Oleh: Drh. Supratikno, MSi., PAVet., Dosen Fakultas Kedokteran Hewan IPB University dan Peneliti Penyembelihan Halal di Halal Science Center IPB University
Sejak diterbitkannya Undang-undang No 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), sistem sertifikasi halal di Indonesia mengalami perubahan yang cukup fundamental. Yaitu yang semula bersifat sukarela menjadi bersifat wajib serta dimungkinkan pendirian Lembaga Pemeriksa Halal selain Lembaga Pengkajian Pangan Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).
Meskipun demikian, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), suatu badan yang didirikan di bawah Kementerian Agama yang bertugas menjalankan amanat UU No 33 tahun 2014, belum banyak memberikan peranan yang signifikan.
Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang telah disahkan oleh DPR juga mengubah beberapa pasal yang ada di dalam UU JPH. Salah satu hal yang cukup menarik untuk dicermati adalah dengan diselipkannya pasal 4A UU Ciptaker yang memberi peluang sertifikasi halal kepada unit-unit Usaha Mikro dan Kecil (UMK) didasarkan pada peryataan pelaku usaha. Adapun pernyataan pelaku UMK tersebut nantinya dilakukan berdasarkan standar yang ditetapkan BPJPH.
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Kebijakan tersebut menjadi angin segar kepada pelaku UMK karena dapat mempermudah proses sertifikasi kehalalan produk yang mereka miliki, apalagi dengan dukungan Kementerian Keuangan yang berencana menggratiskan proses sertifikasi halal pada UMK. Namun demikian, kebijakan ini membawa dampak yang sangat luas bagi UMK dan masyarakat luas.
Dari sisi konsumen, kebijakan ini berdampak pada kaburnya esensi dari sertifikat halal terhadap produk yang beredar. Sebenarnya, sertifikasi halal berdasarkan pernyataan pelaku usaha bukan tidak mungkin untuk dilakukan terutama pada UMK yang hanya menggunakan bahan-bahan yang termasuk ke dalam positive list atau daftar positif bahan halal.
Tentu saja hal ini harus didukung pemerintah, dalam hal ini BPJPH, untuk mengeluarkan daftar positive list maupun negative list yang memadai. Meskipun demikian hal ini sulit untuk dilakukan pada UMK yang menggunakan bahan tambahan pangan yang kehalalannya belum tentu terjamin dan UMK yang menggunakan bahan baku asal hewan.
Saat ini banyak sekali Tempat Pemotongan Hewan (TPH) tradisional yang dimiliki perseorangan yang belum memenuhi standar keamanan pangan maupun standar kehalalan.
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
Untuk menyediakaan daging yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH), Rumah Potong Hewan (RPH) harus memenuhi persyaratan audit Nomor Kontrol Veteriner (NKV) serta Standar Nasional Penyembelihan Halal pada unggas dan ruminansia (SNI 99002 2016 dan SNI 99003 2018).
Dari segi keamanan pangan asal hewan, berdasarkan Permentan No 11 tahun 2020, sertifikat NKV diberikan kepada unit usaha yang telah memenuhi standar dengan berbagai kriteria penjenjangan dari tingkat yang paling rendah. Yaitu NKV 3 sampai dengan paling baik yaitu NKV 1.
Sedangkan dari sisi kehalalan, merupakan tantangan tersendiri bagi BPJPH untuk mengeluarkan standar halal yang dapat melingkupi semua unit usaha pemotongan dari mulai TPH tradisional sampai dengan RPH yang modern.
Jika nantinya standar yang dikeluarkan oleh BPJPH mengacu pada SNI 99002 20016 dan SNI 99003 2018 yang sudah ada, maka tantangan besar dihadapi oleh TPH tradisional dan juga UMK yang melakukan penyembelihan sendiri. Seperti warung sate dan usaha aqiqah, karena sampai saat ini masih sangat jarang RPH khusus kambing dan domba.
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?
Kalau mereka ingin tetap eksis, perlu pendampingan yang sangat serius atau sangat intens dari pemerintah maupun pusat halal dari perguruan tinggi untuk membina TPH tradisional tadi.
Setidaknya terdapat dua aspek utama yang harus dibenahi pemerintah dan semua instansi yang terkait dengan penyediaan bahan pangan asal hewan yang halal. Yaitu perbaikan fasilitas, sarana dan prasarana yang terstandar di RPH dan peningkatan kompetensi juru sembelih sesuai dengan SKKNI no 196 2014.
Menimbang kondisi yang ada saat ini di lapangan, pasal 4A tersebut masih sangat riskan bila diterapkan di Indonesia terutama sebagai dasar sertifikasi halal. Pasal tersebut dapat diimplementasikan lebih mudah bila diterapkan pada masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran dan disiplin diri yang tinggi. Juga pada negara yang memiliki RPH yang menerapkan sistem block chain yang terintegrasi.
Perguruan tinggi melalui Halal Center yang dimilikinya harus aktif berperan dalam mengawal penyusunan Peraturan Pemerintah dan turunannya beserta standar yang akan diterbitkan oleh BPJPH. Misalnya standar jaminan produk halal di UMK, aktif melakukan pendampingan dan pelatihan terhadap juru sembelih RPH maupun unit usaha yang melakukan pemotongan hewan secara mandiri, aktif melakukan pendampingan penerapan sistem jaminan mutu halal di tiap unit usaha hingga mengenai cara memperoleh bahan baku yang sudah tersertifikasi halal.
Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal
Perguruan tinggi juga dapat berperan dengan menciptakan teknologi tepat guna yang memungkinkan untuk diterapkan di TPH-TPH tradisional.
Masih banyak sekali yang harus diperbaiki. Terutama pada teknik pemotongan dan perbaikan sarana dan prasarana penyembelihan unggas karena tingkat penyimpangan di pasar-pasar maupun di TPH tradisional masih banyak yang belum memenuhi persyaratan terutama jika mengacu pada SNI 99002:2016.
BPJPH sebagai lembaga yang berwenang untuk menetapkan standar, dapat mempertimbangkan standar yang memenuhi syariat dan dapat diterapkan oleh semua RPH, baik tradisional maupun modern.
Bila menerapkan suatu standar tanpa adanya pelevelan dan penjenjangan maka hanya akan menguntungkan unit-unit usaha yang besar dan secara tidak langsung justru akan mematikan unit usaha mikro dan kecil.(AK/R1)
Baca Juga: BPJPH, MUI Tuntaskan Nama Produk Bersertifikat Halal
Mi’raj News Agency (MINA)