya belum siap.
“Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 982 Tahun 2019 tentang Layanan Sertifikasi Halal sebagai bentuk diskresi untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dinilai sudah tepat, agar UU JPH dapat dijalankan sekalipun BPJPH dan infrastruktur lainnya belum siap,” ujarnya.
Ikhsan mengatakan, UU JPH tetap dapat dijalankan dengan memberikan kewenangan kepada Lembaga Pengkajian Pangan Obat dan Makanan (LPPOM MUI) yang selama ini telah menjalankan fungsi tersebut.
“Jadi saat ini orientasi kita harus sudah bergeser untuk tidak lagi membahas dan berpolemik tentang sertifikasi halal, apalagi mengharapkan masukan dari sertifikasi halal sebagai penerimaan Negara nonpajak, karena bukan saja mundur tapi juga membebani Keuangan Negara,” tegasnya.
Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal
Menurut Ikhsan, hal yang harus dilakukan saat ini bagaimana Indonesia dapat menikmati keuntungan dari Perdagangan Industri Halal dan Indonesia menjadi industri utama dunia dalam perdagangan produk halal.
“Karena Sertifikasi halal itu hanya salah satu instrumen saja.Indonesia harus menjadi negara industri utama dunia dalam industri Halal,” tambahnya.
Sementara Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Publik & Hubungan Antar Lembaga, Gabungan Pengusaha Makanan & Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Rachmat Hidayat yang juga hadir sebagai pembicara, mengatakan, sebelum menerapkan aturan wajib sertifikasi halal, pemerintah perlu membenahi beberapa aspek terlebih dahulu.
Rachmat menjelaskan, aspek-aspek yang perlu dibenahi terlebih dahulu diantaranya kesiapan auditor halal dan perbaikan sistem keamanan pangan serta cara memproduksi pangan yang baik.
Baca Juga: BPJPH, MUI Tuntaskan Nama Produk Bersertifikat Halal
“Saat ini BPJPH belum mempersiapkan dengan baik jumlah auditor halal. Sementara keamanan pangan itu (juga) masih jadi PR (pekerjaan rumah) di Indonesia,” ujarnya.(L/R01/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)