Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Influencer Dibayar, Palestina Berdarah: Perang Sunyi di Media Sosial

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 55 detik yang lalu

55 detik yang lalu

0 Views

Perang tidak hanya berlangsung di medan nyata, tetapi juga di layar ponsel kita. Di sana, setiap postingan adalah peluru, setiap caption adalah senjata, setiap like adalah legitimasi. Maka, jangan biarkan nurani kita dibeli oleh narasi palsu.[Foto: ig]

DI DUNIA yang serba digital, suara bisa lebih tajam dari peluru, dan narasi mampu lebih berbahaya dari bom yang dijatuhkan dari langit. Itulah yang kini terjadi. Saat Palestina terus berdarah, Israel menyalakan mesin propaganda yang dingin namun mematikan dengan cara membayar influencer hingga Rp110 juta untuk satu unggahan.

Di timeline kita, perang tidak lagi hanya tentang tank, misil, dan jasad-jasad kecil yang dibungkus kain putih, tetapi juga tentang kata-kata, gambar, dan narasi yang sengaja diarahkan untuk menutup mata dunia dari kenyataan pahit.

Sebuah unggahan di media sosial mungkin tampak sederhana: satu foto, satu caption, satu hastag. Namun di balik itu, terselip nilai yang bisa membeli ratusan piring nasi di pengungsian Gaza, atau biaya pengobatan anak-anak yang kakinya hancur karena serangan udara.

Ironisnya, uang yang seharusnya bisa menyelamatkan nyawa justru dipakai untuk membeli kebisuan, bahkan untuk menebar kebohongan yang membenarkan agresi. Israel sadar betul, dunia hari ini hidup dengan jari-jemarinya: scroll, like, share, dan repost. Maka yang direbut bukan hanya wilayah, tetapi juga algoritma; bukan hanya tanah, tetapi juga persepsi.

Baca Juga: Baitul Maqdis: Pusat Peradaban Islam yang Terlupakan

Influencer yang seharusnya menjadi penyalur kreativitas dan inspirasi, kini sebagian berubah menjadi corong propaganda. Dengan bayaran fantastis, mereka menyusun narasi seolah-olah Israel hanya sedang mempertahankan diri. Padahal dunia tahu, yang sedang dipertahankan adalah penjajahan, dan yang sedang dihancurkan adalah hak hidup bangsa Palestina. Ketika uang Rp110 juta mengalir ke rekening, sesungguhnya darah Palestina yang menetes.

Di balik layar gawai, kita sering melihat foto anak kecil Palestina dengan wajah berlumuran debu, mata penuh ketakutan, atau tubuh terbujur kaku dipeluk ibunya. Foto-foto itu bukan konten, bukan drama, bukan rekayasa. Itu nyata. Itu darah, bukan tinta. Itu jeritan, bukan musik latar. Namun semua itu seringkali tertimbun oleh konten-konten berbayar yang memoles realitas. Timeline yang seharusnya menjadi ruang solidaritas berubah menjadi ajang pembenaran agresi. Palestina pun semakin sunyi. Suara mereka tenggelam, bukan hanya oleh dentuman bom, tetapi juga oleh unggahan-unggahan glamor yang dibeli dengan mata uang.

Bayangkan seorang influencer yang menandatangani kontrak bernilai ratusan juta rupiah. Dengan sekali posting, ia bisa menutup biaya sekolah anaknya, membeli mobil baru, atau liburan ke Eropa. Semua tampak indah—tetapi tahukah ia, bahwa setiap rupiah yang ia terima adalah serpihan kaca dari jendela rumah Palestina yang hancur?

Tahukah ia, bahwa setiap kata yang ia tulis adalah paku yang menancap di hati para ibu yang kehilangan anaknya? Inilah pertaruhan nurani. Media sosial bukan hanya tempat berbagi inspirasi, tetapi juga medan ujian moral. Influencer bisa memilih: menjual postingan demi uang, atau membiarkan nurani tetap hidup dengan berdiri di sisi kebenaran.

Baca Juga: Pesantren Al-Kahfi Somalangu: Warisan 600 Tahun Islam Nusantara

Setiap kali Israel membayar influencer, yang sesungguhnya dibeli adalah kebisuan dunia. Mereka ingin menukar jeritan Palestina dengan emoji senyum, menggantikan tangisan anak-anak Gaza dengan caption penuh motivasi palsu. Dunia digital pun seolah tersihir, karena kebenaran yang telanjang dipaksa memakai busana ilusi.

Tetapi ada yang mereka lupa perhitungkan: kebenaran tidak pernah bisa dibunuh selamanya. Foto-foto yang bocor dari rumah sakit yang luluh lantak, video singkat anak-anak yang mencari orang tuanya di puing-puing, atau suara azan yang tetap berkumandang di tengah reruntuhan—semua itu lebih kuat dari seribu unggahan berbayar.

Di tengah perang sunyi ini, tugas kita bukan sekadar menjadi penonton. Kita mungkin tak punya kekuatan politik, kita mungkin bukan tentara, bahkan mungkin kita tak bisa berada langsung di Gaza. Tetapi kita masih punya jari, kita masih punya suara, kita masih bisa memilih untuk tidak ikut tenggelam dalam narasi palsu.

Mengangkat kebenaran, sekecil apa pun, adalah bagian dari jihad digital hari ini. Menyebarkan berita sahih, mengingatkan bahwa Palestina adalah bangsa yang berhak hidup merdeka, dan menolak tunduk pada propaganda—semua itu adalah bentuk keberpihakan yang nyata.

Baca Juga: Jejak Darah di Tanah Suci: Fakta Kekejaman Zionis Israel

Rp110 juta mungkin terdengar menggiurkan. Tetapi apa artinya dibandingkan dengan satu nyawa? Apa artinya dibandingkan dengan doa seorang anak Palestina yang kehilangan keluarganya? Uang bisa habis dalam sekejap, tetapi luka nurani akan membekas selamanya.

Sejarah akan mencatat, siapa yang menukar kebenaran dengan rupiah, dan siapa yang tetap berdiri meski tanpa bayaran. Sejarah tidak pernah memihak pada para penjual nurani. Sejarah selalu berpihak pada mereka yang berani menyuarakan kebenaran, betapa pun kecil suaranya.

Influencer dibayar, Palestina berdarah.” Kalimat ini bukan sekadar judul. Ini kenyataan getir yang kita hadapi hari ini. Perang tidak hanya berlangsung di medan nyata, tetapi juga di layar ponsel kita. Di sana, setiap postingan adalah peluru, setiap caption adalah senjata, setiap like adalah legitimasi. Maka, jangan biarkan nurani kita dibeli oleh narasi palsu.

Jangan biarkan darah Palestina hilang begitu saja di balik unggahan berbayar. Karena pada akhirnya, dunia akan tahu siapa yang berdiri di sisi kebenaran, dan siapa yang rela menjualnya dengan harga Rp110 juta.[]

Baca Juga: Pelajaran Berharga dari Tragedi Banjir Bali: Sesajen Bukan Penolong, Allah-lah Pelindung

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: “Gaza Lebih Berharga daripada Segalanya,” Kisah Warga Tunisia yang Menyumbangkan Kapalnya untuk Global Sumud Flotilla

Rekomendasi untuk Anda