Ini Rahasia Menjadi Pribadi yang Wara’

Oleh Bahron Ansori, wartawan MINA

Satu di antara sekian banyak amalan hati yang adalah wara’. Wara’ adalah sikap menjaga kesucian hati dari segala bentuk kehinaan dosa, dan membersihkan jiwa dari semua kotoran. Wara’ adalah buah dari iman yang shahih.

Seorang ulama salaf bernama Al-Qasim bin ‘Utsman rahimahullah pernah berkata, “Wara’ adalah tiang agama.” [Tarikh Dimasyq: 49/122]

Sementara itu, seorang ulama Tabi’in dari Yaman, Thawus bin Kaisan Al-Yamani rahimahullah berkata, “Iman itu ibarat sebuah pohon. Akarnya adalah syahadat. Batang dan daunnya pelaksanaan syariat. Buahnya adalah wara’. Pohon yang tidak ada buahnya adalah pohon yang tidak memiliki kebaikan. Demikian pula tidak ada kebaikan pada seseorang yang tidak memiliki sikap wara’.” [As-Sunnah, Abdullah bin Ahmad: 635]

Wara’ merupakan tanda kebaikan seorang hamba. Seperti yang dikatakan oleh Umar dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

لاَ تَنْظُرُوْا إِلَى صِيَامِ أَحَدٍ وَلَا إِلَى صَلَاتِهِ، وَلَكِنْ انْظُرُوْا إِلَى مَنْ إِذَا حَدَّثَ صَدَقَ، وَإِذَا اؤْتُمِنَ أَدَّى، وَإِذَا أَشْفَى -أَيْ هُمْ بِاْلمَعْصِيَةِ- وَرَعَ

“Janganlah kalian melihat shalat seseorang dan tidak pula puasanya. Namun lihatlah kepada kejujuran perkataannya saat berbicara, dan kepada amanahnya bila diberi amanah serta kepada wara’nya bila ada keinginan maksiat dia bersikap wara’.” [Syu’abul Iman: 5278 dan 5281]

Apa itu Wara’

Secara bahasa Al-wara’ berarti التَّحَرُّجُ (at-taharruj), artinya menjauhi dengan menanggung kepayahan dan kesempitan. Asal makna wara’ adalah menahan diri dari yang haram kemudian dipakai dengan makna menahan diri dari yang mubah dan halal. [Lisanul ‘Arab: 8/388]

Secara istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan wara’. Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Wara’ adalah menjauhi perkara-perkara yang haram.” [Hilyatul auliya’: 8/91]

Ibrahim bin Adham rahimahullah berkata , “Wara’ adalah meninggalkan segala syubhat (perkara yang tidak jelas halal haramnya) dan meninggalkan apa saja yang tidak bermanfaat bagimu serta meninggalkan hal-hal yang berlebihan.” [Madarijus salikin: 2/21]

Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan definisi, “Wara’ adalah meninggalkan apa saja yang dikhawatirkan akan menimbulkan madharat di akhirat.” [Al-Fawaid: 118]

Az-Zarqani rahimahullah berkata, “Wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang hukumnya boleh dilakukan sebagai bentuk sikap waspada agar tidak terjerumus ke dalam dosa.” [Tarikh Dimasyq: 54/257]

Al-Jurjani rahimahullah berkata, “Wara’ adalah menjauhi syubhat karena khawatir terjerumus ke dalam perkara-perkara yang diharamkan.” [At-Ta’rifaat: 325]

Inilah keutamaan Wara’

Wara’ dengan arti meninggalkan perkara-perkara yang haram merupakan tingkatan wara’ yang paling rendah. Ini hukumnya wajib bagi setiap Muslim. Adapun tingkatan di atasnya hukumnya adalah disunnahkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menjelaskan keutamaan sikap wara’ dalam beberapa hadits:

Pertama, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hai Abu Hurairah! Jadilah orang yang wara’, kamu akan menjadi orang yang paling sempurna ibadahnya.”  [Hadits riwayat Ibnu Majah (4317) dan dishahihkan oleh Al-Albani]

Kedua, dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik agama kalian adalah wara’.” [Hadits riwayat al-Hakim (314) dan disepakati oleh adz-Dzahabi.]

Ketiga, dari Amru bin Qais al-Mallaai radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Unsur paling asasi dari agama kalian adalah wara’.” [Mushannif Ibnu Abi Syaibah (26115) dan al-Wara’ li ibni Abi Ad-Dunya (14)].

Para ulama Salaf juga mengingatkan tentang keutamaan wara’ ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya agama ini bukanlah suara bacaan di akhir malam akan tetapi agama adalah sikap wara’.” [Az-Zuhd, Imam Ahmad: 125]

Kedua, Al Hasan rahimahullah berkata, “Ibadah yang paling utama adalah tafakkur (berfikir) dan wara’.” [Al- Wara’, Ibnu Abid Dunya: 37] Dia juga mengatakan bahwa hikmah adalah wara’. [Tafsir Al-Baghawi (1/334) dan tafsir Al-Qurthubi (3/313).

Ketiga, Sa’id bin Al-Musayyib rahimahullah berkata, “Ibadah adalah bersikap wara’ dari apa saja yang Allah haramkan dan berfikir tentang perintah Allah.” [Tafsir Al-Qurthubi: 3/301]

Keempat, Mutharrif bin Abdullah bin Asy-Syikhir rahimahullah berkata, “Sebaik-baik agamamu adalah wara’.” [Tafsir Ath-Thabari: 12/17]. Dia juga berkata, “Sungguh kamu akan menjumpai dua orang yang salah satunya lebih banyak puasa dan shalat serta sedekahnya, sedangkan yang satunya lebih utama darinya dengan keutamaan yang sangat jauh.”

Lalu dia ditanya, “Bagaimana itu bisa terjadi?” Dia menjawab, “Orang kedua itu jauh lebih wara’ karena Allah dari hal-hal yang Allah haramkan.” [Tafsir Ath-Thabari: 12/17 dan Mushannaf Ibni Abi Syaibah (35491)]

Inilah buah Wara’

Berikut ini adalah beberapa dari buah wara’ berdasarkan penjelasan Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid:

Pertama, Wara’ adalah sebab keberuntungan. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّىٰ

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman).” [Qs. Al-A’la: 14]

Qatadah rahimahullah mengatakan, “Beramal secara wara’.” [Tafsir Ath-Thabari: 12/546]

Kedua, Wara’ merupakan sebab diringankannya hisab pada hari kiamat.

Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah berkata, “Zuhudlah kamu niscaya Allah akan memperlihatkan kepadamu kejelekan dunia ini dan bersikaplah wara’, niscaya Allah Akan meringankan hisabmu.” [Hilyatul Auliya: 7/20]

Ketiga, Wara’ adalah sebab keberkahan amal dan banyaknya kebaikan. Seorang pria bertanya kepada Abu Abdurrahman Al-‘Umari, “Nasehatilah saya.” Abu Abdurrahman lalu mengambil secuil tanah sebesar kerikil kemudian berkata, “Wara’ sebesar ini yang masuk ke dalam hatimu itu lebih baik daripada sholat penduduk bumi ini.” [Hilyatul Auliya’: 8/286]

Keempat, Wara’adalah sebab dari perbaikan niat. Bilal bin Sa’ad rahimahullah berkata, “Wara’ seorang mukmin itu tidak akan membiarkannya hingga dia melihat kepada apa yang dia niatkan. Apabila niatnya sudah baik maka yang selain niat akan lebih layak untuk menjadi baik.” [Hilyatul Auliya’: 5/230]

Kelima, Wara’ adalah sebab dikabulkannya doa. Muhammad bi Wasi’ rahimahullah berkata, “Wara’ yang sedikit sudah cukup bagi doa (agar terkabul) sebagaimana cukupnya garam bagi masakan dalam satu panci.” [Syu’abul Iman: 1149]

Keenam, Wara’ adalah sebab diperolehnya ilmu. Abdullah bin Mubarak rahimahullah berkata, “Mencari ilmu itu tidak akan sempurna kecuali dengan empat hal: yaitu dengan mendedikasikan waktu sepenuhnya, harta, menghafal dan wara’.” [Syu’abul Iman: 1732]

Ketujuh, Wara’ merupakan sebab berkahnya ilmu. Al-Qannuji rahimahullah berkata, “Seorang yang berilmu harus bersikap wara’ agar ilmunya lebih bermanfaat dan faedahnya lebih banyak.” [Abjadul ‘Ulum: 1/248]

Kedelapan, Wara’ adalah sebab kebahagiaan di dunia dan akhirat. Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Ada lima hal yang merupakan komponen kebahagiaan: keyakinan di hati, wara’ dalam agama, zuhud di dunia, rasa malu dan ilmu.” [Hilyatul Auliya’: 10/216]

Langkah menjadi orang Wara’

Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid mengatakan, wara’ itu merupakan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Dia berikan kepada siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Namun, sebagai hamba-Nya, kita bisa berusaha sehingga Allah Ta’ala memandang layak kita memperoleh anugerah tersebut. Berikut adalah beberapa langkah yang bisa diamalkan agar menjadi orang yang Wara’.

Pertama, menjauhi semua perkara yang diharamkan. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, “Jauhilah apa yang telah diharamkan atas dirimu niscaya kamu akan menjadi orang yang paling wara’.” [Syu’abul Iman: 201 dan dishahihkan oleh Ibnul Jauzi]

Kedua, menjaga sunnah dan meninggalkan bid’ah. Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Kami benar-benar telah membahas bahwa tidaklah seseorang itu membuat suatu kebid’ahan kecuali wara’nya terampas.” [Ahadits dzammil kalam wa ahlih: 5/127]

Ketiga, mengamalkan ilmu. Sahl bin Abdillah rahimahullah berkata, “Apabila seorang mukmin mengamalkan ilmunya, hal itu akan menunjukkan dirinya kepada wara’. Apabila dia bersikap wara’ maka hatinya akan bersama Allah.” [Hilyatul Auliya’: 10/205]

Keempat, menjauhi amarah. Abu Abdillah As-Saji rahimahullah berkata, “Apabila amarah sudah merasuki akal maka pergilah wara’.” [Hilyatul Auliya’: 9/317]

Kelima, sedikit bicara, makan dan mengendalikan syahwat. Al-Ghazali rahimahullah berkata, “Kunci zuhud dan iffah serta wara’ adalah sedikit makan dan mengendalikan syahwat.” [Ma’arijul Qudsi: 81].

Dari Abdullah bin Abi Zakaria rahimahullah dia berkata, “Siapa yang banyak bicaranya, banyak kesalahannya, dan siapa yang banyak kesalahannya akan sedikit wara’nya dan siapa yang sedikit wara’nya Allah akan mematikan hatinya.” [Hilyatul Auliya’: 5/ 149]

Keenam, menjauhi apa saja yang membuat waktu hilang sia-sia. Sahl bin Abdillah rahimahullah berkata, “Siapa yang anggota badannya sibuk dengan selain apa yang Allah perintahkan kepadanya, wara’diharamkan atas dirinya.” [Syu’abul Iman: 5056]

Semoga Allah Ta’ala menuntun setiap langkah kita untuk menjadi orang-orang yang Wara’ dalam menjalani kehidupan yang serba singkat ini, wallahua’lam.(A/RS3/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

Wartawan: Bahron Ansori

Editor: Bahron Ansori

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.