Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ini Syarat Jadi Pemenang Sejati

Bahron Ansori - Sabtu, 6 Mei 2017 - 22:11 WIB

Sabtu, 6 Mei 2017 - 22:11 WIB

480 Views

pemenang-sejati-300x225.jpg" alt="" width="353" height="265" />Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA

Tidak tanggung-tanggung, setiap urusan manusia diatur oleh Islam, sampai perkara yang kita anggap sepele pun Islam ada cara Islam di sana untuk menjadi pedoman, apalagi dalam perkara yang besar. Ini sebagai bukti bahwa Allah Maha Mencintai hamba-Nya, karena aturan Allah berarti kasih sayang Allah. Jika patuh, cinta Allah akan tercurah dan jika membangkang, murka Allah akan didapat. Untuk menjadi seorang pemenang sejati, setidaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan seorang muslim, antara lain sebagai berikut.

Pertama, Islam mengajarkan agar meninggalkan yang sia-sia. Dalam kaca mata dunia saja, yang sia-sia itu akan mengantarkan kepada kerugian. Ketika yang lain asyik menyimak guru, si A malah enjoy dengan lamunan dan khayalannya. Maka, 100 persen si A tidak akan mendapatkan ilmu yang disampaikan guru. Alhasil, ya… ketika guru memberikan soal latihan, ia sibuk tanya sini tanya sana, tengok kiri tengok kanan, padahal soalnya mudah banget. Jadi ngerepotin temen di sebelahnya.

Banyak dalil mengajarkan agar kita meninggalkan hal-hal yang sia-sia, satu di antaranya sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Di antara kebaikan islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat” (HR. Tirmidzi no. 2317, Ibnu Majah no. 3976. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Kedua, kita dibimbing agar tidak menunda-nunda waktu. Hari ini, ya… hari ini. Esok, ya… esok. Pemanfaatan waktu yang efektif akan membuahkan kemenangan dalam kompetisi merebutkan “piala”. Dalam kamus sang pemenang, tidak akan ditemukan waktu luang. Guliran waktu selalu penuh dengan hal-hal positif. Mereka memiliki keyakinan tinggi, bahwa hidup itu bukan kemarin bukan juga esok hari. Hidup itu hari ini, detik ini. Kalau hari ini, detik ini, tidak dimanfaatkan, berarti ia tidak “hidup”.

So… mari kita gunakan waktu secara optimal guna menepi di puncak harapan. Pepatah mengatakan, “waktu itu bagaikan pedang”. Jika waktu tidak dikuasai, maka ia akan menyabit leher kita alias kita akan terjun ke lembah kerugian. Kuasai waktu, manfaatkan untuk hal positif, dan azamkan bahwa kita akan meraup keberhasilan dengan tidak menyisakan waktu luang.

Ketiga, dalam melaksakan aktivitas, kita dituntut untuk profesional. Profesionalitas yang tinggi akan menjadi salah satu penunjang untuk muncul sebagai pemenang yang akan sampai di garis finish di sirkuit kehidupan, sehingga kita akan berdiri di podium dan mengangkat tropi kemenangan sambil sumringah tersenyum. Rasulullah mewanti-wanti, “Jika suatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya, tunggulah kehancurannya.”

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Kehancuran tersebut bisa datang kapan saja andaikata kita lengah dengan sikap profesional di setiap aksi. Bisa berupa nilai jeblok andai ia seorang pelajar, hengkangnya rekan bisnis kalau ia seorang businessman, perginya pelanggan jika ia seorang pedagang, menjauhnya teman dekat, dihinakan masyarakat jika ia seorang pemabuk, dll.. Profesionalitas yang ditunjukkan seseorang membuktikan kedewasaan dan gesag yang dimilikinya. Sehingga orang akan menghargai dan tidak menyepelekannya.

Keempat, setiap perbuatan selalu ada ganjaran setimpal. Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan wejangan bahwa, setiap hal yang kita perbuat akan berbalaskan ganjaran setimpal. Amal baik ganjarannya baik. Amal buruk ganjarannya buruk. Faman ya’mal mitsqala dzarratin khairan yarahu, waman ya’mal mitsqala dzarratin syarran yarahu. Maka siapa saja yang mengerjakan kebaikan sebesar dzarrah (molekul terkecil) pun, ia akan melihat ganjarannya (surga); dan siapa saja yang mengerjakan amal kejelekan sebesar dzarrah pun, ia akan melihat ganjarannya (neraka).” (Qs. Al Zalzalah: 7-8).

Kelima, sikap hati-hati dalam hidup akan menguncupkan buah yang matang nan manis. Sikap hati-hati bisa juga dikatakan sebagai sikap takwa. Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab (sekrertaris wahyu Rasulullah) mengenai arti takwa. Ubay menjawab, “Pernahkah engkau menyusuri jalan yang penuh dengan duri dan kerikil tajam?” “Ya, pernah.” jawab Umar. Ubay membalas, “Apa yang kau lakukan saat itu?” Sontak Umar menjawab, “Saya hati-hati memilih jalan.” “Nah, itulah takwa.” jawab Ubay lugas. Yup… berhati-hatilah dalam melangkah karena takut dosa, berhati-hatilah dalam beribadah karena takut salah, berhati-hatilah dalam mengonsumsi makanan karena takut haram, dan berhati-hatilah dalam berbicara karena takut menyinggung.

Keenam, Rasulullah mengajarkan kepada kita agar selalu hidup jujur. Jujur dalam berbicara dan jujur dalam beramal. Sikap jujur akan membawa kita menuju al-birr (kebaikan) dan kebaikan akan membawa kita menuju al-jannah (surga). Ketika seseorang sudah berani berbicara tidak jujur, minimal madaratnya akan dirasakan di dalam hatinya. Ia tidak tenang berhadapan dengan orang yang dibodohinya, karena takut ketahuan. Ketika seseorang sudah biasa dengan sikap tidak jujur, maka madaratnya akan ia rasakan dunia-akhirat. So… jujur adalah mata uang yan berlaku di mana-mana. Dusta adalah mata uang palsu yang tidak berlaku di seluruh dunia. Mengedarkan “mata uang palsu” akan dijebloskan ke dalam “sel” oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Ketujuh, berprasangka bukanlah solusi hidup yang benar. Ari Ginanjar Agustian dalam ESQ-nya mengisahkan seorang karyawan yang tiba-tiba menguap di tengah seriusnya rapat staff. Sontak, peserta rapat melihatkan muka yang masam kepada karyawan tersebut. Pun dengan pimpinan rapat. Ia menegurnya dengan emosional. Ia menyalahkan sikap karyawan tersebut yang seolah tidak menganggap serius rapat yang sedang berlangsung.

Tetapi karyawan tersebut tidak tinggal diam, ia membela dirinya dan mengatakan bahwa semalaman ia tidak tidur karena anaknya sedang di rawat di rumah sakit. Untuk menghadiri rapat pun ia harus meninggalkan anaknya yang tengah merasakan sakit yang secara psikologis memerlukan motivasi untuk sembuh terutama dari ayah dan ibunya. Merahlah muka si pimpinan rapat tersebut karena telah berburuk sangka. Berprasangka sama saja dengan memakan daging mayat saudara kita walaupun prasangka itu tepat sasaran (lihat Qs. Al-Hujuraat: 12).

Nah, bagi kita yang mendambakan keberhasilan dalam setiap aktivitas, baik hablun minallah (hubungan dengan Allah) maupun hablun minannas (hubungan dengan sesama), milikilah di dalam diri dan sikap kita ketujuh hal yang telah disebutkan di atas. Insya Allah, harapan yang kita rencanakan akan berwujud menjadi kenyataan, wallahua’lam.(RS3/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

 

Rekomendasi untuk Anda

Kolom
Kolom
Tausiyah
Ramadhan
Ramadhan