Jakarta, MINA – Lembaga advokasi halal Indonesia Halal Watch (IHW) menilai Indonesia memiliki potensi menjadi pusat bisnis halal dunia, termasuk pada sektor logistik.
Terlebih secara regulasi oleh pemerintah telah didukung melalui Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).
Direktur Eksekutif IHW Dr. Ikhsan Abdullah mengatakan, pengembangan logistik halal di Indonesia dalam beberapa tahun mendatang perlu didorong dan diarahkan untuk pengelolaan logistik halal dalam sistem manajemen rantai pasok secara terintegrasi.
“Capaian tersebut bisa terwujud dengan catatan ekosistem industri halal telah terbangun dan semua pelaku bisnis melakukan kolaborasi. Sementara industri halal Indonesia masih berkutat pada sertifikasi halal produk belum memperhatikan pergerakan barang sampai ke tangan pelanggan,” kata Ikhsan saat Diskusi Publik yang diselenggarakan IHW di Jakarta, Senin (6/1).
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Diskusi Publik dengan mengambil tema “Menjadikan Indonesia sebagai Negara Utama dalam Industri Halal Dunia” ini menghadirkan pembicara antara lain Doni Wibisono (Ketua Komite Kebijakan Publik dan Hubungan Antar Lembaga GAPMMI), Tulus Abadi (Ketua Pengurus Harian YLKI), R. Didiet Rahmad Hidayat (Peneliti Transportasi dan Logistik Halal dari Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Trisakti) serta Iwan Setiawan (Sekretaris Bidang Perencanaan dan Pengembangan Biofarma) dengan moderator Direktur Eksukutif IHW Dr. Ikhsan Abdullah.
Ikhsan juga menilai, cetak biru pengembangan logistik halal perlu segera disusun, sebagai rencana induk pengembangan logistik halal di Indonesia.
Setidaknya, lanjut dia, dalam penyusunan rencana induk ini mencakup beberapa isu penting seperti koordinasi kelembagaan, kebijakan dan regulasi, pengembangan industri, edukasi masyarakat, integritas halal, sektor prioritas, teknologi, kompetensi SDM, dan penelitian dan pengembangan.
“Cetak biru logistik halal perlu dibuat dengan melibatkan banyak pihak mulai dari pemerintah, produsen, penyedia jasa logistik, pengecer, dan lembaga sertifikasi terkait,” ujar Ikhsan.
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
Peneliti Transportasi dan Logistik Halal Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi (STMT) Trisakti R. Didiet Rahmad Hidayat mengatakan, untuk mewujudkan Indonesia sebagai pusat industri halal dunia perlu dorongan semua asosiasi yang terkait bersepakat dan membuat komitmen logistik halal.
“Jangan setiap asosiasi memiliki standar lain, semuanya harus kolaborasi, harus satu demi menjamin halal value chain. Mereka juga harus sadar pasar halal begitu besar, tidak hanya mencakup makanan dan minuman saja,” kata Didiet.
Dia menilai logistik halal memiliki tantangan tersendiri yaitu terkait sisi permintaan dari masyarakat atau konsumen bahwa logistik halal tidak menjadi suatu keharusan atau kebutuhan. Hal itu berbeda dengan negara lain yang menetapkan kebutuhan logistik halal.
Saat ini, menurutnya, kondisi kehalalan di Indonesia lebih mengarah kepada konten kandungan suatu makanan atau bahan tertentu, belum kepada proses produk itu sampai kepada konsumen. Proses itu dimulai dari pergudangan, transportasi dan sebagainya.
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?
Berangkat dari persoalan itu, lanjutnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) hingga kini belum banyak melakukan sertifikasi halal terhadap sektor logistik karena kebutuhan tersebut belum menjadi suatu keharusan.
Adapun, Indonesia sudah mengatur logistik halal melalui UU JPH yang berisi tentang proses awal hingga pengiriman barang sampai ke tangan konsumen terjamin halal.
“Seiring bertumbuhnya kesadaran kebutuhan produk dan jasa halal tersebut mendorong memberi peluang bisnis pelaku logistik agar bisa ikut bermain dalam ekosistem halal supply chain atau logistik halal,” imbuhnya.
Dia menjelaskan, setidaknya ada 10 sektor yang secara ekonomi dan bisnis berkontribusi besar dalam industri halal. Di antaranya, sektor industri makanan, wisata dan perjalanan, pakaian dan fesyen, kosmetik, finansial, farmasi, media dan rekreasional, kebugaran, pendidikan dan seni budaya.
Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal
Didiet mengatakan, proses operasional logistik halal membutuhkan beberapa kegiatan tambahan dalam menangani dan mengelola produk.
Misalnya, lanjut dia, harus ada pemisahan moda transportasi produk halal dan yang tidak halal. Jika sebuah truk sudah digunakan untuk mengirim produk tidak halal dan akan digunakan untuk mengirim produk halal, truk tersebut harus disucikan dengan cara dibersihkan menggunakan tanah (atau bahan kimia yang memiliki sifat yang sama dengan tanah) sebanyak tujuh kali.
Penempatan produk halal dan tidak halal juga harus dipisah, minimal dikemas dengan kemasan yang tidak akan mencampurkan produk halal dan tidak halal.
Tantangan lain adalah memperoleh sertifikasi halal dari MUI yang membutuhkan proses audit dari hulu sampai ke hilir sebuah sistem logistik.
Baca Juga: BPJPH, MUI Tuntaskan Nama Produk Bersertifikat Halal
“Bayangkan jika proses pengolahan produk, gudang, kemasan produk, pengiriman, semua diaudit. Dalam satu sistem logistik pun ada banyak perusahaan, aset, dan jenis produk yang terlibat. Ada proses konsolidasi yakni beragam jenis produk dari beragam lokasi berkumpul sehingga setiap produk harus selalu diberi label yang sah, apakah sudah melalui proses yang halal atau tidak,” tambahnya.
Berdasarkan laporan dari Thompson Reuters, Pertumbuhan pasar syariah global diperkirakan akan mencapai USD$ 3 triliun dolar pada 2023 mendatang. Selain itu, orang-orang di dunia mulai sadar bahwa halal itu bermanfaat untuk berbagai aspek di kehidupan sehari-hari.
Sementara seperti yang ditulis oleh Ricky Virona Martono (Trainer Trainer, Executive Development Services – PPM Manajemen), besaran pasar Logistik Halal adalah US$2,3 triliun dengan sebaran terbesar di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika (Abdullah, 2015). Nilai ini sekitar Rp30.000 triliun atau tiga kali lipat PDB Indonesia. (L/R1/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)