IHW: Perlu Kejelasan Pemerintah Soal Mandatory Sertifikasi Halal

(Foto: Rana/MINA)

Jakarta, MINA – Lembaga Advokasi , Indonesia Halal Watch (IHW) memandang perlunya sikap yang jelas dari Pemerintah terkait mandatory saat ini agar tidak menimbulkan keraguan bagi dunia usaha dan industri.

Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah mengatakan, kejelasan dan kejujuran Pemerintah sangat diperlukan guna menghindari ketidakpastian penyelenggaraan sistem jaminan halal dan ketersediaan produk halal di masyarakat sesuai amanat Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH).

Menurutnya, hal ini jangan sampai menimbulkan ketidakpastian bagi menurunnya daya saing dunia usaha dan industri serta berdampak pada perekonomian nasional.

“Ini diperlukan kejelasan dan kejujuran dari Pemerintah. Apakah mandatory sertifikasi halal dapat dijalankan melalui (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) pada saat ini atau sementara tetap dilakukan oleh LPPOM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetik Majelis Ulama Indonesia),” kata Ikhsan saat menyampaikan sambutan pada Seminar Nasional Sertifikasi Halal di Jakarta, Senin (16/4).

Seminar Nasional Sertifikasi Halal yang digelar IHW bertema “Mandatory Sertifikasi Halal oleh BPJPH, LPPOM-MUI, atau BPJPH & LPPOM-MUI” itu dihadiri dunia usaha, akademisi, mahasiswa pegiat dan komunitas Halal serta masyarakat.

Seminar Nasional tersebut juga dihadiri sebagai pembicara yakni Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya (Deputi III) Badan POM Suratmono, dan Komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Arif Safari.

Dia menyatakan, jika BPJPH saat ini belum siap, Mandatori Sertifikasi Halal harus tetap dijalankan dengan berbagai skema kemudahan bagi dunia usaha, misalnya pemberian pentahapan waktu bagi sektor industri tertentu, penguatan LPPOM MUI dari segi kelembagaan, organisasi, jumlah Auditor halal dan sarana laboratorium.

Sejak 17 Oktober 2014 UU JPH diundangkan, lanjut Ikhsan, sampai saat ini belum dirasakan kehadirannya bagi masyarakat, serta belum memiliki pengaruh yang signifikan terhadap dunia usaha dan percepatan industri halal di Tanah Air.

“Kita tertinggal dari Malaysia, Singapura bahkan Thailand,” ujarnya.

Ikhsan mengatakan, kondisi seperti ini menunjukan kurang seriusnya perhatian Pemerintah terhadap industri halal, dan ketersediaan produk halal, sesuai harapan masyarakat. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama terlihat gamang untuk melaksanakan Sistem Jaminan Halal sesuai perintah Undang-Undang.

Dia menyayangkan Peraturan Pemerintah (PP) Jaminan Produk Halal sebagai peraturan pelaksana undang-undang tidak kunjung terbit dan berkontribusi menjadikan tidak berfungsinya BPJPH.

Tarik menarik kepentingan antara kementerian terkait dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) menyebabkan terhambatnya penerbitan Peraturan Pemerintah “karena memang harus sinkron dan harmoni.”

Macetnya Pembahasan PP tidak perlu dihawatirkan berlebihan itu akan menimbulkan persoalan baru dalam pelaksanaan UU JPH dan berimplikasi pada penerapan sistem jaminan halal di Indonesia, karena UU JPH telah memiliki exit close untuk mengantisipasi keadaan ini.

“Sampai saat ini belum lahir satu pun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) yang mendapatkan akreditasi dari BPJPH dan MUI, karena syarat terbentuknya LPH harus terlebih dahulu memiliki auditor halal yang telah disertifikasi oleh MUI,” imbuhnya.

Ikhsan menyebutkan, ada 1.700-an Auditor Halal yang ada saat ini adalah yang dimiliki LPPOM MUI yang dihasilkan selama 29 tahun.
Nmaun BPJPH dan MUI hingga kini belum rampung merumuskan standar akreditasi bagi LPH dan Sertifikasi bagi Auditor halal pasca diundangkannya UU JPH.

Dia mengharapkan, kondisi ini diharapkan tidak menimbulkan keraguan dan kegamangan apalagi kegalauan bagi dunia usaha dan Industri serta UKM yang akan mengajukan permohonan dan perpanjangan sertifikasi halal.

“Serta tidak perlu juga harus menunggu karena UU JPH telah cukup memberikan instrumen untuk mengantisipasi keadaan demikian, yakni melalui skema yang telah disiapkan pembuat Undang-Undang, yakni menunjuk Pasal 59 dan 60 UU JPH,” tambahnya. (L/R01/RI-1)

Mi’raj News Agency (MINA)