Oleh: Dr. Fuad Nashori, Ketua Dewan Pakar Asosiasi Psikologi Islam-HIMPSI, Dosen Universitas Islam Indonesia
Saya kenal baik Guru Besar Psikologi Islam pertama dunia, Prof Dr Achmad Mubarok, ketika saya mendapat amanat sebagai Ketua Umum Asosiasi Psikologi Islami – HIMPSI (2003-2007; 2007-2011). Suatu saat saya mendapat sesuatu yang surprise dari beliau. Beliau berkenan mengundang saya untuk hadir dalam pengukuhan beliau –sebagaimana diungkapkan oleh founding father psikologi Islam Prof Malik B Badri– sebagai guru besar psikologi Islam pertama di Indonesia bahkan di dunia. Tentu dengan senang hati saya memenuhi undangan beliau, apalagi beliau sudah mengirimkan tiket pesawat untuk kehadiran saya di UIN Jakarta itu.
Setelah itu kami bertemu di berbagai kota, seperti Semarang, Malang, dan tempat tinggal saya di Yogyakarta. Ketika berada di Yogyakarta beliau suka mengundang saya untuk menemui beliau di hotel tempat beliau menginap. Bila tak ada kesibukan yang sangat penting, saya selalu usahakan untuk menemani beliau.
Di sana kami bisa berbincang mengenai banyak hal, mulai dari pengembangan psikologi Islam, pengembangan Asosiasi Psikologi Islam, kehidupan pribadi kami, dan sekali-kali juga berbicara masalah politik. Politik pastinya menarik untuk dibicarakan, apalagi beliau adalah praktisi partai politik. Waktu itu beliau Wakil Ketua Umum Partai Demokrat dan sesudahnya beliau menjadi anggota Dewan Pembina partai.
Baca Juga: Cuaca Jakarta Berawan Tebal Senin Ini, Sebagian Berpotensi Hujan Ringan
Salah satu pertanyaan yang masih saya ingat dengan baik yang saya ajukan kepada beliau adalah mengapa memilih partai nasionalis seperti Partai Demokrat dan bukan memilih partai berbasis agama? Waktu itu tokoh kita ini sedang menjadi wakil ketua umum partai yang didirikan SBY. Beliau memberikan jawaban yang sangat mengesankan saya: “Saya ingin mendampingi SBY melewati tikungan sejarah!”
Apa itu tikungan sejarah? Beliau mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia belum lama berubah dari masyarakat yang cenderung represif menjadi masyarakat yang lebih terbuka. Proses perubahan itu sedang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden Republik Indonesia saat itu. Dalam perubahan seperti ini perlu ada seseorang yang memiliki idealisme yang bertugas mendampingi para pemimpin negara yang sedang menjadi aktor negara.
Prof Achmad Mubarok menggambarkan dirinya sebagai seorang sahabat yang menemani SBY melewati berbagai macam perubahan yang bisa mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang lebih makmur dan sejahtera.
Untuk menjaga konsistensinya di jalur independen, beliau memilih untuk tidak menduduki jabatan publik sejenis DPD, DPR, bahkan Mentri. Saya sendiri selama ini berusaha mengamati sepak terjang beliau.
Baca Juga: Kapal Jagantara Kandas di Pulau Kandang Lunik Bakauheni
Alhamdulillah, sampai sekarang ini beliau masih istiqomah untuk tidak memiliki jabatan apapun dari presiden SBY atau dari presiden berikutnya. Dengan posisinya yang independen, beliau bebas memberi masukan untuk memajukan bangsa dengan cara menemani SBY sebagai pemimpin bangsa.
Saya sangat mengapresiasi semangat Prof Achmad Mubarok untuk mendampingi SBY mengelola negara. Orang-orang penting seperti presiden memang harus didampingi orang-orang yang memiliki akal sehat (jernih pemikirannya) seperti Prof Mubarok. Berita baiknya adalah kepemimpinan SBY untuk Indonesia dapat dibilang berhasil dan bangsa Indonesia tampak sangat terasa sebagai satu kesatuan.
Pada 4 Mei 2023 saya dengar berita duka tentang kembalinya beliau ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Semoga Allah membalas beliau dengan balasan terbaik, berupa rahmat dan ridha-Nya.(AK/R1/P1)
Baca Juga: BPJPH Sosialisasikan Sertifikasi Halal untuk UMKM Warteg Se-Jabodetabek
Mi’raj News Agency (MINA)