Beberapa hal terkait reformasi ekonomi sudah membuahkan hasil, terutama reformasi generasi pertama, seperti deregulasi dan liberalisasi perdagangan pada tahun 1980an.
Berpidato sebagai tamu kehormatan di Asia Liberty Forum 2018, mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri mengungkapkan, proses (reformasi ekonomi) lainnya berjalan sangat lamban, terutama reformasi generasi kedua.
Hal-hal yang menyebabkan lambannya reformasi generasi kedua ini antara lain adalah reformasi birokrasi dan perbaikan layanan publik. Indonesia adalah negara demokrasi yang relatif muda dan dihuni oleh jumlah populasi yang besar. Indonesia juga memiliki dinamika politik yang dinamis dan kelompok kepentingan khusus yang kuat.
Baca Juga: Hadiri Indonesia-Brazil Business Forum, Prabowo Bahas Kerjasama Ekonomi
Ia mengatakan sangat penting untuk memahami sistem politik di Indonesia sebelum mempelajari reformasi ekonominya. Presiden dan anggota parlemen sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Menggunakan sistem presidensial multipartai menyebabkan partai-partai yang memiliki suara mayoritas juga memiliki suara dalam pengambilan kebijakan.
“Walaupun memegang kekuasaan eksekutif, kekuatan Presiden menjadi terbatas karena harus berkompromi dengan partai-partai tersebut untuk memutuskan sebuah kebijakan. Hal ini juga berlaku saat Presiden akan menerapkan Undang-Undang,” jelasnya.
Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini juga menyebut Indonesia memiliki sederet teknokrat yang mampu berkontribusi pada reformasi ekonomi.
Secara umum, teknokrat memainkan peran penting dalam membentuk reformasi saat krisis terjadi. Saat sebuah krisis melanda, politisi memberi teknokrat ruangan dan dukungan untuk memperbaiki kondisi.
Baca Juga: Rupiah Berpotensi Melemah Efek Konflik di Timur Tengah
“Tapi dalam situasi ekonomi yang baik, politisi enggan mengorbankan modal politik mereka dengan mengadopsi kebijakan yang tidak populer, meski penting dalam jangka panjang,” ujarnya saat berbicara dalam sesi keynote address dalam Asia Liberty Forum 2018 di Jakarta, Sabtu (10/2).
Kebijakan ekonomi yang diambil seringkali berdampak langsung pada masyarakat miskin. Sebagai akibat langsung kenaikan harga BBM pada 2013 lalu, inflasi meningkat secara signifikan.
Kenaikan harga BBM berdampak pada daya beli, terutama di kalangan masyarakat miskin. Untuk mengatasi situasi ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu mengambil beberapa langkah untuk menurunkan inflasi.
Salah satu langkah itu adalah mengubah sistem impor daging sapi proteksionis dari satu kuota menjadi tarif, dan menurunkan tarif impor kedelai menjadi 0%.
Kebijakan ini diberlakukan sebagai tanggapan terhadap meningkatnya harga daging sapi dan kedelai pada Juli – Agustus di tahun tersebut.
Baca Juga: Komite Perlindungan Jurnalis Kutuk Israel atas Tebunuhnya Tiga Wartawan di Lebanon
“Seperti di banyak negara, perlindungan impor dan kuota sangat sensitif dan melibatkan berbagai masalah ekonomi politik.
Ada dua perspektif utama dalam Rapat Kabinet. Pandangan pertama menyatakan bahwa sistem proteksi kuota diperlukan untuk melindungi produsen lokal, dan mekanisme yang ada cukup memadai, dan perlu diimplementasikan dengan lebih baik, terutama didukung oleh Menteri Pertanian dan Perdagangan.
Pandangan kedua adalah bahwa sistem proteksi menimbulkan masalah, dan harus dilepas dan diganti dengan sistem tarif, dan jika dibandingkan dengan kedelai, tarif impor harus dipotong menjadi 0%,” ungkapnya. (L/R11/RS1))
Baca Juga: OJK Dorong Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah untuk Santri di Kalteng