Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

INDONESIA PERLU JURNALISME PROFETIK (KENABIAN)

Admin - Selasa, 1 April 2014 - 02:28 WIB

Selasa, 1 April 2014 - 02:28 WIB

670 Views ㅤ

Oleh:Parni Hadi*

Jakarta. Indonesia yang telah menikmati kebebasan pers selama 15 tahun berkat UU no 40 tahun 1999 tentang pers memerlukan “genre” jurnalisme profetik (kenabian) atau jurnalisme cinta untuk mengawal kebebasan agar mencapai tujuan diharapkan, yakni terciptanya masyarakat yang adil makmur, bersahabat dan bermartabat.

Hal itu disampaikan Parni Hadi, wartawan senior, dalam sambutannya pada peluncuran buku Jurnalisme Profetik dalam acara temu kangen wartawan lintas generasi di  Jakarta, Ahad, 30 Maret kemarin.

 

Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia

 Buku berjudul Jurnalisme Profetik ini adalah hasil pergulatan pemikiran dan perenungan penulisnya, Parni Hadi, sejak menapaki karir jurnalistik awal 1973 sampai sekarang.

“Untuk apa semuanya ini?” sebuah pertanyaan yang sering muncul dan berkelindan dalam benak Parni. Ia memulai karir jurnalistiknya dari bawah sebagai reporter dan kemudian memimpin Republika, Kantor Berita ANTARA dan RRI serta terlibat dalam beberapa organisasi pers di dalam dan luar negeri. Sampai sekarang, pada usia 65 tahun, ia masih aktif menulis.

Parni selalu didera pertanyaan itu dan berusaha mencari makna atas profesi yang digelutinya dengan intens sejak  awal. Dengan  berbagai pengalaman ups and downs, naik dan turun, akhirnya ia menemukan jawaban ini: “Menjadi wartawan sebagai ibadah.”

Jurnalisme Cinta

Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis

 

Kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophetic. Artinya adalah kenabian. Karena itu,  jurnalisme profetik adalah jurnalisme kenabian. Maksudnya, jurnalisme yang meneladani akhlak dan perilaku mulia para nabi dan rasul dari semua agama. Tugas para nabi dan rasul, menurut al-Qur’an, adalah untuk: “menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan,” mengajak orang berbuat kebaikan dan memerangi kebatilan atau amar makruf, nahi munkar.

Tugas itu sama dengan apa yang diemban para wartawan, menurut fungsi pers dan kode etik jurnalistik yang bersifat universal. Jadi, pada dasarnya para wartawan adalah pewaris dan penerus tugas kenabian.

Nabi dan rasul menjalankan tugas atas perintah dan petunjuk dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, melalui proses atau laku spiritual. Nabi dan rasul melaksanakan perintah Allah dengan kepatuhan penuh, sukarela, suka cita dan penuh cinta kepada sesama sebagai ibadah kepada Allah, Sang Maha Pecinta.

Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global

Parni meyakini, manifestasi ajaran agama apa pun yang paling sublim dan bisa diterima oleh semua pemeluk agama adalah Cinta. Karena itu, Jurnalisme Profetik sama dengan Jurnalisme Cinta.

Senafas dengan itu, jurnalisme profetik adalah proses mencari, mengumpulkan dan mengolah bahan-bahan dan menyiarkannya dalam bentuk informasi dengan melibatkan olah fisik, intelektual dan spiritual sejak awal untuk melayani publik dengan penuh cinta tanpa memandang suku, ras, budaya, agama dan ideologi.

Sekalipun menekankan pentingnya cinta sebagai landasannya, jurnalisme profetik tidak berarti lembek atau toleran terhadap kejahatan kepada kemanusiaan, termasuk korupsi.  Justru, jurnalisme profetik menyerukan perang kepada korupsi dengan menggalakkan investigative reporting.  

Fungsi jrnalisme profetik adalah: memberi informasi, mendidik, menghibur, mengadvokasi, mencerahkan dan memberdayakan publik. Agar fungsi itu bisa terwujud, diperlukan persyaratan-persayaratan berikut: 1) kebebasan, agar ada 2) independensi, untuk menampilkan 3) kebenaran, guna mewujudkan 4) keadilan, demi 5) kesejahteraan, agar tercipta 6) perdamaian bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin).   

Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim

Parni Hadi yakin, jurnalisme profetik adalah genre jurnalisme yang diperlukan Indonesia dan bahkan dunia saat ini, ketika kebebasan berekspresi dapat dilakukan dengan sangat cepat  dan menjangkau seluruh jagat oleh siapa pun hampir tanpa batas berkat kemajuan teknologi informasi dengan segala dampak positif dan, terutama, negatifnya, termasuk penyebaran narkoba, pornografi dan terorisme.

Jurnalisme profetik adalah melakukan control from within (kontrol dari dalam) berdasar iman, agama apa pun yang dianut, kata Parni. Sekaligus, jurnalisme profetik juga menganjurkan sesuatu di luar dunia tulis-menulis dan penyiaran (beyond call of journalism), yakni berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk publik: aksi kepedulian sosial. Ia telah mencoba melakukan keduanya: dakwah lewat informasi (bil qalam) dan dakwah lewat aksi (bil hal).

Dengan banyak mengambil ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, buku ini memberi beberapa panduan untuk mengembangkan keterampilan jurnalistik dan juga mengembangkan kepekaan menuju kecerdasan spiritual. Wartawan profetik bekerja dengan ketangkasan fisik, kecerdasan intelektual dan sosial, serta sekaligus kecerdasan spiritual.

 

Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina

Gelisah Mencari Kebenaran

Parni mulai bekerja sebagai wartawan di Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA dengan berbagai penugasan dan posisi, termasuk sebagai wartawan Istana Presiden dan kepala perwakilan ANTARA di Eropa, berkedudukan di Hamburg, Jerman, selama tujuh tahun. Ini memberinya pelajaran dan pengalaman sangat berharga tentang bagaimana dapat  bekerja sebagai wartawan kantor berita resmi milik pemerintah di dalam dan luar negeri untuk melayani kepentingan publik.

Betapa diperlukan kiat-kiat tertentu untuk menyiarkan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran di jaman pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto yang melaksanakan sistem pers Pancasila. Dalam era ini ia mengenal dan mengamalkan “Jurnalisme Kapstok” dan “Jurnalisme Kepiting.” Berita yang disiarkan ANTARA waktu itu dianggap sebagai barometer tanda aman untuk dikutip dan dikembangkan oleh media massa yang melangganinya. Karena itu, ia menyadari menjadi wartawan ANTARA berarti mengemban misi strategis untuk perubahan menuju kebaikan berdasar kebenaran dan keadilan.

Keterlibatannya dalam membidani kelahiran dan kemudian memimpin koran Republika, mulai akhir tahun 1992 sampai awal 2001, memberi pelajaran dan pengalaman luar biasa. Parni yang beragama Islam, tapi bukan santri, ditugasi memimpin sebuah koran yang diniatkan sebagai penyampai aspirasi umat Islam atau tepatnya para cendekiawan Muslim yang bergabung dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) di bawah pimpinan BJ Habibie, yang dikenalnya secara tidak sengaja pada tahun 1977, dan kemudian menjadi sahabat sangat dekat sampai sekarang. Adalah Habibie yang mengirim dia belajar ke Jerman. Dan, Habibie pula yang memintanya memimpin Republika.

Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari

Di koran ini, penulis berinteraksi intens dengan tokoh-tokoh Islam yang moderat dan juga yang dianggap bergaris keras. Ia banyak belajar tentang ajaran Islam di Republika. ICMI saat itu sedang naik daun, dekat dengan Pak Harto dan pemerintah. Sekali lagi, kesempatan ini digunakannya untuk menjadikan koran itu sebagai benchmark atau penanda bagi aman tidaknya sebuah berita untuk disiarkan oleh media massa Indonesia. Istilah jurnalisme profetik mulai ia perkenalkan di koran ini tahun 1996.

Ketika Habibie diangkat menjadi Presiden ketiga RI, Parni ditugasi untuk memimpin ANTARA. Karena kenal baik dengan sang presiden, ia tahu bagaimana ukuran berita yang harus disiarkan oleh ANTARA, apalagi waktu itu semangat reformasi sedang mekar, yang ditandai dengan kebebasan berpendapat. Ia menjadi pemimpin puncak ANTARA pertama yang berasal dari orang dalam yang meniti karir dari bawah. Habibie lengser, naiklah Gus Dur dan Parni pun tergusur.

Sebagai orang yang dikenal enerjik, Parni menyalurkan energi, keterampilan, pengetahuan dan pengalaman jurnalistiknya dengan tetap menulis dan menjadi host di radio dan televisi, di samping aktif di berbagai kegiatan sosial, antara lain di Dompet Dhuafa Republika yang didirikannya dan di Kwarnas Pramuka. Karir jurnalistiknya belum habis. Ia lolos seleksi untuk jabatan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) dan menduduki jabatan itu selama lima tahun, 2005-2010, sesuai kontraknya.

Parnia dalah orang luar dan pegawai non-PNS pertama yang memimpin RRI. Itu dimungkinkan karena status kelembagaan RRI berubah dari unit pelaksana teknis atau bagian dari Pemerintah menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP).

Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina

Ia selalu gelisah mencari makna dari apa yang dikerjakannya dengan tujuan untuk memberikan yang terbaik. Dan, buku ini menceritakan kisah perjalanan karir dan bahkan sejarah hidupnya, karena hampir seluruh waktunya diabdikan untuk profesi jurnalistik yang digelutinya dengan intens, sepenuh jiwa dan sepenuh cinta.

Buku yang disunting oleh Ahmadie Thaha, eks wartawan Republika, ini berisi pergulatan pemikiran, teori, dan aplikasi jurnalisme profetik. Buku ini merupakan kelanjutan atau turunan dari buku HBX: Inspiring Prophetic Leader yang ditulis Parni Hadi bersama Nasyith Majidi, eks wartawan Republika.    

Hadir  dalam temu kangen wartawan lintas generasi itu sekitar 150 orang, mulai dari yang tertua, Ibu Herawati Diah, 96 tahun, sampai yang termuda Nilam Zubir, 18 tahun. Di antara mereka adalah wartawan senior dan tokoh-tokoh pers, termasuk Atmakusumah, Fikri Jufri, Tides Katoppo, Daud Sinyal dan Dewi Rais.

 

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23]  Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran

 

 

Indonesia Perlu Jurnalisme Profetik (Kenabian) atau Jurnalisme Cinta

 

Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun

Jakarta. Indonesia yang telah menikmati kebebasan pers selama 15 tahun berkat UU no 40 tahun 1999 tentang pers memerlukan “genre” jurnalisme profetik (kenabian) atau jurnalisme cinta untuk mengawal kebebasan agar mencapai tujuan diharapkan, yakni terciptanya masyarakat yang adil makmur, bersahabat dan bermartabat.

Hal itu disampaikan Parni Hadi, wartawan senior, dalam sambutannya pada peluncuran buku Jurnalisme Profetik dalam acara temu kangen wartawan lintas generasi di  Jakarta, Ahad, 30 Maret kemarin.

 

 Buku berjudul Jurnalisme Profetik ini adalah hasil pergulatan pemikiran dan perenungan penulisnya, Parni Hadi, sejak menapaki karir jurnalistik awal 1973 sampai sekarang.

Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina

“Untuk apa semuanya ini?” sebuah pertanyaan yang sering muncul dan berkelindan dalam benak Parni. Ia memulai karir jurnalistiknya dari bawah sebagai reporter dan kemudian memimpin Republika, Kantor Berita ANTARA dan RRI serta terlibat dalam beberapa organisasi pers di dalam dan luar negeri. Sampai sekarang, pada usia 65 tahun, ia masih aktif menulis.

Parni selalu didera pertanyaan itu dan berusaha mencari makna atas profesi yang digelutinya dengan intens sejak  awal. Dengan  berbagai pengalaman ups and downs, naik dan turun, akhirnya ia menemukan jawaban ini: “Menjadi wartawan sebagai ibadah.”

Jurnalisme Cinta

 

Kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophetic. Artinya adalah kenabian. Karena itu,  jurnalisme profetik adalah jurnalisme kenabian. Maksudnya, jurnalisme yang meneladani akhlak dan perilaku mulia para nabi dan rasul dari semua agama. Tugas para nabi dan rasul, menurut al-Qur’an, adalah untuk: “menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan,” mengajak orang berbuat kebaikan dan memerangi kebatilan atau amar makruf, nahi munkar.

Tugas itu sama dengan apa yang diemban para wartawan, menurut fungsi pers dan kode etik jurnalistik yang bersifat universal. Jadi, pada dasarnya para wartawan adalah pewaris dan penerus tugas kenabian.

Nabi dan rasul menjalankan tugas atas perintah dan petunjuk dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, melalui proses atau laku spiritual. Nabi dan rasul melaksanakan perintah Allah dengan kepatuhan penuh, sukarela, suka cita dan penuh cinta kepada sesama sebagai ibadah kepada Allah, Sang Maha Pecinta.

Parni meyakini, manifestasi ajaran agama apa pun yang paling sublim dan bisa diterima oleh semua pemeluk agama adalah Cinta. Karena itu, Jurnalisme Profetik sama dengan Jurnalisme Cinta.

Senafas dengan itu, jurnalisme profetik adalah proses mencari, mengumpulkan dan mengolah bahan-bahan dan menyiarkannya dalam bentuk informasi dengan melibatkan olah fisik, intelektual dan spiritual sejak awal untuk melayani publik dengan penuh cinta tanpa memandang suku, ras, budaya, agama dan ideologi.

Sekalipun menekankan pentingnya cinta sebagai landasannya, jurnalisme profetik tidak berarti lembek atau toleran terhadap kejahatan kepada kemanusiaan, termasuk korupsi.  Justru, jurnalisme profetik menyerukan perang kepada korupsi dengan menggalakkan investigative reporting.  

Fungsi jrnalisme profetik adalah: memberi informasi, mendidik, menghibur, mengadvokasi, mencerahkan dan memberdayakan publik. Agar fungsi itu bisa terwujud, diperlukan persyaratan-persayaratan berikut: 1) kebebasan, agar ada 2) independensi, untuk menampilkan 3) kebenaran, guna mewujudkan 4) keadilan, demi 5) kesejahteraan, agar tercipta 6) perdamaian bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin).   

Parni Hadi yakin, jurnalisme profetik adalah genre jurnalisme yang diperlukan Indonesia dan bahkan dunia saat ini, ketika kebebasan berekspresi dapat dilakukan dengan sangat cepat  dan menjangkau seluruh jagat oleh siapa pun hampir tanpa batas berkat kemajuan teknologi informasi dengan segala dampak positif dan, terutama, negatifnya, termasuk penyebaran narkoba, pornografi dan terorisme.

Jurnalisme profetik adalah melakukan control from within (kontrol dari dalam) berdasar iman, agama apa pun yang dianut, kata Parni. Sekaligus, jurnalisme profetik juga menganjurkan sesuatu di luar dunia tulis-menulis dan penyiaran (beyond call of journalism), yakni berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk publik: aksi kepedulian sosial. Ia telah mencoba melakukan keduanya: dakwah lewat informasi (bil qalam) dan dakwah lewat aksi (bil hal).

Dengan banyak mengambil ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, buku ini memberi beberapa panduan untuk mengembangkan keterampilan jurnalistik dan juga mengembangkan kepekaan menuju kecerdasan spiritual. Wartawan profetik bekerja dengan ketangkasan fisik, kecerdasan intelektual dan sosial, serta sekaligus kecerdasan spiritual.

 

Gelisah Mencari Kebenaran

Parni mulai bekerja sebagai wartawan di Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA dengan berbagai penugasan dan posisi, termasuk sebagai wartawan Istana Presiden dan kepala perwakilan ANTARA di Eropa, berkedudukan di Hamburg, Jerman, selama tujuh tahun. Ini memberinya pelajaran dan pengalaman sangat berharga tentang bagaimana dapat  bekerja sebagai wartawan kantor berita resmi milik pemerintah di dalam dan luar negeri untuk melayani kepentingan publik.

Betapa diperlukan kiat-kiat tertentu untuk menyiarkan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran di jaman pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto yang melaksanakan sistem pers Pancasila. Dalam era ini ia mengenal dan mengamalkan “Jurnalisme Kapstok” dan “Jurnalisme Kepiting.” Berita yang disiarkan ANTARA waktu itu dianggap sebagai barometer tanda aman untuk dikutip dan dikembangkan oleh media massa yang melangganinya. Karena itu, ia menyadari menjadi wartawan ANTARA berarti mengemban misi strategis untuk perubahan menuju kebaikan berdasar kebenaran dan keadilan.

Keterlibatannya dalam membidani kelahiran dan kemudian memimpin koran Republika, mulai akhir tahun 1992 sampai awal 2001, memberi pelajaran dan pengalaman luar biasa. Parni yang beragama Islam, tapi bukan santri, ditugasi memimpin sebuah koran yang diniatkan sebagai penyampai aspirasi umat Islam atau tepatnya para cendekiawan Muslim yang bergabung dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) di bawah pimpinan BJ Habibie, yang dikenalnya secara tidak sengaja pada tahun 1977, dan kemudian menjadi sahabat sangat dekat sampai sekarang. Adalah Habibie yang mengirim dia belajar ke Jerman. Dan, Habibie pula yang memintanya memimpin Republika.

Di koran ini, penulis berinteraksi intens dengan tokoh-tokoh Islam yang moderat dan juga yang dianggap bergaris keras. Ia banyak belajar tentang ajaran Islam di Republika. ICMI saat itu sedang naik daun, dekat dengan Pak Harto dan pemerintah. Sekali lagi, kesempatan ini digunakannya untuk menjadikan koran itu sebagai benchmark atau penanda bagi aman tidaknya sebuah berita untuk disiarkan oleh media massa Indonesia. Istilah jurnalisme profetik mulai ia perkenalkan di koran ini tahun 1996.

Ketika Habibie diangkat menjadi Presiden ketiga RI, Parni ditugasi untuk memimpin ANTARA. Karena kenal baik dengan sang presiden, ia tahu bagaimana ukuran berita yang harus disiarkan oleh ANTARA, apalagi waktu itu semangat reformasi sedang mekar, yang ditandai dengan kebebasan berpendapat. Ia menjadi pemimpin puncak ANTARA pertama yang berasal dari orang dalam yang meniti karir dari bawah. Habibie lengser, naiklah Gus Dur dan Parni pun tergusur.

Sebagai orang yang dikenal enerjik, Parni menyalurkan energi, keterampilan, pengetahuan dan pengalaman jurnalistiknya dengan tetap menulis dan menjadi host di radio dan televisi, di samping aktif di berbagai kegiatan sosial, antara lain di Dompet Dhuafa Republika yang didirikannya dan di Kwarnas Pramuka. Karir jurnalistiknya belum habis. Ia lolos seleksi untuk jabatan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) dan menduduki jabatan itu selama lima tahun, 2005-2010, sesuai kontraknya.

Parnia dalah orang luar dan pegawai non-PNS pertama yang memimpin RRI. Itu dimungkinkan karena status kelembagaan RRI berubah dari unit pelaksana teknis atau bagian dari Pemerintah menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP).

Ia selalu gelisah mencari makna dari apa yang dikerjakannya dengan tujuan untuk memberikan yang terbaik. Dan, buku ini menceritakan kisah perjalanan karir dan bahkan sejarah hidupnya, karena hampir seluruh waktunya diabdikan untuk profesi jurnalistik yang digelutinya dengan intens, sepenuh jiwa dan sepenuh cinta.

Buku yang disunting oleh Ahmadie Thaha, eks wartawan Republika, ini berisi pergulatan pemikiran, teori, dan aplikasi jurnalisme profetik. Buku ini merupakan kelanjutan atau turunan dari buku HBX: Inspiring Prophetic Leader yang ditulis Parni Hadi bersama Nasyith Majidi, eks wartawan Republika.    

Hadir  dalam temu kangen wartawan lintas generasi itu sekitar 150 orang, mulai dari yang tertua, Ibu Herawati Diah, 96 tahun, sampai yang termuda Nilam Zubir, 18 tahun. Di antara mereka adalah wartawan senior dan tokoh-tokoh pers, termasuk Atmakusumah, Fikri Jufri, Tides Katoppo, Daud Sinyal dan Dewi Rais.

 

 

 

Indonesia Perlu Jurnalisme Profetik (Kenabian) atau Jurnalisme Cinta

 

Jakarta. Indonesia yang telah menikmati kebebasan pers selama 15 tahun berkat UU no 40 tahun 1999 tentang pers memerlukan “genre” jurnalisme profetik (kenabian) atau jurnalisme cinta untuk mengawal kebebasan agar mencapai tujuan diharapkan, yakni terciptanya masyarakat yang adil makmur, bersahabat dan bermartabat.

Hal itu disampaikan Parni Hadi, wartawan senior, dalam sambutannya pada peluncuran buku Jurnalisme Profetik dalam acara temu kangen wartawan lintas generasi di  Jakarta, Ahad, 30 Maret kemarin.

 

 Buku berjudul Jurnalisme Profetik ini adalah hasil pergulatan pemikiran dan perenungan penulisnya, Parni Hadi, sejak menapaki karir jurnalistik awal 1973 sampai sekarang.

“Untuk apa semuanya ini?” sebuah pertanyaan yang sering muncul dan berkelindan dalam benak Parni. Ia memulai karir jurnalistiknya dari bawah sebagai reporter dan kemudian memimpin Republika, Kantor Berita ANTARA dan RRI serta terlibat dalam beberapa organisasi pers di dalam dan luar negeri. Sampai sekarang, pada usia 65 tahun, ia masih aktif menulis.

Parni selalu didera pertanyaan itu dan berusaha mencari makna atas profesi yang digelutinya dengan intens sejak  awal. Dengan  berbagai pengalaman ups and downs, naik dan turun, akhirnya ia menemukan jawaban ini: “Menjadi wartawan sebagai ibadah.”

Jurnalisme Cinta

 

Kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophetic. Artinya adalah kenabian. Karena itu,  jurnalisme profetik adalah jurnalisme kenabian. Maksudnya, jurnalisme yang meneladani akhlak dan perilaku mulia para nabi dan rasul dari semua agama. Tugas para nabi dan rasul, menurut al-Qur’an, adalah untuk: “menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan,” mengajak orang berbuat kebaikan dan memerangi kebatilan atau amar makruf, nahi munkar.

Tugas itu sama dengan apa yang diemban para wartawan, menurut fungsi pers dan kode etik jurnalistik yang bersifat universal. Jadi, pada dasarnya para wartawan adalah pewaris dan penerus tugas kenabian.

Nabi dan rasul menjalankan tugas atas perintah dan petunjuk dari Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, melalui proses atau laku spiritual. Nabi dan rasul melaksanakan perintah Allah dengan kepatuhan penuh, sukarela, suka cita dan penuh cinta kepada sesama sebagai ibadah kepada Allah, Sang Maha Pecinta.

Parni meyakini, manifestasi ajaran agama apa pun yang paling sublim dan bisa diterima oleh semua pemeluk agama adalah Cinta. Karena itu, Jurnalisme Profetik sama dengan Jurnalisme Cinta.

Senafas dengan itu, jurnalisme profetik adalah proses mencari, mengumpulkan dan mengolah bahan-bahan dan menyiarkannya dalam bentuk informasi dengan melibatkan olah fisik, intelektual dan spiritual sejak awal untuk melayani publik dengan penuh cinta tanpa memandang suku, ras, budaya, agama dan ideologi.

Sekalipun menekankan pentingnya cinta sebagai landasannya, jurnalisme profetik tidak berarti lembek atau toleran terhadap kejahatan kepada kemanusiaan, termasuk korupsi.  Justru, jurnalisme profetik menyerukan perang kepada korupsi dengan menggalakkan investigative reporting.  

Fungsi jrnalisme profetik adalah: memberi informasi, mendidik, menghibur, mengadvokasi, mencerahkan dan memberdayakan publik. Agar fungsi itu bisa terwujud, diperlukan persyaratan-persayaratan berikut: 1) kebebasan, agar ada 2) independensi, untuk menampilkan 3) kebenaran, guna mewujudkan 4) keadilan, demi 5) kesejahteraan, agar tercipta 6) perdamaian bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin).   

Parni Hadi yakin, jurnalisme profetik adalah genre jurnalisme yang diperlukan Indonesia dan bahkan dunia saat ini, ketika kebebasan berekspresi dapat dilakukan dengan sangat cepat  dan menjangkau seluruh jagat oleh siapa pun hampir tanpa batas berkat kemajuan teknologi informasi dengan segala dampak positif dan, terutama, negatifnya, termasuk penyebaran narkoba, pornografi dan terorisme.

Jurnalisme profetik adalah melakukan control from within (kontrol dari dalam) berdasar iman, agama apa pun yang dianut, kata Parni. Sekaligus, jurnalisme profetik juga menganjurkan sesuatu di luar dunia tulis-menulis dan penyiaran (beyond call of journalism), yakni berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk publik: aksi kepedulian sosial. Ia telah mencoba melakukan keduanya: dakwah lewat informasi (bil qalam) dan dakwah lewat aksi (bil hal).

Dengan banyak mengambil ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits, buku ini memberi beberapa panduan untuk mengembangkan keterampilan jurnalistik dan juga mengembangkan kepekaan menuju kecerdasan spiritual. Wartawan profetik bekerja dengan ketangkasan fisik, kecerdasan intelektual dan sosial, serta sekaligus kecerdasan spiritual.

 

Gelisah Mencari Kebenaran

Parni mulai bekerja sebagai wartawan di Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA dengan berbagai penugasan dan posisi, termasuk sebagai wartawan Istana Presiden dan kepala perwakilan ANTARA di Eropa, berkedudukan di Hamburg, Jerman, selama tujuh tahun. Ini memberinya pelajaran dan pengalaman sangat berharga tentang bagaimana dapat  bekerja sebagai wartawan kantor berita resmi milik pemerintah di dalam dan luar negeri untuk melayani kepentingan publik.

Betapa diperlukan kiat-kiat tertentu untuk menyiarkan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran di jaman pemerintahan Orde Baru di bawah pimpinan Pak Harto yang melaksanakan sistem pers Pancasila. Dalam era ini ia mengenal dan mengamalkan “Jurnalisme Kapstok” dan “Jurnalisme Kepiting.” Berita yang disiarkan ANTARA waktu itu dianggap sebagai barometer tanda aman untuk dikutip dan dikembangkan oleh media massa yang melangganinya. Karena itu, ia menyadari menjadi wartawan ANTARA berarti mengemban misi strategis untuk perubahan menuju kebaikan berdasar kebenaran dan keadilan.

Keterlibatannya dalam membidani kelahiran dan kemudian memimpin koran Republika, mulai akhir tahun 1992 sampai awal 2001, memberi pelajaran dan pengalaman luar biasa. Parni yang beragama Islam, tapi bukan santri, ditugasi memimpin sebuah koran yang diniatkan sebagai penyampai aspirasi umat Islam atau tepatnya para cendekiawan Muslim yang bergabung dalam ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia) di bawah pimpinan BJ Habibie, yang dikenalnya secara tidak sengaja pada tahun 1977, dan kemudian menjadi sahabat sangat dekat sampai sekarang. Adalah Habibie yang mengirim dia belajar ke Jerman. Dan, Habibie pula yang memintanya memimpin Republika.

Di koran ini, penulis berinteraksi intens dengan tokoh-tokoh Islam yang moderat dan juga yang dianggap bergaris keras. Ia banyak belajar tentang ajaran Islam di Republika. ICMI saat itu sedang naik daun, dekat dengan Pak Harto dan pemerintah. Sekali lagi, kesempatan ini digunakannya untuk menjadikan koran itu sebagai benchmark atau penanda bagi aman tidaknya sebuah berita untuk disiarkan oleh media massa Indonesia. Istilah jurnalisme profetik mulai ia perkenalkan di koran ini tahun 1996.

Ketika Habibie diangkat menjadi Presiden ketiga RI, Parni ditugasi untuk memimpin ANTARA. Karena kenal baik dengan sang presiden, ia tahu bagaimana ukuran berita yang harus disiarkan oleh ANTARA, apalagi waktu itu semangat reformasi sedang mekar, yang ditandai dengan kebebasan berpendapat. Ia menjadi pemimpin puncak ANTARA pertama yang berasal dari orang dalam yang meniti karir dari bawah. Habibie lengser, naiklah Gus Dur dan Parni pun tergusur.

Sebagai orang yang dikenal enerjik, Parni menyalurkan energi, keterampilan, pengetahuan dan pengalaman jurnalistiknya dengan tetap menulis dan menjadi host di radio dan televisi, di samping aktif di berbagai kegiatan sosial, antara lain di Dompet Dhuafa Republika yang didirikannya dan di Kwarnas Pramuka. Karir jurnalistiknya belum habis. Ia lolos seleksi untuk jabatan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) dan menduduki jabatan itu selama lima tahun, 2005-2010, sesuai kontraknya.

Parnia dalah orang luar dan pegawai non-PNS pertama yang memimpin RRI. Itu dimungkinkan karena status kelembagaan RRI berubah dari unit pelaksana teknis atau bagian dari Pemerintah menjadi Lembaga Penyiaran Publik (LPP).

Ia selalu gelisah mencari makna dari apa yang dikerjakannya dengan tujuan untuk memberikan yang terbaik. Dan, buku ini menceritakan kisah perjalanan karir dan bahkan sejarah hidupnya, karena hampir seluruh waktunya diabdikan untuk profesi jurnalistik yang digelutinya dengan intens, sepenuh jiwa dan sepenuh cinta.

Buku yang disunting oleh Ahmadie Thaha, eks wartawan Republika, ini berisi pergulatan pemikiran, teori, dan aplikasi jurnalisme profetik. Buku ini merupakan kelanjutan atau turunan dari buku HBX: Inspiring Prophetic Leader yang ditulis Parni Hadi bersama Nasyith Majidi, eks wartawan Republika.    

Hadir  dalam temu kangen wartawan lintas generasi itu sekitar 150 orang, mulai dari yang tertua, Ibu Herawati Diah, 96 tahun, sampai yang termuda Nilam Zubir, 18 tahun. Di antara mereka adalah wartawan senior dan tokoh-tokoh pers, termasuk Atmakusumah, Fikri Jufri, Tides Katoppo, Daud Sinyal dan Dewi Rais

*Parni Hadi, wartawan senior mantan: Dirut RRI, LKBN ANTARA dan Pemimpin Umum Harian Republika

 

 

Rekomendasi untuk Anda